bc

Ujian Cinta Sang Dewi

book_age16+
2.0K
FOLLOW
12.0K
READ
love-triangle
scandal
self-improved
drama
tragedy
bxg
city
office/work place
affair
wife
like
intro-logo
Blurb

Harta, tahta dan wanita. Tiga perhiasan dunia yang sangat menyilaukan.

Itulah yang di alami Albian dan Dewi dalam membina mahligai pernikahan mereka. Hadirnya orang ketiga di antara mereka, membuat Dewi harus memilih untuk mempertahankan hubungan ini atau bercerai dengan suami yang sangat di cintainya.

Apakah Dewi memilih bertahan?...

Ataukah ia memilih bercerai meninggalkan suaminya?...

chap-preview
Free preview
Part 01. Dewi Maharani
Seperti kata pepatah semakin tinggi pohon semakin besar pula angin yang akan menerpanya. Seperti itulah kisah rumah tangga yang dialami Dewi. Dewi Maharani perempuan berhijab usianya tiga puluh tujuh tahun, cantik, baik dan penyayang. Itulah sosok perempuan yang tegar ketika rumah tangganya mengalami masalah yang sangat besar. Albiansyah suami Dewi yang kini menikah lagi dengan Larasati seorang perempuan muda belia seusia anaknya. Bagai di hantam sebuah pedang yang sangat tajam ketika Dewi mengetahui hal itu dari salah satu temannya dan juga tetangga istri baru suaminya. Sakit hati, iya. Dewi sangat sakit hati. Tapi ia tetap mencoba untuk tegar menghadapi ujian ini. Kedua anaknya yang masih remaja sangat membutuhkan dirinya dari pada diri Dewi sendiri. Alana anak pertama Dewi dan Albian kini sudah lulus sekolah menengah atas dan akan masuk universitas sedangkan Diana anak kedua Dewi kini duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dewi harus benar-benar berjuang sendirian demi anak-anaknya agar bisa tetap mendapatkan pendidikan yang layak tanpa bantuan dari suaminya yang kini sudah menikah lagi dengan perempuan lain. Dewi sedang duduk sendirian di lantai sudut kamarnya seraya mengusap- usap foto pernikahannya dulu dengan Albian suaminya. Mereka belum bercerai tapi sudah satu bulan ini berpisah. Air mata Dewi membasahi pipi cantiknya yang kini sudah mulai basah akibat tetesan bening yang terus saja keluar dari pelupuk matanya. "Kamu tega sekali mengkhianati cintaku, mas." ucapnya dengan sendu. Pikirannya melayang entah kemana. Suami yang sangat di cintainya kini sudah mengkhianati ikrar suci mereka yang dulu pernah mereka ucapkan bersama ketika pertama kali membina rumah tangga. Awal pernikahan mereka baik-baik saja karena ekonomi keluarga Dewi dan Albian bisa terbilang susah. Setelah menikah mereka berdua memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Hanya ada satu kamar saja. Saat itu Albian hanya bekerja di pabrik sebagai karyawan biasa sedangkan Dewi hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Mereka berdua memutuskan untuk menikah muda ketika baru lulus sekolah menengah atas atau SMA. Apalagi saat itu sangat susah mencari pekerjaan. Jadi mereka hanya bisa makan seadanya saja karena gaji Albian hanya cukup untuk bayar kontrakan dan untuk makan saja. Tapi itu sudah membuat Dewi bahagia karena Alana anak pertamanya yang baru saja lahir menjadi hiburan tersendiri bagi Dewi dan Albian. "Inikah ujian cinta yang Tuhan berikan untukku?" ucap Dewi seraya memejamkan matanya mengingat kembali awal pernikahannya dengan Albian cinta pertamanya dulu saat duduk di bangku sekolah menengah atas yang kini sudah sah menjadi suaminya. "Saya terima nikah dan kawinnya Dewi Maharani binti Muhammad Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." ucap Albian dengan lantang dan satu tarikan napas. "Bagaimana saksi, sah?" "Sah...!" "Alhamdulilah..." Pak penghulu memanjatkan doa dan di Aminkan semua orang yang hadir di acara pernikahan Dewi dan Albian sembilan belas tahun lalu. Albian pria yang baik dan penyayang yang sangat Dewi cintai. Bukan sebulan atau dua bulan mereka kenal dan menjalin hubungan tapi sudah tiga tahun pacaran sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah muda setelah lulus SMA. "Dewi, maaf ya gaji aku bulan ini cuma segini. Pabrik sedang sepi tidak ada lemburan." Albian memberikan gajinya pada Dewi yang kini mulai hamil muda setelah dua bulan menikah. "Tak apa, mas. Yang penting bisa buat bayar kontrakan saja aku sudah senang." ucap Dewi seraya tersenyum. Wajah cantik alami tanpa make up itu terlihat sangat bahagia. "Aku mandi dulu." ucap Albian seraya mengusap kepala istrinya yang berbalut hijab. Kemudian menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri di dalam sana. Setelah Albian mandi. Kini Dewi bergegas ke dapur untuk menyiapkan teh hangat dan makanan untuk suaminya. Kehidupan sederhana membuat Dewi sangat bahagia karena bisa merasakan cinta yang sesungguhnya dari Albian suaminya. "Mas, ini tehnya." ucap Dewi seraya memberikan secangkir teh hangat pada suaminya yang kini duduk di lantai beralas tikar yang ada di depan televisi. "Tidak usah repot-repot. Nanti kamu capek. Kasihan calon bayi kita." ucap Albian sambil mengusap usap perut istrinya yang kini berisi calon bayi buah hati mereka. "Tapi aku senang bisa membuatkan teh untuk kamu, mas." "Tapi jangan sampai kamu kecapean, ya." Dewi mengangguk pelan seraya tersenyum menatap suami yang sangat di cintainya itu. Sembilan bulan berlalu. Dewi melahirkan anak pertamanya. Bayi perempuan yang sangat cantik kini sudah lahir ke dunia. Dengan senang hati Albian mengumandangkan azan ditelinga kanan bayi itu. Empat bulan sudah berlalu. Albian senang melihat anaknya yang lucu berceloteh khas anak bayi usia empat bulan. Dewi dan Albian tertawa bersama ketika mendengarkan celoteh demi celoteh anaknya yang terdengar sangat merdu di telinga sepasang suami istri itu. Kehidupan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya. Setelah kelahiran anak pertamanya yang kini mulai tumbuh, Albian mendapatkan kenaikan jabatan yang semula menjadi karyawan biasa kini Albian di tunjuk menjadi personalia gaji UMR dan juga tunjangan sebagai personalia tiap bulan lumayan untuk menambah uang tabungan keluarganya. Dua tahun berlalu Albian dan Dewi bisa membangun rumah walau sederhana tapi hasil jerih payah mereka berdua. Rumah sederhana dengan tiga kamar tidur itu sudah lebih dari cukup dari pada rumah kontrakan yang hanya satu kamar. "Mas, terima kasih banyak sudah memberikan istana ini untuk kami." ucap Dewi saat duduk berdua bersama dengan Albian di teras depan rumah seraya mengawasi Alana yang sedang bermain di taman bunga yang ada di halaman rumah mereka. Dewi memang sangat senang dengan bunga, hingga halaman rumahnya penuh dengan berbagai tanaman bunga. Ada melati, mawar merah dan putih, kamboja dan yang paling menjadi favorit Dewi adalah bunga mawar berwarna putih. Batangnya terlihat kecil namun memiliki duri untuk pertahanan diri agar tak sembarang orang mengambil dan memetiknya. "Mas, apa aku boleh minta izin bekerja di pabrik? Kata mbak Shinta ada lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja." Dewi meminta izin pada suaminya bekerja di pabrik bersama Shinta teman mereka dulu sewaktu masih sekolah. "Aku tidak akan mengizinkanmu bekerja. Kasihan Alana nanti siapa yang ngurusin? Kamu di rumah saja, jaga anak anak kita. Lagian kita mau program hamil lagi. Biar Alana ada temennya. Kasihan dia bermain sendirian." jawab Albian seraya meraih tangan Dewi kemudian menciumnya. Dewi tersenyum melihat suaminya yang sangat menyayangi dirinya dan keluarga kecilnya. " Iya, mas." Tahun demi tahun berlalu. Albian dan Dewi dikaruniai anak lagi. Kini Dewi sedang berada di rumah sakit melahirkan anak keduanya. Dengan sabar Albian menemani istrinya melahirkan di dalam ruangan yang ada di rumah sakit. Ada kebahagian yang kini terlihat jelas di wajah keduanya ketika mendengar tangisan bayi mungil mereka. "Selamat ya pak, bu. Bayinya perempuan." kata dokter perempuan yang menangani persalinan Dewi di rumah sakit ini. "Alhamdulilah," ucap Albian seraya tersenyum menatap istri. Kemudian mencium kening Dewi dengan penuh kasih sayang. Keluarga kecil Dewi dan Albian bisa dibilang keluarga yang sempurna sekarang. Memiliki dua anak perempuan dan rumah sederhana dan juga Dewi mulai kesibukan dengan bisnis kue kering dan di jual secara online, itu cukup untuk menambah uang tabungan keluarga mereka. Albian semakin mencintai dan menyayangi Dewi, karena setelah setahun pertama bisnis kue kering itu berjalan sangat maju. Banyak pesanan dari luar kota dan juga sekarang Dewi merambah membuka bisnis butik baju muslim dan muslimah. Membuat kehidupan keluarganya semakin mapan. Bahkan rumah mereka yang sederhana kini disulap menjadi rumah lantai dua. "Ma, Ayok kita jalan-jalan..." rengek Diana anak kedua Dewi dan Albian yang sekarang usia enam tahun baru masuk sekolah dasar. "Tunggu papa pulang kerja ya, sayang." jawab Dewi dengan suara lembut penuh kasih sayang. "Mama, itu papa sudah pulang." yang ini suara Alana anak pertama Dewi dan Albian yang sudah kelas dua sekolah menengah pertama. "Assalamualaikum ... Selamat sore sayang..." sapa Albian yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dan langsung di sambut pelukan oleh kedua anak perempuannya. "Selamat sore, papa. Ayo, pa. Kita jalan-jalan sekarang..." rengek Diana dengan manja. Gadis kecil itu memang sangat manja bila dibandingkan dengan Alana kakaknya. "Baiklah. Papa ganti baju dulu, setelah itu kita jalan-jalan dan makan malam diluar." jawab Albian seraya mencium kening kedua anak perempuannya secara bergantian. Seketika di sambut suara riuh dari kedua anaknya. "Mas, kamu sangat memanjakan Alana dan Diana. Aku takut nanti dia terbiasa manja, mas." Albian tersenyum mendengar ucapan istrinya. Kemudian mencium keningnya seraya berkata. "Aku akan selalu menyayangi kamu dan mereka. Itu janjiku." Dewi senang karena Albian selalu bisa membuat membuatnya bahagia. Selesai mandi dan berganti pakaian. Kini Albian mengajak istri dan anak anaknya pergi ke mal untuk sekedar main berbelanja dan juga makan malam. Sesampainya di mal mereka makan malam di restoran Jepang. Dewi senang karena suaminya mengajaknya makan di tempat ini. "Semoga kalian senang papa ajak makan di tempat ini." Albian tersenyum. "Senang sekali, pa." jawab Alana dan Diana bersamaan. Sedangkan Dewi hanya tersenyum melihat anak dan suaminya. "Setelah makan kita jalan-jalan, kalian boleh memilih apa saja yang kalian suka. Papa akan membelikannya untuk kalian." "Hore ... Terima kasih papa. Alana sayang papa." "Diana juga sayang sama, papa." Selesai makan malam Albian mengajak keluarga kecilnya jalan - jalan mencari mainan dan beberapa alat tulis untuk sekolah Alana dan juga Diana. Albian sangat memanjakan anak anaknya apapun yang kedua anaknya minta pria itu membelikannya. "Mas. Apa ini tidak berlebihan?" tanya Dewi ketika Albian menyetujui apa saja yang dibeli kedua putrinya. "Tidak apa-apa. Aku bahagia kalau melihat keluargaku juga bahagia." Albian meraih tangan Dewi dan melingkarkan di lengannya. Kemudian mengusap kepala istrinya itu dengan penuh kasih sayang. "Hari ini aku di minta sama bos untuk mengelola pabrik mebel barunya. Aku yang akan memegang peranan penting di pabrik itu." "Benarkah? Selamat ya mas. Aku ikut senang dengarnya. Tapi kalau mas bekerja terus kapan mas akan membuka usaha sendiri?" "Itu yang kini sedang aku pikirkan, Dewi. Aku memang ingin punya usaha sendiri. Agar nanti bisa diteruskan sama anak-anak kita." "Sholat malam saja, mas. Minta yang terbaik sama Allah." Albian mengangguk pelan seraya tersenyum. "Papa. Pulang yuk. Kita sudah capek cari mainan." ucap Diana dengan manja sambil membawa banyak boneka di tangannya. Begitupun dengan Alana. "Diana, Alana. Bilang apa sama papa?" tutur Dewi. "Terima kasih, papa" ucap Alana dan Diana secara bersamaan. Kemudian memeluk ayahnya dengan senang. Hari berganti hari bulan berganti bulan bahkan tahun kini telah berganti tahun. Alana sudah lulus sekolah menengah atas sedangkan Diana kini sudah masuk sekolah menengah pertama. Kehidupan keluarga Dewi dan Albian semakin sukses. Albian membuka pabrik mebel sendiri dan dibantu keluarga besar Dewi. Sedangkan Dewi sendiri semakin sukses dengan butik dan toko kue kering yang dirintisnya. Bahkan Albian sering pergi ke luar kota untuk memenuhi pesanan bisnis mebelnya yang semakin meningkat. Kesuksesan dan pundi-pundi kebahagiaan semakin keluarga kecil itu rasakan. Namun itu tak bertahan lama setelah kehidupan mereka hampir sempurna ada sebuah ujian cinta dan kesetiaan yang harus mereka perjuangkan. Pada suatu hari Dewi bertemu dengan sahabat lamanya bernama Shinta di salah satu mal yang ada di kota ini. "Dewi...!" Shinta memanggil Dewi seraya mendekat. "Assalamualaikum, mbak Shinta. Apa kabar kamu mbak?" Dewi mengulurkan tangannya dan di sambut oleh Shinta. "Waalaikumussalam, Alhamdulilah kabarku baik, kamu sendiri apa kabar?" tanya Shinta. "Alhamdulilah kabarku juga baik," jawab Dewi seraya tersenyum. "Eh, kita sudah lama tidak bertemu, ya. Kamu semakin sukses saja, Dewi." puji Shinta. " Alhamdulilah, mbak." "Suami kamu kemana, kok tidak mengantar kamu belanja?" "Mas Bian, sedang ke luar kota, mbak. Ada urusan bisnis seminggu di sana." Mendengar jawaban Dewi, Shinta mengangguk pelan. "Dewi, kebetulan ketemu kamu di sini. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu." wajah Shinta terlihat serius. "Oh, boleh. Kita ke sana saja sekalian kita makan. Aku yang traktir deh." ucap Dewi seraya tersenyum senang karena setelah sekian lama bertemu kembali dengan sahabatnya Shinta. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam restoran yang ada di mall. Dewi duduk dan di ikuti oleh Shinta. Setelah memesan makanan dan minuman kini Shinta mulai bicara pada Dewi. Dengan wajah serius Shinta kini menatap Dewi sahabatnya yang sedang duduk di depannya. "Dewi, apa suami kamu sekarang berubah?" tanya Shinta. Dewi tersenyum. "Tidak, kenapa mbak?" "Dewi, em ... Aku mau mengatakan sesuatu, tapi kamu jangan marah ya?" Shinta sedikit ragu saat mengatakan itu. Tapi Shinta harus tetap mengatakan pada Dewi sahabatnya. "Katakan saja, mbak. Jangan buat aku penasaran begitu, ah." Dewi tersenyum melihat Shinta. "Kemarin saat aku berkunjung ke rumah mertuaku, aku melihat Albian bersama dengan perempuan lain. Sepertinya itu istrinya." akhirnya Shinta mengatakannya juga pada Dewi setelah sedikit ragu tapi Shinta tidak mau Dewi sahabatnya terus di bohongi oleh Albian suaminya. "Mbak Shinta, ti-tidak bohong kan?" tanya Dewi dengan suara gemetar. Dewi berharap apa yang dia dengar adalah bohong dan tidak mungkin kalau Albian suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. Karena kasih sayang yang di berikan Albian selama ini tidak berubah, masih sama seperti Albian suaminya yang sangat menyayangi dirinya dan keluarga kecilnya juga sangat memanjakan anak- anaknya. "Kamu yang sabar ya, Dewi." Shinta mengusap usap tangan Dewi yang kini mulai gemetar. "Katakan kalau itu tidak benar, mbak?" suara Dewi sudah terdengar sedikit serak akibat menahan rasa sakit di dalam hatinya walaupun dia belum mempunyai bukti yang menunjukkan kalau suaminya sudah menikah lagi dengan perempuan lain, tapi mendengar itu juga sangat sakit. "Aku berharap itu juga tidak benar, Dewi. Tapi kata tetangga dan mertuaku kalau itu Albian suaminya tetangga mertuaku, Dewi. Mana ada wajah yang sama nama yang sama tapi orang yang berbeda. Aku juga melihat sendiri itu Albian suamimu. Kita kenal dari SMA Dewi. Kamu, aku, Albian dan suamiku, kita kenal dan bersahabat dari dulu. Aku sangat kenal dengan Albian." Dewi diam mematung. Hatinya terasa hancur berkeping keping ketika mendengar itu. Namun Dewi tetap berharap kalau semua itu tidak benar. Ia berharap kalau suaminya tidak seperti yang Shinta tuduhkan. "Ini alamatnya. Kamu bisa pastikan langsung di sana kalau nanti suamimu izin pergi ke luar kota lagi. Aku masih berharap rumah tangga kamu dan Albian baik-baik saja." Shinta memberikan alamat rumah Albian dan istri barunya. Kini Shinta menatap Dewi yang masih mematung dengan wajah pucat dan matanya sudah mulai tergenang air mata. Tiba-tiba ponsel milik Shinta berdering ada nama suaminya tertera di layar ponsel itu. "Suamiku sudah menjemput. Aku duluan ya, Dewi. Maaf kalau aku sudah membuatmu seperti ini. Aku tak bermaksud apa apa tapi aku pikir kamu berhak untuk tahu semua ini." Setelah mengatakan itu, Shinta pergi meninggalkan Dewi sendirian dengan perasaan yang berkecamuk di dalam da-da. Perasaan campur aduk antara percaya dan tidak. Pasalnya Albian masih seperti dulu tak ada yang berubah dari suaminya itu hanya sekarang lebih sering ke luar kota karena bisnisnya di sana sedang maju pesat tidak seperti dulu awal memulai usaha. Albian memilih lokasi pabrik di sana karena memang lokasinya luas dan strategis. Ponsel milik Dewi berdering. Seketika membuatnya sadar dari lamunan. Tertera nama Alana di sana. [Assalamualaikum, ma. Mama di mana?] terdengar suara Alana dari seberang sana setelah Dewi menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel di telinganya. Dewi masih diam saja mulutnya enggan menjawab. [Ma, tadi papa telepon mama kenapa tidak di angkat? Tadi papa telepon Alana menanyakan mama. Papa bilang nanti malam dia pulang ke rumah.] Setelah mendengar itu, Dewi langsung mematikan sambungan teleponnya. Perempuan itu mengusap air matanya yang mulai terjatuh di pipinya. Malam ini suaminya pulang ke rumah. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa Dewi menanyakan langsung pada suaminya? Ah rasanya itu tidak mungkin. Mana mungkin Albian akan mengaku kalau dia menikah lagi. Tok Tok Tok. Suara ketukan pintu menyadarkan Dewi dari lamunannya. Dengan cepat perempuan itu berdiri dari duduknya, kemudian menyimpan foto pernikahannya ke dalam laci. Sejenak berdiri di depan cermin dan menyeka air matanya. Ceklek. Dewi membuka pintu kamarnya. Ia melihat sosok wanita tua berhijab yang kini sedang berdiri di depannya. "Dewi?" bu Ratna mertua Dewi lebih tepatnya ibu Albian yang tinggal di rumah ini bersama dengan menantunya. Walau Albian dan Dewi berpisah tapi Ratna masih tinggal di sini. "Boleh ibu bicara sebentar?" tanya Ratna yang ia tahu kalau sekarang keadaan Dewi tidak baik-baik saja. Lebih tepatnya sejak satu bulan lalu ketika berpisah dengan suaminya. "Silakan masuk, bu." Dewi membuka pintu kamar lebar agar mertuanya itu masuk. Dewi dan Ratna duduk di pinggir tempat tidur. "Nak Dewi. Ibu izin pamit, mau pulang ke desa saja. Ibu tidak enak sama kamu. Kamu dan Albian sudah..." Ratna tak melanjutkan ucapannya. "Mas Albian sudah ninggalin Dewi, bu. Sekarang ibu juga mau pergi ninggalin Dewi?" Dewi menatap bu Ratna dengan mata yang berkaca-kaca. Sepandai apapun Dewi menyembunyikan luka hatinya tetap saja ia rapuh juga. Air mata Dewi keluar lagi. Dengan cepat ia menyekanya. Ia tidak mau bu Ratna khawatir dengannya. "Bukan itu maksud ibu, nak. Ibu tidak enak sama kamu karena Albian sudah menyakiti kamu, nak." "Jangan tinggalkan Dewi, bu. Dewi tidak sanggup kalau sendirian. Dewi butuh ibu di sini." Dewi memeluk bu Ratna dengan erat. Perempuan itu sangat membutuhkan bahu untuk bersandar sekarang. Dewi sangat menyayangi bu Ratna ibu mertuanya. "Maafkan anak ibu ya, Dewi. Ibu merasa gagal mendidik Albian." ucap bu Ratna seraya mengusap- usap punggung anak menantunya itu. Keesokan harinya. Dewi sedang sarapan bersama Alana anak pertamanya. Sedangkan Diana masuk ke pesantren. "Ma, kok papa sekarang jarang pulang, ya? Apa pabrik sedang ramai sampai bulan ini papa tidak pulang?" Mendengar pertanyaan Alana seketika da-da Dewi menjadi sesak. Wajahnya seketika memucat. "Kenapa Alana tanya Papa?" tanya Dewi. Dengan susah payah ia menyembunyikan masalah rumah tangganya agar anak-anaknya tak tahu masalah ini. "Alana mau minta uang buat bayar kuliah, ma." jawab Alana seraya memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Nanti, Mama transfer buat bayar kuliah kamu. Kebetulan Mama masih ada sedikit tabungan." Sejak satu bulan lalu Dewi menghentikan bisnis kue keringnya karena ia tidak sanggup lagi kalau harus bekerja, pikiran dan hatinya sudah hancur saat ia mendatangi alamat yang diberikan Shinta sahabatnya. Saat Albian pamit lagi ke luar kota Dewi sengaja mengikutinya. Dan benar saja di sana Dewi melihat Albian menemui perempuan muda yang sedang hamil. Walau perutnya belum besar tapi Dewi tahu kalau perempuan yang bersama suaminya itu sedang dalam keadaan hamil. Hati Dewi semakin sakit ketika melihat Albian mencium kening perempuan itu kemudian mengusap perutnya. Dewi tak sanggup lagi melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Bahkan Albian memperlakukan perempuan muda itu sama seperti memperlakukan dirinya. Sejak kejadian itu Dewi menghentikan usahanya. Dari pada tidak bisa konsentrasi lebih baik Dewi menghentikan bisnis kue keringnya. Butiknya yang mengelola juga karyawannya Dewi hanya terima beres saja. Penghianatan Albian membuat Dewi sering sakit-sakitan karena Dewi memendamnya sendiri di dalam hati. Perempuan itu tidak mau anak-anaknya mengetahuinya. "Mama melamun?" pertanyaan Alana menyadarkan Dewi dari lamunan. Perempuan itu sekarang sering melamun. Dewi tersenyum. "Tidak. Ayo sarapan. Nanti Mama transfer uang ke rekening kamu." "Ma. Kalau mama tidak punya uang nanti biar Alana minta sama papa saja. Mama, kan sekarang sudah tidak membuat kue kering lagi." "Mama, masih ada uang tabungan, Lana. Jadi kamu tidak usah bingung, nanti Mama transfer." "Iya, Ma." ****** "Biarlah aku egois untuk sekarang ini karena memendam kesakitan ini sendiri, aku tidak mau berbagi, biarlah semua tetap seperti ini." By: Dewi Maharani

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook