bc

Nice To Meet You

book_age18+
24
FOLLOW
1K
READ
like
intro-logo
Blurb

Meskipun kehilangan kedua orang tuanya, Kalea tetap menjalani hidup dengan sangat baik. Jauh berbeda dengan Devan yang harus kehilangan kakak perempuannya. Setiap melihat Kalea, Devan akan ingat bagaimana cara Tuhan merebut orang yang paling ia kasihi di dunia.

Devan benci ketika kakeknya ikut-ikutan mencampuri urusan hidupnya dengan mendekatkan dirinya dengan Kalea yang jelas-jelas sangat ingin dihindarinya. Ia bersumpah akan mendapatkan wanita yang lebih baik daripada Kalea, orang yang sudah dianggap cucu sendiri oleh kakeknya itu.

Akankah Devan menemukan wanita yang tepat untuk dirinya?

chap-preview
Free preview
Bisakah Mereka hidup?
Keheningan ini begitu mencekik leherku, tapi aku masih bisa bernapas. Aku menekuk kedua lututku dan menjadikannya tumpuan. Baru saja aku meletakkan buket bunga sisa dari tempat bekerja sambilanku. Daripada terbuang sia-sia, aku membawanya ke sini. Ke pemakaman di mana kedua orang tuaku bersemayam dengan sangat tenang sepuluh tahun ini. Setelah sekian ratus kali aku ke tempat ini, aku semakin kuat dan tidak menangis lagi. Rasa kehilangan tetap kurasakan, tapi apakah aku harus terus meratapi sesuatu yang tidak pernah bisa kembali hidup? Bisakah mereka hidup lagi? Apakah bisa bersamaku sekarang? Mungkinkah mereka mengingkari garis takdir yang sudah tertulis di langit? Aku sangat tahu apa jawabannya, makanya aku memilih terdiam dan duduk dengan kedua kakiku sebagai penghalang rerumputan yang tampak hijau dan terawat dengan baik. Hari ini adalah tanggal kematian kedua orang tuaku, tidak jauh dari tempatku ada seorang kakek tua yang lebih dulu tiba. Dia bersama dengan dua orang pengawalnya sedang berkunjung. Di hari yang sama di tempat yang sama cucu perempuan tersayangnya meninggal. Kecelakaan yang sama, di hari dan waktu yang sama. Bedanya kakek itu hanya kehilangan satu keluarganya sedangkan aku kehilangan segalanya. Kakek itu menatapku dari pusara cucunya. Aku menyunggingkan senyum terpaksa. Aku tidak menangis, tapi bukan berarti aku dalam keadaan yang bahagia. Aku tidak menutupi apa yang kurasakan. Sangat tidak etis ketika senyumku mengembang ketika aku merasa kehilangan yang teramat sangat. Meskipun dalam kehidupan di luar sana aku mencoba tersenyum selebar mungkin. Menutupi kesendirianku. Benar kata orang kalau orang yang tertawa paling lebar adalah mereka-mereka yang menyembunyikan luka paling dalam di kehidupannya. Aku memang sudah tidak tertolong lagi. Seorang penipu. Menipu dirinya sendiri dengan begitu rapinya. “Ma, apa kabar? Pa, apakah di sana kalian dipertemukan dalam kebahagiaan?” Aku berpikir jika kedua orang tuaku sudah hidup bahagia dan bersama selama-lamanya. Menyisakan diriku yang masih setia sendiri dalam kehidupan ini. Baguslah kalau ada dua orang yang kusayangi bisa hidup lebih baik meskipun tidak bersamaku. Ini adalah puncak dari rasa cintaku kepada kedua orang tuaku. Merelakan. Dengan merelakan aku sudah membuat kedua orang tuaku tidak terbebani setelah meninggalkan diriku sendiri. Aku juga merasa lebih baik setelah bisa merelakan. Buktinya aku tidak menangis, meskipun hatiku sesak. Mungkin karena sudah terbiasa. Mungkin karena aku sudah terlalu banyak menangis. Mungkin karena aku tahu kalau apa yang aku lakukan tidak bisa membuat mereka kembali. Akhirnya aku menyemangati diriku sendiri. “Ma, mungkin aku akan jarang berkunjung. Aku harus membuat tugas akhir. Pa, semoga tahun ini aku lulus kuliah dan bisa membelikan bunga dengan uangku sendiri.” Aku memandangi nama kedua orang tuaku yang menjadi satu dalam nisan yang sama. Aku tersenyum tipis. Mama dan papa pasti sedang bahagia di tempat yang tidak terlihat olehku. Mereka begitu romantis karena selalu bersama-sama. “Pa, Ma, aku pamit. Aku tidak mau menangis jika terlalu lama di sini.” Meskipun tidak mengeluarkan air mata, tapi hidungku jadi pilek. Mungkin karena angin pagi yang begitu liar membelai wajahku atau bisa saja karena aku tidak pernah benar-benar rela dengan kepergian mereka, meskipun aku selalu berkata kalau aku sudah mengikhlaskan. Susah. Memang susah untuk mengerti diri sendiri. Akan tetapi aku mengerti apa yang aku mau saat ini. Aku ingin lulus dan bekerja. Memperbaiki kehidupan yang sempat hancur beberapa tahun yang lalu. Ini adalah kehidupanku dan aku bertanggung jawab untuk diriku sendiri. Aku pernah membaca kalau di hari tua jika aku tidak pernah sukses berarti diriku sudah membuang kesempatan yang kumiliki dan semuanya adalah karena kesalahanku. Aku yakin sekali kalau orang lain akan menyalahkan takdir atas kemalangan yang menimpa dirinya. Dulu, aku menyalahkan takdir atas kemalangan-kamalangan yang mampir dalam hidupku. Akan tetapi aku tidak seperti itu lagi. Aku sudah dewasa. Cukup tahu mana yang harus dan tidak harus kupilih dalam hidup. Aku hanya berharap jika aku memilih opsi hidup yang benar. *** Aku duduk di depan Kakek Sasmitha. Seorang kakek yang tadi kuceritakan sedang menengok pusara cucu perempuannya. Seperti biasa kakek tersenyum kepadaku. Dia masih sangat gagah meskipun sudah lanjut usia. Pasti dulunya ketika muda Kakek Sasmitha digilai oleh banyak wanita. Sayang aku tidak pernah melihat seperti apa wanita beruntung yang akhirnya memenangkan hatinya. Sejauh ini aku melihat kalau kakek begitu baik kepada siapa saja. Sangat jauh berbeda dengan cucu lelakinya yang bernama Devandra. Dia menyebalkan. “Cucu, apa kabar? Sekarang sudah besar dan semakin cantik.” “Terima kasih, Kek.” Basa-basi ini lagi. Kakek selalu bilang kalau aku sudah besar dan cantik sejak aku masuk kuliah. “Kakek sudah pesan es krim untukmu. Sayang, Kakek tidak boleh terlalu banyak makan dan minum yang manis-manis.” Kakek Sasmitha mengeluh, karena dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang menjadi pantangannya maka sang dokter akan marah-marah kepadanya. “Terima kasih, Kek.” “Apa hanya kalimat terima kasih yang bisa kau berikan kepada Kakek?” Kakek Sasmitha memutar bola matanya, seperti anak kecil yang sedang merajuk dan tidak suka dengan sesuatu. Sangat tidak mencerminkan orang yang sudah dewasa. “Lalu aku harus bagaimana, Kek?” Aku menyerah. “Bagaimana kuliahmu? Apa Devan berulah lagi di kampusnya?” Kakek menghela napas, lebih kepada rasa prihatinnya kepada cucu satu-satunya yang tidak bisa diandalkan. “Dia baik-baik saja, Kek.” Selama Devan sehat dan tidak mendapatkan surat DO dari kampus aku akan mengatakan dia baik-baik saja. Lagi pula aku bukan babysitter-nya. Meskipun Kakek Sasmitha baik kepadaku, bukan berarti aku akan mengurusi segala kepentingan cucu menyebalkannya itu. “Memangnya kenapa, Kek?” “Dua hari dia tidak pulang ke rumah. Kedua orang tuanya sudah malas berurusan dengan anaknya. Sedangkan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaiki sikap cucu lelakiku itu. Aku sepenuhnya tidak menyalahkan Harry dan Sava. Mereka sudah jenuh menghadapi kebadungan Devan.” “Anak lelaki memiliki caranya sendiri untuk menikmati masa mudanya, Kek. Mungkin suatu hari nanti dia akan berubah.” “Kapan hal itu terjadi?” Kakek tampak serius menanyakannya kepadaku. Apa kakek pikir aku ini adalah Tuhan yang maha tahu segalanya? Aku tersenyum, untung seorang pelayan datang mengantarkan pesanan kakek. Sebuah pengalihan di saat yang sangat tepat. “Waaah … es krim.” Aku pura-pura senang saat makanan manis itu datang ke meja kami. Sangat jelas sekali kalau aku sedang mengalihkan perhatian. “Makanlah, Kalea.” Kakek Sasmitha pasrah saja ketika aku tidak menjawab pertanyaannya itu. “Kakek hanya memesan teh?” “Iya. Mau memesan apa lagi? Ini sudah tanpa gula. Apa nikmatnya hidup jika seperti ini?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
199.9K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.8K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

Mas DokterKu

read
238.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook