bc

MENGGENGGAM JANJI

book_age16+
61.0K
FOLLOW
474.4K
READ
second chance
goodgirl
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

A Sequel to Patah (Cerita kedua Tetralogi Keluarga Nashid)

Setelah pengkhianatan suaminya yang menikah lagi dengan perempuan lain, Fara 'melarikan diri' keluar negeri melanjutkan pendidikan dan menjadi single parent bagi anaknya, Rafael.

Ketika sang kakak memintanya untuk pulang ke tanah air, Fara bimbang dan ragu. Dari awal dia tidak pernah berniat untuk kembali, tetapi permintaan sang kakak juga tidak mampu ia tolak.

Kembali ke negeri sendiri ternyata takdir pun masih berputar disekitarnya dengan orang yang sama, dengan mantan suami yang meminta kesempatan kedua.

Lalu bagaimana dengan Fara? Apakah ia menerima kembali cinta yang dulu mekar sempurna atau tetap membeku dalam dinginnya palung hati. Bagaimana dengan seseorang tak terduga yang ternyata datang menagih janji yang dulu sempat mereka ikrarkan? Kemanakah hatinya akan berlabuh?

Baca cerita 'Patah' terlebih dahulu agar tidak bingung.

chap-preview
Free preview
1. A FAMILY REUNION
"Terima kasih, Ma." Ucap Fara setelah Hanna, ibunya Ian mengoleskan salep di punggungnya. "Sama-sama, Sayang. Aduh, Mama berasa punya anak gadis!" Wanita itu terkekeh geli. Semenjak Julian membawa trio bersaudara itu kerumahnya, kedua orang tua paruh baya itu tidak berhenti tersenyum. Mereka sangat senang, apalagi Hanna. Wanita itu bela-belain membelikan Fara salep penghilang bekas luka dari China yang diracik khusus dan telaten mengoleskannya ke punggung Fara setiap hari hingga bekas luka itu hampir menghilang seluruhnya. Jika saja dahulu Hanna dan suaminya tidak sibuk bekerja, mungkin saja Ian akan punya saudara. Berhubung mereka lebih sering bepergian untuk urusan bisnis dan pekerjaan, tidak terpikir lagi untuk memberi Ian adik. Ian sering ditinggal hingga lebih lebih dekat dengan keluarga Fara. Setelah Ibra dan Sarah meninggal, dan kondisi Fara yang tengah terpuruk, sudah waktunya mereka membalas budi baik Ibra dan Sarah dengan menyayangi anak-anak mereka sebagaimana mereka memperlakukan Ian selama ini seperti anak mereka sendiri. Apalagi tiga bersaudara itu anak-anak yang manis dan tahu sopan santun. Saat ini, ia dan suaminya cukup pusing dengan perusahaan yang membutuhkan pewaris, sedangkan anaknya memilih menjadi dokter, tidak mau ikut ambil pusing dengan urusan bisnis ayahnya. Sementara Antonio terus menua dan ingin berhenti secepatnya menikmati masa-masa pensiun mereka. "Hai. Feel better?" Sapa Ian saat mendapati Fara yang tengah melamun di balkon kamarnya sambil mengikuti pergerakan Sam dan Al yang tengah bermain basket di halaman belakang. "Yes, thanks, Ian." Jawab Fara tersenyum. "Lagi mikirin apa?" Tanya lelaki itu sambil menenggak softdrink. Fara menggeleng. "Ini dan itu." "Tidak usah dipikirkan, jalani saja." "Mudah bagimu berkata begitu, kan?" Tanya Fara membuat Ian tertegun. "Look, Fara! Aku tahu ini berat untukmu. Hanya saja, ada kami di sampingmu. Ada Al dan Sam, juga kedua orang tuaku. Aku yakin pak tua itu akan mengabulkan apa saja yang kamu minta." Fara tertawa. "Dasar anak durhaka!" Ian tersenyum. Hatinya menghangat melihat cengiran lebar yang kembali terbit di bibir sahabatnya semenjak mereka tinggal bersama dirumah orang tuanya. "Kamu nggak kerja?" "Ah, aku ambil cuti sebentar sampai Al kembali dan kamu berangkat ke Sidney. Aku kangen kalian." Jawabnya santai. Ian memang merindukan saat-saat mereka berkumpul seperti ini. Rasanya seperti kembali ke masa kecil dimana tidak ada beban hidup. Yang ada hanya bermain dan tertawa lepas bersama. Jatah cuti Al hanya tinggal beberapa hari lagi, sedangkan Sam dua hari sekali bolak balik ke Singapura mengurus pekerjaannya. Ian tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena tidak lama lagi, mereka akan berpisah dan kembali melanjutkan hidup masing-masing. Jika ia terus ke rumah sakit, kesibukannya tidak akan berhenti karena jadwal dokter residen yang sangat padat bagaikan buruh rodi. "Visa mu sudah keluar, kan?" Fara mengangguk. "Dua minggu lagi aku berangkat." "Kuliah disini saja, kenapa sih?" Fara menggeleng. "Ayolah Ian, we've talked about this before." Ian mengangkat bahu. "I'm gonna miss you, anyway." "Me too." Fara mengangguk. "Hmm, Ian..." "Ya?" "I'm sorry about your car. Nanti biaya perbaikannya aku ganti, ya!" Ian berdecak. "Santai, Ra. Kamu kayak sama siapa aja." "Aku nggak enak, pasti mahal, lho." "Bahkan aku masih sanggup membelikanmu Ferrari kalau kamu mau." "Huh, iya tahu, horang kayahhh!" Cetus Fara mendelik sebal. Ian tertawa. Ia tidak enak hati pada keluarga Ian. Antonio bahkan membelikannya sebuah apartemen dua kamar dekat kampusnya di Sidney sebagai akomodasi saat ia kuliah nanti. Padahal sebelumnya, ia juga sudah menyetor uang muka untuk menyewa apartemennya sendiri. Betapa Fara sangat berterima kasih dikelilingi oleh saudara dan orang-orang yang menyayanginya. Pikirannya melayang pada Andra dan ia mendadak sedih. Ia tidak menemukan kehangatan dalam keluarga itu walaupun ia tahu Andra sangat mencintainya. Hanya, cinta saja ternyata tidak cukup untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Ada sandungan di sana sini yang menghalangi mereka. Ian mengusap kepala Fara seakan dapat membaca isi benak Fara. "It's ok. Time will heal." "Yes, time will heal." Jawab Fara menunduk ragu. Fara kemudian melambaikan tangannya membalas lambaian Sam dibawah sana yang badannya sudah basah oleh keringat. Dimalam harinya suasana semakin ramai ketika Ben dan anak-anak serta istrinya datang berkunjung. Pengacara kondang itu baru saja kembali dari KL dan membawakan oleh-oleh serta cemilan yang banyak. Para orang tua berkumpul membentuk kelompoknya sendiri, sedangkan anak-anaknya juga berkumpul ramai di depan televisi. Suasana mendadak heboh seperti sebuah reuni keluarga besar. Hanif dan Satya malah membawa gitarnya dan bernyanyi-nyanyi bersama Fara yang tertawa riang dalam rangkulan tangan Al. Semua orang memberi dukungan yang tiada henti bagi wanita malang tersebut. Kara yang terkenal heboh membawa suasana menjadi ceria. Gadis itu bahkan tidak segan mengeluarkan semua isi kebun binatang saat berselisih paham dengan Hanif. "Hai, Non. Selamat ya, udah jadi janda." Ucap Kara nyengir lebar merangkul bahu Fara. "Siapa sih yang mau jadi janda, Mbak?" Fara mendelik. "Idihh, baper! Ga usah sedih, zaman sekarang janda terdepan, lho!" Fara mendelik. "Ada-ada aja lo, Mbak." Kara tersenyum lebar. "Ehh, si Sam makin cakep aja. Lo tolong comblangin gue sama dia, donk!" "Lah, bukannya lo udah punya pacar, Mbak? "Ah gampang itu, kalo Sam mau, gue rela kok putus dari Bram." Fara memutar bola matanya. "Lo kira Sam ban serep?" "Hahahah, iya sih. Lagian dia ganteng-ganteng tapi jutek, nggak ada manis-manisnya. Heran gue." Fara tertawa lebar. Sedikit demi sedikit kesedihan yang menggantung di pundak Fara pun terangkat. Mimpi buruk yang sering membuatnya terbangun dari tidur sudah mulai berkurang. Kehadiran keluarga yang sempat merenggang sebelumnya memacu semangatnya untuk maju. Fara sangat bersyukur, ada hikmah dibalik peristiwa tragis yang menimpanya. Setidaknya ia kembali berkumpul seperti ini dengan saudara-saudaranya. Mereka telah melupakan semua yang pernah terjadi karena dirinya. Fara terkadang kembali sedih mengingat sang papa, mengingat bagaimana ia telah menorehkan kecewa yang begitu dalam pada sosok lelaki cinta pertamanya tersebut. Antonio sangat bahagia melihat anak-anak itu berkumpul di rumahnya. Rumah besar yang biasanya hanya diisi dirinya dan istri beserta sederet asisten, kini sangat ramai karena anak-anak itu seketika bertingkah seperti para bocah berebut mainan. Pria tampan yang sudah mulai beruban itu menatap hangat pada Fara yang tertawa melihat tingkah riuh kakak-kakaknya. Kemudian ia tersenyum dan menggeleng pelan mengingat dulu dengan konyolnya ia pernah meminta Fara pada Ibra untuk dijadikannya menantu. Setelah rombongan itu pergi, Al termenung duduk di kursi. Laki-laki itu melamun memikirkan tanggung jawabnya pada adik-adiknya. "Mikirin apa, Bang?" Tanya Ian saat menghenyakkan bokongnya disamping Al. "Hmm, nggak ada." Jawab Al pelan. "Nggak usah bohong." Al tersenyum kecut. "Gue masih terikat kontrak delapan bulan lagi sementara bocah itu malah ngotot kuliah ke Sydney. Kalau dia mau pindah ke Jerman, gue akan senang hati membawanya." "You know her." Jawab Ian. "Maaf, Bang. Gue masih harus jadi residen satu tahun lagi." "Nggak apa-apa. Ini saja sudah lebih dari cukup. Thanks, Bro." Ian mengangguk. "Gue yang ikut ke Sidney." Celetuk Sam yang membawa kacang goreng ke hadapan dua lelaki itu. "Heh?" Al melongo. "Lo yakin? Kerjaan lo gimana?" "Gue udah resign." Jawab Sam sambil mengangkat bahu. "Serius? Kok nggak bilang dulu?" "Yoi. Lagian nggak mungkin membiarkan dia berangkat sendirian. Kalau Fara nggak hamil sih, gue nggak keberatan. Nanti kalau ada apa-apa, kan repot." Ujar Sam panjang lebar. Al menghela napas lega sambil melayangkan tatapan penuh terima kasih pada adiknya. Sam mengerling jahil. "Tapi kirimi gue uang jajan ya, Bang." Al menepuk bahu adiknya sambil mendengus. Fara yang mendengar percakapan para lelaki itu dari balik pintu kamarnya merasa tidak enak hati. Keputusannya untuk tetap ke Australia menjadi beban pikiran bagi Al setelah ia menolak mentah-mentah tawaran si sulung itu. *** "Sam, maaf." Ujar Fara saat lelaki itu mengantarkan s**u ke kamar Fara sebelum waktunya tidur. "Kenapa?" Tanya Sam kemudian duduk di tepian kasur di depan adiknya. "Maaf merepotkan kalian. Seharusnya kamu nggak perlu resign buat aku." "Apa sih, Ra?" "Aku rencananya mau bawa Mbok Nur saja ke sana. Kamu nggak perlu mengorbankan karirmu." "Aku nggak resign total, kok." "Terus?" "Pindah ke IT Development aja, jadi kerjaan bisa mobile. Aku cuma perlu pantau dan kasih laporan berkala dan semacam itulah." Sam menjawab sambil memijit-mijit kaki Fara. "Kenapa bilangnya sama Abang kamu resign?" Tanya Fara bingung. "Hihihi, sengaja, biar dapat uang jajan." Sam berbisik geli. "Aduh, aduh! Sakit, Ara! Baaaang, gue dicubitin setan!" Teriaknya menghindari cubitan keras Fara di pinggangnya. *** "Lo kenapa ga pernah pulang, Sam?" Tanya Al sambil mengunyah kacang goreng setelah jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Mereka tengah duduk dilantai menonton televisi yang menayangkan liga Italia. "Patah hati, ditinggal kawin." Celetuk Ian dengan tatapan meledek. Sam mendelik sebal. Apa sih? "Beneran?" Al menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apes gue! Punya adik satupun nggak ada yang bener. Satu cerai, satu gagal move on, satu lagi penjahat kelamin." "Loh, kok bawa-bawa gue?" Protes Ian. "Kenapa? Lo ga terima?" "Iya deh, Bang, iya! Cuma elo yang sempurna. Nggak heran sampai sekarang masih jomblo." Jawab Ian sambil meledek. "Gue kok yakin elo berdua masih perjaka." "Emang! Masalah buat lo?" Jawab Sam. "Idih, nyolot! Nggak, sih, sebenarnya kalian aja yang apes belum merasakan surga dunia." Sahut Ian santai. "Memangnya sekali dapat apem, lo bayar berapa?" Tanya Sam antusias. "Mana ada bayar? Yang ada cewek-cewek sukarela buka celana di depan gue." "Njirr, hoki banget lo! Nggak kayak yang itu, puluhan juta." Seru Sam. "Ogah gue bayar segitu, mending beli kerupuk bisa buat makan tiga turunan." "Lo berdua ngomong apem melulu dari tadi. Apem apaan sih?" Sela Al. Ian melongo. Sam menyentuh kening Al dengan punggung tangannya yang segera di tepis oleh lelaki itu. "Astaga, Bang, lo tinggal di planet mana, sih? Apem saja nggak tau?” "Tau. Tapi apem apa yang puluhan juta? Isinya emas?" Sanggah Al. "Astagfirullah! Bubar bubaaaar! Ada bocah!" Teriak Sam sambil berdiri. Sam dan Ian bergerak menuju kamar masing-masing meninggalkan Al yang kebingungan. "Kok pergi?" Al yang tidak mendapat jawaban segera mengusap smartphone nya dan mengetik apem puluhan juta di sana. Kemudian matanya melotot sempurna. Anjirr!! "Woyy! Emang setan ya kalian berdua!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

PATAH

read
514.7K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.6K
bc

Switch Love

read
112.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook