bc

Mr. Trouble

book_age16+
3.5K
FOLLOW
44.2K
READ
escape while being pregnant
second chance
sensitive
CEO
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Charlotte Jackeens sedang dalam masa keemasan karirnya. Ia bekerja di sebuah perusahaan kosmetik terbesar di New York, dan dengan semua uang yang ia miliki dari kerja kerasnya, ia merasa tidak membutuhkan pria.

Mendadak mendapatkan tugas untuk menjadi sekretaris sementara sampai perusahaan mendapatkan sekretaris pengganti. Namun, hal itu justru mengubah kehidupan sempurnanya.

Dave, anak tunggal pemilik perusahaan tempat Charlotte bekerja, baru saja bergabung ke perusahaan. Baginya, Charlotte memberikan sensasi kesenangan sendiri dengan setiap reaksi yang ditunjukkan wanita itu saat Dave menggodanya,

Semakin Charlotte menjauh, semakin Dave mengejarnya agar jarak itu menghilang.

Ini adalah kisah klasik antara seorang CEO dengan sekretarisnya. Tentu saja, dipermanis dengan "bumbu-bumbu kedewasaan" yang menarik untuk dibaca kamu, si pecinta romansa dewasa.

chap-preview
Free preview
Chapter One: Hello, Troublemaker.
           -- Erangan itu terdengar sampai ke ruang tengah; penuh gairah, dengan napas yang terengah-engah. Di sana, dua orang itu tampak melekatkan diri satu sama lain, menciptakan siluet e****s dari setiap inci pergerakan tubuh yang di luar batas nafsu masing-masing. Mata pria itu berkilat nakal saat resonansi napas Charlotte yang semakin berat melesak ke gendang telinganya. “Kau menikmatinya?”--             Pagi ke-13 di dinginnya Desember. Tatapan Charlotte memandang lurus dan sinis pada pria yang kini duduk di depannya. Awal weekend-nya hancur begitu saja demi menemani pria asing yang baru dikenalnya. Sama sekali tidak ada rasa ikhlas di hati Charlotte. Apa yang ia lakukan kini semata-mata karena permintaan dari bos 'tersayangnya'. Hilang sudah kesenangannya menikmati menu sarapan favoritnya - secangkir jasmine tea hangat, dua sunny side up egg setengah matang dan 5 lembar daging bacon yang dipanggang dengan saus barbeque. Tidak hanya itu, ia pun terpaksa merelakan untuk menunda membaca novel romantis yang baru ia beli minggu lalu.         “Charly, mau secangkir kopi?”         Charlotte mengernyitkan dahinya, “Charlotte, Sir.”         “Ah! Maaf, menurutku panggilan 'Charly' lebih terdengar akrab.” Pria itu memberi penjelasan atas panggilan yang diputuskan secara sepihak itu, sekaligus membubuhkan sebentuk senyuman manis di kedua sudut bibirnya yang tipis. Ia menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya pada Charlotte. Gadis itu menerimanya dengan raut wajah kesal yang tidak bisa disembunyikan.         Alasan kemarahan Charlotte bertambah satu lagi. Pria ini bersikap sok akrab dan ia tidak suka itu. Menurutnya, siapa dia? Hanya karena statusnya sebagai anak bos bukan berarti bisa bersikap sok akrab di hari pertama mereka bertemu. Charlotte menengguk habis kopi yang Dave, nama pria itu, beri dan rasanya ia memerlukan segelas orange juice dengan tambahan s**u untuk menyelamatkan lidahnya.         Dave terkekeh melihat reaksi Charlotte barusan, “Aku punya teh, kalau kau mau...”         Charlotte bergeming. Tatapan matanya yang tajam lurus terarah pada Dave. Di dalam pikirannya ia sibuk berandai-andai kalau saja ia adalah seorang wonder woman. Tanpa ragu ia akan mengikat, dan melemparkan Dave menuju menara Eiffel. Ia tidak bisa mengendalikan amarahnya dan itu membuat kepalanya jadi sakit.         Merasa tidak betah memandangi pria itu terlalu lama, Charlotte memalingkan wajahnya dari Dave ke pemandangan di luar apartemen tempat ia berada sekarang. Pria kaya ini tinggal di sebuah apartemen yang tidak murah, dikelilingi gedung-gedung tinggi New York yang menjulang ke langit. Ia jadi ingat bagaimana Mrs. Halley-bos tersayangnya- menceritakan banyak hal tentang Dave. Dimulai dari kelulusannya baru-baru ini dari Universitas Oxford yang beken itu, sampai sifat dan penampilan Dave yang selalu dipuji oleh semua orang. Sebagai anak tunggal, pastilah Dave amat sangat dimanjakan oleh Mrs. Halley. Kalau pun dugaannya salah, ia tidak peduli. Bagaimanapun, orang yang sudah merusak rencana indah weekend-nya bukanlah orang yang patut di beri respect. Kalau saja Dave tidak sok ingin tinggal sendiri dan membeli apartemen, maka Mrs. Halley tidak akan menelepon Charlotte tepat sebelum ia menyuapkan potongan daging bacon saus barbeque-nya, dan menyuruhnya untuk bersiap membantu kepindahan Dave.         “Sir, semua barang-barang anda sudah kami angkut,” ujar seorang pria muda berseragam abu-abu tua. Dia adalah petugas dari agen jasa angkut barang-barang pindahan rumah yang disewa Mrs. Halley.         Charlotte segera bergerak, membuka satu per satu kardus-kardus yang menumpuk di tengah-tengah ruangan, sementara Dave tampak memberikan sejumlah lembaran dollar untuk tip pria muda berseragam abu-abu dan teman-temannya yang bertugas membantunya hari ini.          Setiap kardus sudah diberi keterangan barang yang ada di dalamnya. Mungkin Dave yang menulisnya, Charlotte tak tahu. Paling tidak itu menghindarkan dirinya membuka barang-barang pribadi 'pria'. Terakhir kali ia membantu Jesse, ia menemukan banyak barang-barang 'pria' itu, bercampur dengan peralatan makan. Sepupunya itu memang cuek, ia tidak mengelompokkan barang-barangnya seperti yang dilakukan Dave. Charlotte bisa memakluminya, tapi bercampur dengan peralatan makan? Akhirnya ia memutusan tidak akan menggunakan peralatan makan Jesse dalam kondisi apa pun.         “Mrs. Halley bercerita tentang apartemenmu yang sangat rapi dan nyaman padaku. Aku senang kau mau membantuku. Kuharap apartemenku bisa sama nyamannya dengan apartemenmu.” Dave mulai membuka topik pembicaraan lagi. Ia masih berdiri di depan pintu apartemennya, menekan tombol-tombol pada alat keamanan. Sedang menyetel kode keamanan baru mungkin?         “Mrs. Halley hanya melebih-lebihkan,” timpal Charlotte. Seperti menyadari sesuatu, raut wajahnya berubah. “Kenapa kau memanggil ibumu dengan seb—“         “Aku sedang membiasakan diriku. Tidak mungkin aku memanggilnya ‘ibu’ di kantor nanti, kan?”         “Di kantor? Maksudmu?” Charlotte terkesiap. Ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengacak-acak isi salah satu kardus Dave. “Jangan katakan kalau kau akan..”         “Sepertinya Mrs. Halley belum mengatakan apa pun padamu.” Alis kiri Dave terangkat. Perkataannya barusan sedikit memberi kejut listrik di jantung Charlotte. Entahlah, ia tidak terlalu suka dengan berita barusan. Meskipun sudah sepenuhnya hak Mrs. Halley memasukkan anaknya ke dalam deretan pegawai yang bekerja di perusahannya. Juga sudah hak Dave bekerja di sana karena tidak dipungkiri kalau suatu saat nanti, pria ini akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan perusahaan Mrs. Halley. Hanya saja, Charlotte tidak yakin bisa menjalin hubungan rekan kerja yang baik dengan Dave. Berada satu jam saja dengan Dave sudah membuat tekanan darahnya naik, meskipun ini tidak sepenuhnya salah pria itu telah merusak hari liburnya. Yah, semoga saja mereka tidak berada di divisi yang sama, paling tidak itulah harapan Charlotte, dan jangan sampai Dave menggeser posisinya di perusahaan meskipun kemungkinan itu kecil. Ia yakin Mrs. Halley tidak akan berbuat hal sepicik itu.         Dave menangkap ekspresi Charlotte yang tegang. Sambil mengangkat kardus barang-barang pribadinya menuju kamar, ia menyenggol kaki Charlotte dengan kakinya, “Tenang saja, aku tidak tertarik mengambil posisimu kini. Tukang catat jadwal rapat dan perencanaan desain  bukan pekerjaan yang cocok untukku.” Dave mengedipkan sebelah matanya pada Charlotte. “Ah, tolong bawakan kardus kecil di dekat meja TV itu.” Dave memonyongkan bibirnya sebagai pengganti tangan untuk menunjuk kardus yang dimaksud.         Charlotte mengangkat kardus kecil yang dimaksud, kemudian membawanya menuju kamar Dave. Ternyata meskipun kecil, kardus itu lumayan berat. Apa saja yang kira-kira ia simpan dalam kardus ini?         “Yak, letakkan saja di situ.”         Charlotte meletakkan kardus itu dengan maksud pelan-pelan. Sayangnya, tangannya tidak cukup kuat menahan beban kardus itu saat membungkuk. Kardus itu jatuh terbanting di atas lantai dan mengenai kelingking kaki kanan Charlotte. Sontak saja Charlotte mengaduh kencang dan berlutut memegangi kelingkingnya. Alih-alih menolong, Dave justru tertawa keras, menaikkan kadar kekesalan Charlotte yang semula mulai menurun. Charlotte mulai menduga-duga sendiri. Tingkah Dave yang demikian membuatnya berpikir kalau pria itu memang senang membuatnya susah. Pria itu pasti sengaja menyuruhnya membawa kardus berat itu.          “Kau...” Charlotte menggeram marah. “Sengaja, ya?!” bentaknya. Wajahnya benar-benar merah sekarang, ia merasa diperolok dan ia benci terlihat memalukan. “Lebih baik aku pulang, kurasa kau tidak benar-benar membutuhkan pertolonganku.” Charlotte berdiri dan segera menuju ruang tengah untuk mengambil tasnya. Dave menarik tangan Charlotte, berusaha menghentikannya.         “Charly, I'm sorry, please don't go, okay?" pinta Dave memohon. Sejenak Charlotte sedikit luluh dengan tatapan memohon Dave. “Aku akan mengadukanmu pada Mrs. Halley kalau kau pulang begitu saja tanpa membantuku, dan membiarkanku membereskan barang-barangku ini sendiri,” lanjut Dave. Ia nyaris membuat kedua bola mata Charlotte melompat dari rongga matanya.         “Ah adukan saja, Mama Boy! Kalau merasa tidak mampu membereskan barang-barangmu sendiri, kenapa ingin tinggal terpisah dari orangtuamu dan pelayan-pelayan itu?!” Charlotte menarik tangannya. Mengempaskan tangan pria itu, lalu berlari keluar dari apartemen mewah itu setelah membanting pintunya keras-keras. Ini adalah pertama kalinya ia melakukan hal yang biasa terlihat di adegan film. Ternyata membanting pintu saat marah bisa begitu melegakan. Sekarang dia benar-benar ingin sampai di rumah secepatnya. Ia bahkan tidak bisa sabar menunggu lift datang dan memilih menuruni tangga dari lantai sepuluh ke lantai satu gedung ini.         Beruntung di depan gedung apartemen Dave ada taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya. Tanpa membuang waktu, Charlotte segera merangsek masuk ke dalam taksi, “Morningside Heights Apartment,” ujarnya pada si supir taksi.         Mesin taksi berderu pelan, mulai berjalan melewati gerbang utama apartemen Dave. Charlotte menghirup napas dalam-dalam. Otaknya mencoba memutar balik kejadian-kejadian hari ini hingga akhirnya ia berakhir di taksi. Ia harap ini adalah terakhir kalinya ia tidak bisa menikmati hari liburnya dengan maksimal......,tapi, apa yang terjadi kalau Dave benar-benar mengadukan masalah ini kepada Mrs. Halley?         Apa sebaiknya aku kembali?         “Maaf, kita putar balik saja. Aku melupakan sesuatu...” Charlotte merendahkan volume suaranya di akhir ucapannya.         Ponsel Charlotte berdering. Merasakan firasat buruk, ia membuka tasnya, merogohnya, lalu mengambil ponselnya tanpa melihat ke arahnya. Ia memejamkan matanya selama lima detik sembari menarik napas panjang. Kemudian dengan takut-takut ia membuka matanya, lalu melirik ke layar ponselnya. Nama Mrs. Halley muncul di layar ponsel berlogo apel yang tergigit setengahnya itu. Charlotte ragu, apakah ia harus mengangkatnya atau tidak? Seandainya ia mengangkatnya, ia tidak yakin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan tidak terbata-bata. Tapi jika tidak diangkat, bagaimana kalau Mrs.Halley menghubunginya atas dasar alasan lain? mungkin pekerjaan?          “Good Afternoon-ehem-Mrs.Halley.” Akhirnya dengan penuh keberanian ia mengangkat telepon dari Mrs. Halley. Tenggorokannya sedikit tercekat ketika menyebut nama bosnya itu. Napasnya sedikit memburu karena usahanya untuk tidak terdengar gugup.          “Charlotte.” Suara Mrs. Halley terdengar berat di ujung sana. “Aku tidak ingat memberimu pekerjaan lembur untuk kau kerjakan di rumah, “ lanjutnya ketus.         Charlotte mengerutkan keningnya, “Pekerjaan lembur? Maaf, aku tidak mengerti maksud perkata—“         “Dave bilang, kau pulang di tengah-tengah acara 'pembersihan' karena ingin menyelesaikan pekerjaan lemburmu,” ujar Mrs. Halley. Mulut Charlotte terbuka lebar karena terkejut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, alasan macam apa yang dipakai Dave saat mengadukan dirinya pada Mrs. Halley?         “Maafkan aku, Mrs. Halley. Tapi ini tidak seperti yang—“         Mrs. Halley tidak membiarkan Charlotte menyelesaikan kalimatnya. “Kembali ke apartemen Dave sekarang, Charlotte. Kalau kau merasa tidak suka aku menganggu hari liburmu, maafkan aku. Tapi aku janji ini tidak akan lama.”         Sambungan pun terputus. Charlotte memandang ponselnya dengan muka tak percaya. Dave. Belum ada satu hari ia mengenalnya dan kini pria itu menjelma menjadi biang masalah dan membuat Charlotte terlihat buruk di hadapan Mrs. Halley. Lengkap sudah alasan Charlotte untuk mencakar wajah Dave hingga tak berbentuk, atau mungkin mencabik-cabik mulut Dave dengan pisau, dan menusuk-nusuknya memakai pensil mekanik adalah ide yang lebih baik? Ah, andaikan saja ia mewarisi bakat voodoo, akan lebih seru jika ia bisa menyantetnya. Sayangnya, ia tidak mewarisi bakat itu , bahkan ia bukan dari keturunan keluarga voodoo. ***         “Hi again, Charly!” sambut Dave. Ia terlihat sangat senang dan nada bicaranya terdengar begitu riang, seakan pengaduannya pada Mrs. Halley tentang Charlotte tidak pernah terjadi. Charlotte geram, tapi ia memilih diam tanpa melakukan apa-apa pada Dave. Menurutnya semakin cepat ia menuntaskan urusannya di sini, semakin cepat pula ia angkat kaki dari sini.              “Apa Mrs.Halley menelponmu tadi?” tanya Dave. Ia mengamati kegiatan Charlotte yang sudah mulai berkutat kembali dengan kardus barang-barangnya, sambil berdiri bersandar pada kulkas. Tangan kirinya memegangi mug putih berukuran sedang yang baru akan dikeringkannya dengan lap. Senyumnya tidak berhenti merekah  menunggu jawaban Charlotte,  tapi gadis itu sama sekali tidak menjawab. Charlotte sibuk mengeluarkan peralatan makan dari kardus sekaligus menatanya di lemari yang ia rasa adalah tempatnya. Tahu dirinya sedang diabaikan, senyum Dave berubah menjadi kekehan pelan yang nyaris tidak terdengar.             Dave meletakkan mug yang sudah kering itu di atas meja makan. Kemudian ia membuka bungkusan kertas yang diletakkan tidak jauh darinya. Di dalamnya ada beberapa bungkusan kopi instan, s**u kaleng, dan satu kotak besar bubuk coklat panas. Ia membeli semua itu saat Charlotte meninggalkan apartemennya dengan sangat marah tadi siang di dekat apartemennya. Ia membuka segel kotak bubuk coklat, lalu memasukkan 3 sendok besar bubuk coklat dengan sendok takaran yang ada di dalam kemasannya ke dalam mug.             Sementara itu, Charlotte sudah hampir selesai dengan tugasnya. Ia benar-benar mengerahkan segenap tenaganya untuk membereskan semua barang-barang yang bukan miliknya itu dengan sangat cepat. Memang tidak banyak kardus yang tersisa. Sepertinya, Dave memindahkan sebagian kardus ke dalam kamarnya dan meninggalkan kardus yang berisi barang-barang untuk di ruang tamu dan ruang makan saja untuk Charlotte bereskan. Setidaknya sikapnya itu mengurangi beban Charlotte.                  Tepat saat kardus terakhir kosong. Dave mendatangi Charlotte yang sedang duduk di atas lantai tanpa beralaskan apa pun selain kain celana biru dongker yang ia kenakan. Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang teramat sangat. Tidak ada satupun bulir keringat yang menetes di kulit wajahnya yang mulus tanpa noda dan itu membuat Dave lega. Ibunya tidak akan suka jika sekretarisnya ini terlambat masuk kerja besok pagi karena kelelahan.             “Apa?” Charlotte memandang Dave sinis. Kemudian pandangannya turun memandang mug putih dengan asap mengepul di atasnya yang pegang Dave. Harum coklat panas itu sangat menggoda sampai-sampai Charlotte menelan ludahnya tanpa sadar.             Dave membungkuk, “Minumlah,” katanya sambil menyodorkan mug yang dipegangnya.             Charlotte menerima mug itu dengan tangan kanannya. Mug itu sangat besar jika dibandingkan dengan ukuran mug yang biasa dia pakai di rumah. Tapi Charlotte yakin, ia akan bisa menyeruput habis isi mug itu tanpa sisa. Coklat adalah relaksasi yang tepat di hari yang berat ini. Setidaknya ini bisa membantu meredakan sakit kepalanya karena emosinya yang naik turun hari ini.             “Dari tadi kau hanya diam...”             “Seharusnya kau tahu kenapa.” Charlotte meniup-niup coklatnya pelan. Ia tahu, meniup makanan atau minuman yang panas itu tidak baik. Akan ada reaksi kimia dari karbondioksida yang ia hembuskan ke makanan dan minuman itu, dan itu bukan hal yang baik untuk kesehatan. Tapi, ia harus menghabiskan minuman ini agar bisa segera pulang.             “Terima kasih sudah membantuku hari ini,” tukas Dave.             Charlotte menoleh sesaat pada Dave yang menyunggingkan senyumnya, “Sama-sama,” timpalnya lugas. Nada bicaranya sedikit lunak, tidak seketus semula meskipun kalimatnya sangat irit. “Kenapa coklat panas tidak bisa dingin lebih cepat?” gumam Charlotte.             Dave terkikik, “Dari namanya saja sudah jelas bukan? Lagipula, apa enaknya meminum coklat panas yang sudah dingin?”             “Bukan itu maksudku.” Charlotte memutar matanya malas, “Aku ingin lekas pergi dari sini.”             “Tidak usah terburu-buru. Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau takut pulang kemalaman.”             Charlotte cepat-cepat menggeleng, “Tidak-tidak, kau tidak perlu sejauh itu. Aku bisa pulang naik taksi.”             Dave ikut bergabung bersama Charlotte di lantai. Ia duduk berhadapan dengan gadis itu, “Sayang sekali. Padahal, aku berharap kau menerima tawaranku.” Ia menyimpulkan senyum menggoda di wajahnya yang terbingkai rahang kokoh. “Kebanggaanku sebagai idola wanita jadi sedikit tercoreng saat kau menolakku—FYI, aku tidak pernah ditolak sebelumnya,” imbuh Dave.             Charlotte tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Beberapa kali kepalanya bahkan terdongak ke belakang karena tawanya yang begitu hebat, “Apa yang kau katakan barusan, benar-benar berbeda dengan apa yang Mrs. Halley ceritakan padamu, Dave.”             “Memangnya apa yang ibuku ceritakan padamu?” ekspresi Dave terlihat tidak tertarik dengan arah pembicaraan ini. Tapi, Charlotte sudah melanjutkannya.             “Ia bilang, kau paling tidak suka tebar pesona dengan wanita seperti pemuda biasa seumuranmu pada umumnya. Kau lebih suka belajar atau mengerjakan tugas kuliahmu,” cerocos Charlotte. Suasana sedikit cair sekarang.             Dave menghembuskan napas berat, “Aku setuju dengan kalimat keduamu. Kalimat pertamamu sangat-sangat tidak sesuai kenyataan. Ibuku hanya tidak terlalu mengetahui sisi diriku yang satu itu – maksudku – tidak  mungkin aku tidak suka tebar pesona. Kau lihat sendiri bagaimana pesonaku, bukan? Aku yakin, kau pun sempat terpana dengan ketampananku saat kita berkenalan tadi pagi.”             Charlotte menunjukkan ekspresi seolah-olah akan muntah, “Oh, ayolah, Dave. Kau tidak sungguh-sungguh menduga seperti itu kan? Bagaimana aku bisa terpesona denganmu sementara aku sedang sangat marah padamu tadi pagi?”             “Baiklah. Karena sekarang suasana sudah mulai cair, apa kau sudah terpesona denganku?” Dave menaik turunkan alisnya dengan sangat percaya diri. Charlotte memandangnya datar, “Tidak?”             “Tidak.” Charlotte membentuk tanda silang di depan wajahnya dengan kedua jari telunjuknya. Kemudian ia melanjutkan meminum coklatnya yang mulai terasa hangat. Suhu coklat itu sekarang sudah cukup aman bagi Charlotte untuk menenggaknya habis. “Mmm..terima kasih coklat panasnya. Sekarang aku akan pulang.”             Dave lebih dulu berjalan menuju pintu. Ia membuka pintunya untuk Charlotte. Saat gadis itu sudah mendekatinya sambil membawa tasnya, ia berkata, “Padahal akan sangat menyenangkan kalau kau berada di sini lebih lama. Kita bisa saling mengenal lebih jauh.”             “Tidak perlu repot-repot. Mulai besok kita akan saling mengenal sesuai yang kau inginkan. Besok kau akan mulai bekerja di kantor, kan?”             Dave mengulas senyumnya lagi, “Yeah, kita akan memiliki waktu yang sangat banyak untuk saling mengenal satu sama lain.”             Kedua alis Charlotte terangkat. “Selamat malam, Dave. Nikmati malam pertamamu di sini,” katanya sebelum melenggang pergi, berayun melewati pintu dengan tubuh menyamping karena celah pintu yang sedikit. ***             Angin malam New York berhembus kencang menerbangkan helaian rambut Charlotte hinga tatanannya berantakan. Gadis itu susah payah menahan rambutnya sendiri dengan sebelah tangannya dalam perjalanan menuju apartemen Dave lagi. Ia sudah setengah jalan menuju tempat pemberhentian taksi, saat menyadari ponselnya tertinggal di tempat tinggal pria itu. jam segini susah menemukan taksi tanpa penumpanghanya dengan modal berdiri di pinggir jalan. Jadilah ia harus berjalan kembali menembus udara yang semakin turun suhunya.             Charlotte meraup oksigen sebanyak-banyaknya saat memasuki lobby apartemen Dave. Musim dingin tidak pernah bersahabat dengan paru-parunya. Sembari mengatur napasnya, Charlotte memasuki lift, berdiri tenang sampai lift itu berhenti di lantai kamar Dave. Ia berharap pria itu tidak sedang pergi keluar entah kemana.             Seakan tahu seberapa besar keinginannya bertemu kasur, Tuhan mengabulkan harapannya. Dari jauh terlihat cahaya lampu yang tergambar lurus di sebagian atas karpet koridor. Entah apa yang membuat pria itu tidak menutup rapat pintu apartemennya, yang jelas Charlotte akan memberi Dave peringatan. Bagaimana kalau ada orang jahat masuk ke dalam sini?             Charlotte beberapa kali mengetuk pelan pintu yang sudah terbuka itu, tapi tidak ada jawaban, jadi ia memutuskan untuk masuk ke dalam.             “Dave...” Charlotte berseru memanggil Dave. Tidak mungkin dia tidur, kan?             Gadis itu melangkah masuk lebih dalam ke pusat kamar apartemen itu. Ia sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, saat ia mendengar suara Dave. Tapi suara itu begitu kecil; seperti bisikan, dan itu tidak seperti sapaan balik untuk Charlotte yang barusan memanggilnya. Ada orang lain di sini. Siapa pun itu, Charlotte rasa ia berada di waktu dan tempat yang salah saat ini. Ia harus cepat-cepat menemukan ponselnya dan pergi dari sini. Ia sudah cukup dewasa untuk mengetahui apa yang pria sialan itu sedang lakukan sekarang, entah di bagian mana dari apartemen ini.             Charlotte menemukan ponselnya di atas meja bar pantry. Tampak dua panggilan tidak terjawab dari Gina, dan lima pesan baru di layar ponselnya. Ia baru saja hendak berbalik cepat menuju pintu, saat tiba-tiba kakinya berhenti melangkah. Bisikan-bisikan itu semakin jelas terdengar. Dikalahkan rasa penasarannya sendiri, Charlotte mundur perlahan, melongokkan kepalanya ke balik pintu kamar Dave yang memang terbuka. Kamar itu gelap, kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.             Kemudian bisikan itu berubah menjadi erangan. Charlotte menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara cepat. Kini ia tahu, pusatnya ada di balik tembok bata pemisah antara pantry dan sudut kecil menuju balkon. Charlotte melangkah berjinjit satu demi satu, mendekat ke sumber suara. Kedua matanya terbelalak sempurna ketika melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Dave, pria – yang  baru saja dikenalnya hari ini – itu tengah asyik b******u dengan seorang wanita berseragam restoran pizza. Meskipun hampir tidak ada pencahayaan apa pun di situ, Charlotte bisa melihat dengan jelas lambang restoran yang tidak asing baginya, karena restoran itu masuk dalam deretan tempat makan langganannya.             Charlotte merapatkan dirinya seolah-olah ingin menyatu dengan tembok tempat ia bersandar sekarang. Mata Hazelnya menyipit, mengamati secara sembunyi-sembunyi. Ia terlalu fokus dengan rasa keingin tahuannya, sampai-sampai ia lupa dengan pertahanan persembunyiannya. Secara alamiah, gadis itu merasakan desakan lain dari dalam tubuhnya, yang memicu paru-parunya memberatkan napasnya sendiri.               Erangan itu sungguh penuh gairah, dengan napas yang terengah-engah. Di sana, dua orang itu tampak melekatkan diri satu sama lain, menciptakan siluet e****s dari setiap inci pergerakan tubuh yang di luar batas nafsu masing-masing. Mata pria itu berkilat nakal saat resonansi napas Charlotte yang semakin berat melesak ke gendang telinganya. “Kau menikmatinya?”      

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Naughty December 21+

read
511.2K
bc

I Love You Dad

read
282.4K
bc

HYPER!

read
554.8K
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

read
884.4K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
919.3K
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook