bc

TEARS OF MOM

book_age4+
1.1K
FOLLOW
8.1K
READ
billionaire
revenge
pregnant
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Gandhi teramat kecewa akan keputusan Wina meninggalkan keluarga mereka, tanpa izin dari dirinya terlebih dahulu. Apalagi, putri mereka masih berusia tiga bulan. Dan, saat wanita itu kembali, Gandhi enggan menerima. Tidak diperbolehkan Wina bertemu dengan Ghesa. Gandhi juga bersikap begitu dingin. Ia tidak tahu bahwa Wina melakukan semua demi kebaikan mereka juga. Wina pun semakin terpuruk, mengalami depresi dan melukai dirinya sendiri. Wina sangat tersiksa tak bisa bersama Gandhi dan putri mereka.

chap-preview
Free preview
01
"Sayang...," Wina memanggil dengan suara yang lembut seraya melangkahkan kaki semakin cepat keluar dari kamar mandi. Sementara, pandangan sudah diedarkan ke sudut-sudut kamar guna mencari keberadaan sang suami. Nyatanya, pria itu tidak ada di dalam. Wina pun lekas menyimbulkan bahwa sang suami telah keluar kamar. Ia segera juga berjalan ke arah pintu. Wina hendak menuju ke ruang tamu, sebab sangat meyakini jika Gandhi sedang ada di sana. Ya, membaca koran sebentar sebelum pergi bekerja. Wina sudah hafal dengan kebiasaan pria itu sejak mereka berdua resmi menikah, empat bulan lalu. Tak sampai dua menit, Wina telah injakkan kaki di ruang tamu. Ia cepat pusatkan pandangan ke sosok sang suami yang duduk di sofa. Wina menambah kuluman senyuman pada wajahnya. Dan, tangan kanan yang sedang memegang tiga buah testpack juga tambah dikepalkan. Ia tak sabar beri tahu kabar baik. "Sayang...," Wina memanggil dalam suara kian dilembutkan. "Ada apa, Sayang? Kamu sudah selesai mandi?" Wina segera anggukan kepala seraya berjalan mendekati sang suami. "Sudah, Sayang. Aku baru saja selesai mandi." "Aku punya berita bagus yang kamu aku bilang ke kamu. Aku harap kamu juga akan senang, ya. Tapi, aku yakin banget kamu akan senang mendengar kabar bagus ini dariku, Sayang." Gandhi perlihatkan kerutan di kening dan lekatkan tatapan pada sosok Wina yang sudah berada di sampingnya. Senyum hangat wanita itu tak pernah gagal membuat Gandhi terpesona. Ia akan selalu sukses dibuat terpesona. Sang istri kian tampak cantik. "Iya, aku akan usahakan senang. Memang kabar bagus apakah yang mau kamu bilang padaku, Na?" tanya Gandhi serius. Kemudian, ia dilanda kekagetan karena menerima pelukan dari sang istri secara tiba-tiba. Meski demikian, tetap dibalas. Tidak dilontarkan kata apa pun. Selain menunggu, istrinya memberi tahu secara langsung. Gandhi enggan untuk bertanya ulang. "Sayang, aku hamil. Tadi, habis cek. Semua hasilnya positif. Nah, ini kabar bagus yang mau aku bilang? Senang nggak?" Ditatap sang suami semakin lekat, setelah pelukan di antara mereka diakhirinya. Wina ingin menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana reaksi sang suami atas pemberitahuannya. Tentu ingin sang suami akan bahagia karena ia mengandungm "Kamu serius lagi hamil, 'kan? Nggak mengerjaiku saja?" Wina segera anggukan kepala. "Aku serius, Sayang. Untuk apa juga aku bohong buat mengerjai kamu doang? Aku lagi ma-" Wina tak bisa teruskan kata yang hendak dilontarkan karena ia mendapatkan dekapan pada tubuh dari sang suami begitu erat. Wina juga mendengar secara jelas tawa renyah yang diloloskan oleh pria itu. Ia pun sangat yakin sang suami rasakan senang. "Gimana perasaan kamu tahu, kalau aku sudah hamil? Aku mau tahu apa yang kamu rasakan sekarang, Sayang? Gimana?" "Kamu akan menjadi Papa dan aku seorang Mama untuk anak kita, Sayang. Aku senang bisa diberi kepercayaan mempunyai anak secepat ini." Wina ungkapkan kebahagiaan dirasa dengan untaian kata bernadakan riang. Senyuman kian melebar. Dipandang lekat sosok sang suami, setelah pelukan di antara mereka berakhir. Begitu juga pria itu yang menatap intens. Wina jelas menyukai sorot mata teduh diperlihatkan oleh sang suami. Membuat dirinya menjadi tenang dan semakin disayangi. "Aku senang, Sayang. Sudah pasti juga aku gembira tahu kamu mengandung anakku. Setiap laki-laki pasti akan begitu, Na." Selesai melontarkan jawaban, Gandhi pun daratkan kecupan di kening sang istri. Cukup lama, hampir 10 detik. Kemudian, ia lanjutkan dengan memeluk ibu dari calon buah hatinya. Didekap kuat tubuh sang istri sembari meloloskan suara tawanya. "Makasih, Sayang. Aku bahagia kamu hamil. Kita akan menjadi orangtua dari anak kita yang lucu. Kayak kamu bilang tadi, aku jadi Papa dan kamu adalah Mama. Pasti akan menyenangkan." Kekehan tawa Wina jelas keluar karena jawaban sang suami bernadakan candaan yang kental. Ia tak menyahut secara lisan. Hanya mengeratkan pelukan serta tersenyum semakin lebar. Rasa bahagia yang tengah menyelimuti tak bisa didefinisikan dengan kata-kata panjang. Hanya tersimpan di dalam hati. "Iya, Sayang." Wina memilih menjawab singkat saja akhirnya. "Semoga anak pertama kita perempuan, Na." Mendengar harapan yang sang suami lontarkan dengan nada cukup serius, maka Wina segera mendongakkan kepala ke atas agar dapat melihat wajah suaminya. Ekspresi bahagia tampak jelas. Membuat Wina semakin merasakan kegembiraan. "Kamu mau anak cewek? Kenapa, Sayang? Padahal, aku ingin anak pertama kita adalah laki-laki. Baru nanti yang kedua, kita dikasih anak cewek. Tapi, apa pun nanti, aku akan terima saja." "Kenapa mau perempuan? Karena aku nggak punya saudara perempuan. Akan seru rasanya anak pertama kita itu cewek." Wina lekas anggukan kepala. "Semoga saja, Sayang. Kalau itu yang kamu mau. Aku akan ikut. Semoga bisa terkabulkan." "Aku juga berdoa nanti anak kita bisa lahir dengan sehat dan nggak kekurangan apa pun." Wina berujar dalam nada serius. "Iya, Na. Aku pun berharap yang sama." Gandhi segera saja menimpali. Kemudian, dikecup kembali kening sang istri. ..................................... "Mama, aku minta maaf. Aku nggak bisa lembur." Wina mulai rasakan efek dari kehamilannya. Ia dilanda mual sejak satu jam lalu, sudah dua kali memuntahkan cairan bening. Kepeningan juga menyerang kepala, meski masih bisa ditahan. Tetapi, tetap saja mampu memengaruhi kinerjanya bekerja. Wina terus kehilangan konsentrasi. Ia biasanya dapat selesai memeriksa sebuah laporan dalam waktu dua jam saja, namun hari ini berbeda. Ia bahkan sudah habiskan 180 menit dengan penuh. Laporannya belum juga dapat dirampungkan semua. Sementara, tugas lain menanti. Wina berupaya untuk tunjukkan profesionalitas. Terlebih, ia memegang peranan penting dalam perusahaan. Tanggung jawab yang dipikul pun tidak main-main. Akan tetapi, kondisi tubuh benar-benar enggan berkompromi. "Tidak bisa lembur? Apa alasanmu tidak bisa, Nak?" Wina hentikan tangannya memijat tengkuk. Kepala segera ia tolehkan pada sosok sang ibu yang ada di depan. Sorot mata cukup tajam dan ekspresi serius ibunya didapatkan karena apa yang sudah dikatakan tadi. Wina paham sang ibu tak suka. "Aku lagi nggak enak badan, Ma. Aku ingin pulang lebih awal ke rumah. Aku butuh waktu untuk istirahat. Sama tidur juga." Wina beranikan diri membalas tatapan ibunya. "Aku akan lanjut kerjakan laporan dan beberapa dokumen besok pagi, Ma." "Apa? Besok pagi baru dilanjutkan? Bukankah besok kamu dan Mama punya jadwal rapat dengan klien, Nak? Bagaimana bisa kamu akan selesaikan jika tidak malam ini juga dituntaskan? "Mama tidak ingin mendengar banyak alasan apa pun darimu, Wina. Mama hanya mau kamu selesaikan pekerjaanmu malam ini juga. Mama tidak mau mengecewakan rekan-rekan Mama." Penarikan napas panjang dilakukan oleh Wina guna meredam emosi yang tiba-tiba dirasakan. Secara perlahan, udara yang tertahan di dalam paru-paru, dikeluarkannya. Kalimat balasan telah tersusun rapi di dalam kepala untuk dilontarkannya. "Mama lebih mementingkan penilaian bagus dari rekan-rekan Mama dibandingkan kesehatanku, ya?" Wina bertanya lirih. "Penilaian mereka tentang kinerja kita sangat penting. Mampu memengaruhi kerja sama dan investasin yang akan diberi." "Ckck." Wina spontan keluarkan decakan tak sukanya dengan nada sinis. Kian ditatap lekat sang ibu. "Aku paham, Ma. Aku sudah sangat paham juga kalau penilaian mereka penting." "Tapi, aku bukan robot, Ma. Aku masih manusia biasa yang bisa lelah, kalau terus bekerja sampai malam. Aku juga bisa sakit, Ma. Aku nggak mau sampai sakit karena aku lagi hamil." Wina menjawab dengan penekanan jelas pada setiap katanya. "Apa yang kamu bilang, Nak? Kamu hamil? Bagaimana bisa?" Wina menambah tatajam tatapan matanya. "Apa juga maksud dari pertanyaan Mama? Jadi, Mama nggak suka tahu aku lagi hamil? Mama nggak mau punya cucu? Begitukah, Ma?" "Tanpa bertanya langsung pun dengan Mama. Kamu pasti tahu jawaban Mama, Nak. Jangan pernah bertanya lagi ke Mama." Wina menajamkan tatapan. Deru napas mulai tak stabil karena tingkatan emosi yang juga mulai bertambah. Sahutan sang ibu jelas membuat hati Wina sakit. Kekecewaan yang mendalam juga dirasakan. Sungguh sesak kata-kata dilontarkan ibunya. Wina telah menyiapkan kalimat balasan. Ia tidak akan mampu untuk diam saja. Harus mengeluarkan uneg-uneg supaya bisa lebih sedikit membaik perasaannya. Jika tak menyahut juga, maka sang ibu pasti akan merasa telah memenangkan debat. "Begitukah, Ma? Mama nggak mau? Sayangnya, aku sudah hamil sekarang. Suka atau nggak, Mama akan tetap jadi nenek. Mama nggak akan bisa menghindari status Mama itu nanti." Wina tetap memandang sang ibu, manakala mendapat sorot mata sarat kemarahan dari ibunya. Ia tak akan gentar ataupun takut. Tentu harus dihadapi. Terlebih, Wina kurang suka dengan sikap sang ibu. Ia pastinya juga merasa perlu melawan. "Nenek dari anak kamu? Tidak, Nak. Mama tidak bisa anggap anak dari menantu yang tidak Mama suka sebagai cucu. Mama tidak akan rela memberi semua harta yang Mama punya." Rahang wajah Wina mengeras, tersinggung dengan perkataan sang ibu. "Apa, Ma? Kenapa Mama tega banget bilang begitu tentang calom cucu Mama? Apa Mama nggak ada hati?" "Mama tidak peduli, Nak. Sejak kamu menikah dengan pemuda itu, kepedulian Mama tentang kehidupan kalian tidak ada. Tapi, Mama harap kamu bisa menepati janjimu, Wina. Mama tidak mau kamu sampai mengingkari. Kamu akan tahu akibatnya." Kesesakan di dalam d**a Wina bertambah, setelah sang ibu melontarkan kalimat-kalimat pedas dengan nada yang sinis. Ia tak ingin memercayai, namun kenyataanlah sedang dihadapi kini. Wina harus mengakui ibunya telah kehilangan rasa sayang dan juga empati. Bahkan, sudah dimulainya sedari dulu. "Bagaimana bisa aku meninggalkan Gandhi, Ma? Apalagi aku sama dia akan punya anak. Mustahil bagiku, Ma. Aku ngga—" "Tinggalkan anakmu dan pemuda itu, Nak. Setelah anak kalian lahir, tepati janji. Atau Mama akan bertindak yang tidak cukup toleransi. Mama bukan mengancam saja untuk menakutimu. Mama akan melakukan nanti. Mama sudah menyiapkan rencana." Emosi Wina meningkat. Ucapan sang ibu yang sarat akan kemarahan menjadi faktor dirinya tak bisa mengendalikan amarah. Tak bagus memang bagi kesehatannya. Walau sudah berupaya meredam semua. Namun, tidak segampang yang dipikirkannya. "Kenapa belum mengatakan apa-apa, Nak? Mama menunggu jawaban darimu. Kamu tahu Mama tidak suka diabaikan! Jangan pernah berani menunjukkan perlawanan pada Mama, Wina. Mama tidak akan sega--" "Baiklah, Ma." Wina pun memandangi lekat sosok sang ibu dalam tatapan tajam. "Aku akan menuruti apa pun yang Mama inginkan. Tapi, tolong penuhi janji Mama untuk tidak menyakiti Gandhi dan anak kami, saat dia sudah lahir." ..................... ................... Gandhi baru sampai di rumah sekitar pukul 12 malam. Tak ada seorang pun menyambut. Karena, memang ibu, sang istri, dan juga adiknya sudah tidur. Maka, Gandhi segera melenggang masuk ke dalam kamarnya, setelah minum air di dapur. Suasana gelap menyambut, ketika membuka pintu. Ia pun tak membuang waktunya untuk sekadar lebih lama berdiri. Terlebih juga, telah merasakan kantuk cukup luar biasa. Ia ingin segera membersihkan diri agar bisa cepat pula beristirahat dan tidur. "Kamu baru pulang, ya?" Kekagetan yang besar tentu melanda Gandhi, setelah dengar suara milik istrinya lontarkan pertanyaan bersamaan dengan lampu di dekat kasur mereka dinyalakan. Gandhi pun langsung pusatkan atensi pada wanita itu yang duduk di atas ranjang. "Iya, Sayang. Aku baru pulang." Gandhi lantas menyahut seraya melangkahkan kaki mendekati istrinya. "Kenapa kamu belum tidur, Sayang? Apakah sengaja sedang menungguku? Betul?" "Menunggu kamu pulang? Percaya diri banget kamu, ya?" Gandhi langsung terkekeh. Jawaban sang istri yang terkesan sebagai sindiran, tertangkap lucu oleh indera pendengarannya. Ia pun tahu wanita itu hanya ingin sekadar bercanda belaka. Tak akan dirinya masukkan ke dalam hati, bahkan tidak pernah. "Terus kenapa belum tidur, Sayang?" Gandhi bertanya ulang. Ditatap sang istri dengan pancaran sarat cinta yang tinggi. "Apa penyebab kami bangun karena anak kita nendang-nendang lagi di dalam, Sayang?" Gandhi keluarkan tebakan asal-asalan. Lalu, tangan kanan diletakkan di atas perut besar istrinya. Usia kandungan wanita itu sudah memasuki enam bulan. Gandhi sudah tak cukup sabar menanti buah hati mereka lahir ke dunia. Ia pun telah membayangkan jadi seorang ayah, menyenangkan. "Iya, anak kamu aktif di dalam. Aku dibuat bangun, Sayang." Gandhi keluarkan kekehan tawa sembari mengusap-usapkan tangannya masih di atas perut sang istri. Sedangkan, sepasang matanya terus digunakan untuk menatap wanita itu. Gandhi tak akan memungkiri bahwa dirinya rasakan sebuah kejanggalan. Tampak secara jelas sang istri tengah tak nyaman. Gandhi bisa ketahui nyata lewat sorot mata wanita itu, walau tidak dikatakan apa-apa pada dirinya. Bahkan, tak hanya malam ini. Ia sudah merasakan keanehan sang istri sejak beberapa bulan lalu. Gandhi memutuskan tidak bertanya. Ia membiarkan sang istri nanti yang ceritakan sendiri. Tetapi, wanita itu belum juga beri tahu masalahnya. Gandhi pun memilih tak mengonfirmasi, ia enggan mencampuri terlalu dalam privasi sang istri. Walaupun, mereka telah menikah. Tidak semua harus diungkapkan. "Sekarang bagaimana, Sayang? Anak kita masih nendang di dalam perut kamu nggak? Soalnya sudah aku tenangkan. Aku minta anak kita juga nggak berulah dulu, Mamanya mau tidur." Anggukan kepala dilakukan oleh Wina. "Sudah nggak nendang lagi, Sayang. Kayaknya caramu manjur tenangkan anak kita." "Sudah bisa diam dia di dalam perutku. Berkat usaha dan juga kasih sayang dari Papa, senang anak kita. Jadi, anteng dia." Gandhi tak kuasa untuk tidak tergelak karena ucapan sang istri. Ia tahu wanita itu berkata apa adanya saja, tak dilebih-lebihkan. Namun, tetap mampu menggelitik perutnya. Buat ia geli juga. Bukan bermaksud mengejek atau tak tanggapi serius istrinya. "Mudah banget cara bikin anak kita di dalam perut kamu nggak nakal dan juga nendang lagi ternyata, Sayang." Gandhi berujar dalam nada yang santai. Senyum pun kian ia lebarkan. "Aku harus sering begini. Betul nggak, Na?" tanyanya, lantas. Sedetik kemudian, Gandhi sudah mendapatkan balasan yang berupa anggukan kepala dari sang istri. Membuat tawanya pun jadi keluar dengan cukup kencang. Lalu, diberikan kecupan di kening wanita itu seperti biasa jika sudah merasa gemas. "Ngomong-ngomong anak kita manja juga, ya? Mau selalu saja dekat sama Papanya. Atau nggak cuma calon anak kita. Tapi, kamu juga yang mau selalu dekat-dekat denganku. Betul?" Wina tak butuh waktu lama untuk mengangguk mantap seraya melebarkan senyuman. "Nah, itu kamu tahu, Sayang. Kayaknya wajar kalau wanita yang lagi hamil suka dekat sama suami. Apa aku nggak boleh terus minta kamu berada bersamaku, Gan?" "Boleh-boleh saja, Sayang. Aku malah senang kalau kamu ingin selalu bersamaku. Tapi, saat aku bekerja kita nggak akan bisa ketemu terus. Apalagi bermesraan kayak sekarang ini. Jadi, ya kamu harus menahan kangenmu padaku. Apa kamu bisa, Na?" Wina tertawa kembali. Memang ekspresi yang diperlihatkannya di wajah tampak ceria, akan tetapi kontras akan sepasang mata wanita itu yang berkaca-kaca. Perkecamukan berbagai rasa pun tengah dialami olehnya. Ketenangan tak bisa didapatkan. Kemudian, Wina memeluk sang suami dengan erat. "Aku masih nggak masalah nggak bisa bertemu kamu beberapa jam. Tapi, aku nggak akan tahu bagaimana diriku, kalau harus berpisah dari kamu untuk waktu yang lama, Sayang. Aku nggak bisa." Tanpa terasa matanya berkaca-kaca, tetapi ia upayakan untuk tidak sampai menangis. Sebab enggan menimbulkan kecurigaan pada sang suami. Wina berupaya keras untuk tetap menenangkan dirinya. Napas terus diatur supaya tidak kian berderu. "Kenapa kamu bicara begitu, Sayang? Aku nggak mungkin meninggalkan kamu lama. Apalagi, kamu sedang mengandung. Aku harus selalu siaga menjagamu dan calon anak kita, Sayang. Aku juga pasti akan rindu kalau pisah yang lama dari kamu, Na." ............................... "Selamat pagi, Sayang. Baru bangun? Atau sudah dari tadi kamu terjaga?" Gandhi hanya gelengkan kepala sekali guna menjawab apa yang ditanyakan oleh sang istri. Diberikan keseluruhan atensi pada sosok wanita itu, tampak tengah berjalan mendekat ke arah kasur sembari membawa nampan berisi mangkuk. "Baru bangun, Sayang. Kamu buatkan aku apa?" Gandhi pun langsung mengonfirmasi menu sarapan dimasak sang istri. "Mie instan kuah rasa kari, ditambah sayur kol dan telur mata sapi seperti yang kemarin malam, kamu minta padaku, Sayang." "Sekarang sudah aku bikinkan. Supaya ngidam kamu sempat tertunda, dapat dikabulkan juga. Meski, baru sekarang, ya." Gandhi tak kuasa menahan tawa mendengar jawaban-jawaban bernada canda yang sang istri lontarkan. Kemudian, dilakukan anggukan kepala beberapa kali sebagai tanggapan. Belum ia ingin pindahkan atensi pada wajah cantik istrinya yang natural. "Makasih, Sayang. Aku kebetulan juga lapar banget. Tapi, kamu nggak perlu antar mienya ke sini. Aku bisa makan nanti di luar." Wina pun ikut loloskan tawa. "Ada tujuan, aku bawa mienya ke sini, Sayang. Aku mau kamu cepatan bangun, kalau cium bau enaknya mie." Wina keluarkan balasan sarat akan gurauan. "Hahaha." Gandhi keraskan tawa. "Oh, gitu? Ada tujuannya?" "Tapi, aku sudah duluan bangun gimana, Sayang? Jadi, kamu nggak jadi buat rencana untuk membangunkanku, 'kan?" Wina lekas gelengkan kepala. "Iya, nggak jadi. Karena, sudah bangun kamu sendiri, Sayang. Tanpa harus aku bangunin kamu susah payah kayak kemarin lagi. Untung kamu kerja siang." "Iya, Sayang." Gandhi hanya tanggapi singkat saja. Namun, ia melebarkan senyuman sembari masih terus menatap istrinya. "Kamu mau makan mie sekarang? Atau sikat gigi dulu?" Gandhi anggukan kepala. "Hmm, aku mau makan mie dulu. Aku nggak suka makan mie yang sudah nggak panas. Kurang enak." "Nanti sikat giginya. Lagian, kita juga nggak ada acara ciuman, Sayang." Gandhi lanjutkan dengan jawaban bernada canda. Tentu, tawa yang diloloskan cukup keras oleh sang istri, sudah menandakan bahwa guyonannya berhasil. Ia sangatlah gemar melihat cara wanita itu tertawa. Tampak lebih cantik. Gandhi pun bangga karena telah mampu memberikan gurauan lucu. "Siapa bilang kita nggak akan ciuman? Aku padahal mau di—" Cup! Wina jelas tak mampu lanjutkan kata-katanya, setelah diberi kecupan singkat pada bagian bibir dari sang suami. Jantungnya pun sukses dibuat berdetak lebih cepat. Wina rasakan bahagia, kini. Namun, tetap tak akan mampu menghapuskan kecemasan yang setiap hari selalu saja berhasil mengikis ketenangannya. Tanpa disadari oleh Wina, jika dua matanya sudah berair. Kemudian, dipeluk sang suami dengan cukup erat. Ia sekuat tenaga berusaha untuk tidak keluarkan tangisan. Tentu, enggan membuat suaminya jadi curiga. Bagaimana pun juga, ia merasa tak akan mampu memberi tahu pria itu tentang masalahnya. "Aku menyayangi kamu, Gan." Wina berujar dengan nada yang serius. Ungkapkan perasaannya. "Aku sangat mencintaimu." "Iya, benar. Aku nggak akan bisa hidup tanpa ada kamu nanti bersamaku. Mungkin aku bisa sangat terpuruk dan kehilangan." Tak Wina sadari sendiri, air matanya sudah jatuh deras turuni kedua pipi. Ia bahkan sudah mengisak pelan. Tidak mampu ia tahan lagi. Dekapan pada tubuh sang suami pun terus dieratkan seakan tak dapat melepaskan pria itu barang satu detik saja. "Kenapa kamu menangis tiba-tiba, Sayang? Ada apa, Na?" Selepas mendengar pertanyaan sang suami yang dilanjutkan dengan aksi pria itu menyudahi pelukan di antara mereka, maka Wina pun segera menggeleng sembari menghapus jejak-jejak air mata membasahi kedua pipinya. Sudah dipandang suaminya dengan lekat. Berupaya juga sunggingkan senyum terbaik. "Hmm, aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma kemarin, aku mimpi aneh dan buruk. Jadi, sampai sekarang masih membekas." Gandhi secepatnya mengangguk dengan gerakan yang pelan. Terus ditatap sang istri lekat. Ia ingin memercayai ucapan ibu dari calon buah hatinya itu. Namun, tak bisa. Pancaran mata sang istri memerlihatkan hal yang berbeda. Gandhi curiga. "Mimpi buruk? Apa itu, Sayang? Coba ceritakan padaku dulu, aku mau mendengar semuanya. Aku nggak tega kamu nangis." Kembali dipeluk sang istri, bahkan lebih mengencang. Tak luput juga diberikan kecupan di kening wanita itu yang masih tetap bungkam, belum dilontarkan jawaban apa-apa. Ia menunggu. Gandhi pun tidak bisa menampik bahwa timbul kecemasan di dalam dirinya, merasakan kejanggalan akan sikap dan kondisi sang istri. Walau, wanita itu seperti enggan sampaikan masalah padanya. Gandhi juga tak ingin bertanya, nantinya akan takut membuat sang istri menjadi kurang nyaman. Ia diam saja. "Mimpiku, ya? Kita berpisah karena sebuah alasan yang cukup mengamankan keluarga. Kalau sampai terjadi, apa yang akan kamu lakukan, Gan? Membiarkan aku pergi atau mempertahankanku di sisi kamu selalu?" Wina semakin melekatkan tatapan pada sosok sang suami. Menanti jawaban pria itu dengan hati-hati yang tidak tenang. Ia kian was-was. Takut saja apa dikiranya tak akan sesuai jawaban dilontarkan sang suami. "Tentu aku akan mempertahankan kamu, Na. Mustahil kita bercerai, disaat kita sudah punya anak. Dan pertanyaan kamu aneh tahu. Jangan bertanya lagi kayak begitu. Aku kurang suka. Kamu juga membuatku takut." Wina menggeleng pelan. "Maafkan aku, ya. Tolong jangan marah atau membenciku." "Haha. Kenapa aku harus marah dan benci kamu, Sayang? Nggak mungkin. Kamu tahu kalau aku sangat mencintai kamu, Wina. Jadi nggak mungkin aku akan melakukannya." ..................    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DESTINY [ INDONESIA ]

read
1.3M
bc

Naughty December 21+

read
512.2K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

OLIVIA

read
29.2K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook