bc

Karena Dendam

book_age18+
1.1K
FOLLOW
10.4K
READ
revenge
fated
second chance
drama
sweet
genius
enimies to lovers
gorgeous
selfish
like
intro-logo
Blurb

Jika kebanyakan pria mendekati seorang wanita karena cinta dan ingin membahagiakan cintanya, tetapi tidak dengan Adrian Harshad yang sengaja datang ke dalam kehidupan Arlita hanya untuk menyengsarakannya.

Karena sebuah dendam, Adrian masuk dalam kehidupan Lita untuk merubah kebahagiaan Lita menjadi kesedihan. Hidup Lita yang tadinya normal-normal saja seketika berubah jadi bencana di setiap detiknya. Bahkan, karena dendam Adrian, Lita harus kehilangan kedua orangtuanya dan cita-cita Lita yang sudah di depan mata harus terpaksa ia tinggalkan.

Namun, ketika sebuah kebenaran terungkap, dapatkah Adrian memperbaiki kekacauan yang sudah ia buat? Dapatkah Lita melupakan semua perbuatan Adrian? Atau justru Lita balik membalas dendam pada Adrian?

Cover by: HM_14

chap-preview
Free preview
Kesedihan Lita.
Lita terus mengetuk pintu kontrakan kekasihnya yang tidak bisa ditemui sejak satu minggu lalu, padahal ia sedang sangat membutuhkan tanggung jawab dari pria itu. “Kak Edo, buka pintunya!” teriak Lita kesekian kali sambil terus mengetuk pintu. Ia tidak peduli pada ruas jarinya yang mulai terasa perih karena beradu cukup kencang dengan pintu. Satu tangan Lita mengusap setetes air matanya saat rasa putus asa mulai muncul di hati karena tak kunjung mendapat jawaban dari penghuni kontrakan meskipun ia tidak berhenti mengetuk sejak tadi. “Kak, buka pintunya! Tepati janji Kakak minggu lalu,” ucap Lita dengan suara yang mulai lirih dan lemah. Tiba-tiba seorang wanita bertubuh tambun yang Lita kenal sebagai pemilik kontrak, datang menghampiri karena terganggu dengan suara ketukan pintu yang terus-menerus. “Mbak, cari siapa?” tanya Si Wanita. Lita langsung menoleh ke sumber suara sambil mengusap air matanya. “Saya mencari Kak Edo, Bu.” “Edo sudah pergi dan tidak mengontrak lagi di sini sejak seminggu yang lalu.” “Pergi, Bu?” tanya Lita dengan ekpresi terkejut. “Iya, hari sabtu sore dia pergi tanpa membawa barang-barangnya. Dia juga membayar lebih uang sewa kontrakan yang sejak awal tidak pernah menunggak.” “Sekarang malam minggu, itu berarti Kak Edo baru pergi sore tadi, Bu?” Si Wanita menarik nafas berat karena Lita tidak mengingat ucapan sebelumnya. “Tadi saya bilang Edo sudah pergi sejak minggu lalu, itu berarti Edo pergi bukan Sabtu minggu ini, tapi minggu lalu.” “Kak Edo pergi Sabtu Minggu lalu? Sabtu siang Minggu lalu aku memberitahu dia bahwa aku hamil, tidak mungkin Kak Edo pergi setelah aku beritahu dan berjanji akan bertanggungjawab. Lalu sekarang aku harus bagaimana?” pikir Lita. Belum hilang wajah sedih Lita, kini harus ditambah kebingungan ke mana lagi mencari keberadaan pria yang berjanji akan bertenggungjawab pada kehamilannya saat ini. “Kalau begitu terima kasih, Bu. Saya permisi,” pamit Lita. “Iya,” balas Si Wanita, ramah. Lita berjalan dengan terus menunduk sambil menahan air matanya agar tidak keluar lagi. Satu tangannya menyentuh perut yang masih rata hingga tidak ada yang tahu bahwa janin berusia empat Minggu ada di dalamnya. “Kenapa Kak Edo pergi? Bukankah Kakak sudah berjanji akan bertanggung jawab dan menikahi aku?” lirih Lita. Lita sudah tidak bisa menahan tangisnya, tapi juga tidak bisa berhenti melangkah karena ia akan mendatangi sebuah toko klontong tempat di mana Edo bekerja sebagai penjaga toko. Ia takut berhenti sedetik saja untuk menangis, akan semakin membuang waktu hingga tidak bisa bertemu Edo. Ia lebih memilih berjalan sambil terus menangis. Lita tidak peduli jika mendapat tatapan heran dari orang-orang yang ia lewati karena terus menangis dengan suara yang terdengar jelas, bahkan bahunya beberapa kali bergetar karena tidak sanggup menahan rasa sesak, kecewa, dan takut Edo akan lari dari tanggung jawabnya. Begitu pun saat Lita menaiki angkutan umum. Bukannya meredam suaranya, ia malah semakin kencang menangis dengan suara yang terdengar seperti tangis rintihan hantu penunggu angkot, hingga membuat tiga orang yang ada di dekatnya beberapa kali menatap heran. Bahkan salah satu dari mereka menegurnya untuk sedikit membantu menenangkan. “Mbak, kenapa?” tanya seorang wanita paruh baya sambil membelai lembut punggung Lita. Lita tidak bisa menjawab dengan kata-kata karena tangis yang sangat sulit untuk dihentikan. Ia hanya bisa menggeleng dengan terus menunduk sampai Si Ibu lelah mengusap punggunya dan membiarkan ia terus menangis. Lita takut jika akhirnya tidak bertemu atau Edo tidak mau bertanggung jawab, kedua orang tua dan kakaknya pasti akan sangat marah. Meskipun seandainya Edo bertanggung jawab, kemarahan dari keluarganya pasti akan tetap ia dapatkan, tetapi paling tidak ia tidak menghadapinya sendirian karena akan ada genggaman tangan Edo yang menguatkan. Begitu tiba di tempat yang Lita tuju, gerimis mulai membasahi jalan yang akan ia pijak setelah turun dari angkot, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya sedikit pun untuk mendatangi Edo. Ia terus melangkah mendatangi toko yang masih buka dan terlihat ramai di jam sepuluh malam, dengan beberapa anak muda yang bermain gitar dan dua pria paruh baya bermain catur. “Permisi. Pak,” sapa Lita pada dua pria yang sedang bermain catur dengan suara tangis yang sulit untuk dinormalkan. “Ya, ada apa, Mbak?” balas pria yang bertubuh jangkung dangan tatapan heran karena wajah sembab Lita. “Edo-nya ada?” Seketika tatapan heran dua pria itu bercampur dengan tatapan bingung hingga keduanya saling pandang. “Edo siapa, Mbak?” tanya pria satunya. “Edo pegawai di toko ini.” Lita menunjuk ke toko yang lebih mirip mini market karena kelengkapan barang yang dijual. “Pegawai toko ini tidak ada yang bernama Edo, Mbak,” balas Si Bapak jangkung selaku pemilik toko. “Tidak ada, Pak? Bapak yakin?” tuntut Lita. “Yakin, Mbak. Saya pasti kenal dengan lima anak buah saya, dan tidak ada yang bernama Edo." “Tapi Kak Edo bilang, dia kerja di sini sejak dua setengah bulan yang lalu, Pak.” Wajah sedih Lita mulai bercampur dengan ketakutan lagi saat ia merasa tidak bisa bertemu Edo. “Saya tidak berbohong, Mbak. Lagipula ke-lima karyawan saya sudah cukup lama bekerja dengan kurun waktu tahunan, dan tidak ada yang terbilang bulanan di sini.” Lita diam saat kembali tidak tahu harus mencari ke mana lagi karena tiga bulan menjalin kasih dengan Edo, hanya tempat tinggal dan tempat kerja yang ia tahu. Kalaupun ada yang lain, itu hanya kampung halamannya yang berada jauh di Sulawesi, itu pun ia tidak tahu alamat lengkapnya. Edo yang Lita kenal hanya seorang perantau asal Sulawesi berusia 24 tahun yang sedang mencari pekerjaan di Bandung dan mengontrak tempat kecil sejak pertama datang. Kemudian Lita membalikan badan lalu melangkah pergi menjauh dari toko tanpa mengucapkan terima kasih apalagi berpamitan pada dua pria yang ia tanya barusan, sehingga membuat dua pria itu semakin heran, bahkan menganggap Lita sebagai orang aneh. Pikiran Lita sudah tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain menemui Edo untuk bertemu keluarganya malam ini juga guna mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan sesuai janjinya minggu lalu. Tetapi, kini Edo menghilang dan Lita bingung harus mencari ke mana. Tidak ada petunjuk lain selain tempat tinggal dan tempat kerja. Ia juga takut untuk pulang meskipun keluarganya belum tahu tentang kehamilannya. “Kak Edo, kenapa Kakak berbohong? Aku harus bagaimana, Kak? Ibu, Bapak, dan Kak Leon pasti akan sangat marah jika aku hamil tanpa ada yang bertanggung jawab,” lirih Lita. Lita kembali menangis sambil terus berjalan ke arah pulang tanpa berniat menaiki angkutan umum seperti tadi. Ia ingin menunda selama mungkin waktu untuk tiba di rumah, berharap bisa menemukan cara lain atas masalah kehamilannya ini. Atau mungkin yang lebih konyol lagi, ia bisa menemukan pria yang mau menikahinya dalam perjalanan pulang. Setelah berjalan ratusan meter dengan tubuh setengah basah karena gerimis yang terus menimpa hingga semakin menyempurnakan kesusahannya, Lita memilih duduk sejenak di kursi yang ada di salah satu taman di Kota Bandung yang disediakan pemerintah setempat. Tidak peduli jika keluarganya sedang khawatir di rumah karena tadi ia hanya izin pergi ke rumah teman sebentar, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Lita langsung mengusap perut dengan sedikit mencengkeram diiringi tangis yang semakin tersedu bertepatan dengan gerimis yang berubah menjadi hujan deras. Ia merenungi nasibnya ke depan, juga cita-cita yang sudah dipastikan gagal karena hanya baru sejengkal ia melangkah untuk menjadi seorang disainer. Kini, ia terpaksa harus menjadi ibu di usia sembilan belas tahun. Usia yang tidak memiliki pengalaman dan mental untuk berumah tangga. Harapan kedua orang tua agar ia menjadi anak yang sukses dan membanggakan, pupus sudah karena janji manis dan cinta palsu pria yang tiga bulan terakhir sangat sempurna di matanya. Lita juga tidak bisa menghubungi Edo karena tidak punya ponsel, benda yang menurut orang sangat murah, tapi sangat mahal bagi ia dan keluarga, meskipun ada yang harganya hanya ratusan ribu. Jangankan memiliki ponsel, untuk biaya masuk kuliah di salah satu unuversitas di Bandung, jurusan fasion desain saja, ayah-ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga dan sopir angkot, harus menjual ini-itu dan pinjam sana-sini. Satu-satunya orang yang punya ponsel di keluarganya hanya Leon, itu pun dibelikan oleh kekasihnya di Jakarta, dan ia tidak mungkin menghubungi Edo dengan ponsel itu. Kalaupun bisa, ia tidak tahu nomor mana yang bisa dihubungi, karena Edo juga sama miskinnya dan tidak mempunya alat komunikasi jarak jauh itu. Akhirnya hanya menangis di bawah guyuran hujan deras adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan saat ini. Ia meluapkan rasa putus asa, marah, dan kecewa pada kehadiran janin yang tidak diharapkan dengan memukul-mukul perutnya sambil terus memaki. Lita tidak tahu bahwa, orang yang ia cari sedang duduk manis di dalam mobil tidak jauh dari taman. Dan tanpa ia ketahui juga, orang itu sudah sejak satu Minggu lalu selalu mengawasi dari kejauhan hanya untuk melihat kesedihannya. Ya, Adrian sudah mengawasi dari dalam mobil sejak Lita keluar rumah, datang ke kontrakan, menaiki angkutan umum, sampai mendatangi toko. Namun, jangankan berniat menghampiri Lita untuk menghapus air mata yang mentes bersama derasnya hujan, rasa iba sedikit pun tidak ada di hatinya. Yang ada semakin Lita bersedih, semakin puas hati Adrian. “Cari Edo-mu sampai dapat, bahkan sampai mati,” ucap Adrian penuh kepuasan. “Apa kita akan terus memperhatikan Lita, Pak?” tanya Hans—sopir pribadi Adrian. “Tentu saja. Aku ingin terus memperhatikan dia sampai pulang ke rumahnya. Aku ingin melihat reaksi Leon mengetahui adiknya hamil tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab dan seberapa hancur hati kedua orang tuanya saat anak kesayangan mereka malah mencoreng nama baik keluarga. Aku juga ingin melihat mereka merasakan apa yang aku dan keluargaku rasakan saat anak wanitanya dibuat gila.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook