bc

Seandainya Bisa ... (Ketika Cinta Berujung Dilema)

book_age18+
1.4K
FOLLOW
12.4K
READ
second chance
drama
ambitious
lucky dog
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Orang memandangku tak tahu rasa, tak mampu mengecap asa yang sudah diperjuangkan seorang wanita yang begitu tulus mencinta. Kata mereka, aku bahagia meninggalkan lara. Tanpa mereka berkaca, sebagai pria aku butuh cinta dan kehangatan bukan limpahan materi dan ketulusan tanpa belaian.

Kegagalan pertama memang aku pantas dijadikan tersangka, hingga mereka menyematkan gelar kacang yang lupa kulitnya karena keputusanku untuk meninggalkannya. Wanita pertama, yang begitu gigih berjuang di belakangku dengan serentetan doa dan usaha untuk kebahagian keluarga.

Pertemuanku dengan yang kedua menumbuhkan harap, Sebuah pernikahan kedua yang diawali dengan gelora hasrat dan bara cinta yang ku pikir tak akan padam hingga maut yang memisahkan kita. Namun semua hanya harap semata. Ketika yang kedua menjadikanku b***k cinta, tanpa ketulusan.

Seandainya bisa, ingin rasanya....

Ah, ribuan pengandaian itu hanya membuat sesalku tak terkira.

Aku, Banu Danurdana, masih berharap untuk mendapatkan sebuah cinta tanpa dilema. Sebuah cinta yang bukan hanya memberikan kenikmatan dunia. Namun juga kenyamanan dalam menjalani sebuah rumah tangga.

Seandainya Bisa....

Cintaku tak akan berujung dilema....

Sebuah penyesalan yang tak berujung yang membuat Banu berada dalam keterpurukan antara kembali mencari, bertahan atau kembali pada rumah yang telah lama dia tinggalkan.

chap-preview
Free preview
Seandainya 1
Seorang wanita membopong satu termos nasi yang di atasnya sudah ada beberapa nampan kosong bekas tempat ia menjajakan lauk pauk yang dijual bersama dengan nasi kuning dan nasi uduk sejak bada subuh. Rambutnya disanggul dengan cepol agar terlihat rapi sebelum mengenakan jilbab dan tidak mengganggu geraknya agar bisa melayani semua pembeli yang minta cepat dilayani padahal dia hanya memiliki dua tangan yang tentu saja harus bergantian melayani satu persatu pembeli yang sudah berjajar menunggu giliran dilayani. Dia tidak sendiri di warung dadakan yang hanya bermodal baja ringan empat tiang dengan atap spandex. Di belakangnya ada seorang pria yang memegang spatula dan dengan cekatan membolak-balik gorengan di wajan yang separuhnya di isi dengan minyak goreng. Hidup nyatanya tak selalu mulus, sedari awal mereka menikah keduanya sudah bekerja keras untuk mendapatkan hidup layak seperti para tetangganya. Namun, sekarang apapun mereka berjuang dan bekerja mencari nafkah, hasilnya hanya bisa mencukupi keperluan mereka di hari itu saja. Banu Danurdana adalah seorang pria berusia tiga puluh satu tahun, pria dengan tinggi 165 cm dengan berat badan ideal sesuai tingginya, kumis tipis dan jambang yang terawat dengan rambut hitamnya yang selalu dipotong cepak. Hidung Banu yang bulat mancung dengan netranya yang bulat melebar dan kedua sudut alis yang saling bersentuhan membuat Banu terlihat tetap tampan di usianya yang sudah setengah baya. Dua belas tahun silam Banu menikahi seorang gadis cantik bunga desa di kampungnya. Gadis yang saat itu baru saja menjadi yatim piatu keran kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas saat hendak mengantar istrinya memeriksakan kehamilan keduanya. Kecelakaan yang seketika membuat Gayatri Rumi yang saat itu baru berusia sembilan belas tahun langsung menjadi yatim piatu dan hidup sendiri tanpa orang tua maupun saudara kandung karena dia anak satu-satunya di keluarganya. Rumi remaja pun harus mengubur semua cita-citanya hingga saat sang paman memilihkan Banu Danurdana untuk menjadi suaminya, Rumi hanya bisa menurut dan berharap dengan menikah akan ada seseorang yang menggantikan kedua orang tuanya untuk menjaganya. Awalnya Banu hanya seorang kuli bongkar bahan baku di pabrik keramik yang berada di sebelah kanan jalan raya kota Balmer. Pabrik keramik yang dimiliki keluarga besar Mr. Yuda. Pabrik terbesar di kota itu dan menampung banyak pekerja baik pekerja kontrak maupun buruh lepas seperti Banu. Pagi ini tidak seperti biasanya, sudah jam tujuh lewat tapi pembeli sarapan Rumi masih saja terlihat ramai. Setelah diguyur hujan semalam, orang-orang sepertinya merasa lapar dan memilih membeli sarapan yang bisa langsung dimakan daripada masak sendiri. “Bu, sudah jam delapan, bapak tinggal ya,” pamit Banu saat semua bahan gorengan sudah habis dia goreng dan berpindah ke nampan besar di dekat dua termos nasi yang berjajar. “Lah, mas Banu bantuin istrinya layanin dulu, biar kita nggak terlalu lama ngantri dong, Mas,” ujar salah seorang pembeli yang sepertinya sudah sangat tidak sabar menunggu giliran untuk dilayani oleh Rumi. “Mas Banu nggak bisa layanin nasi, Mak. Dia bisanya bantu gorengin bakwan, tempe sama tahu saja, Mak. Nanti habis ini giliran Mak Iyos kok,” tanggap Rini dengan kalimat ramah yang keluar dari bibir manisnya. “Wualah harusnya mas Banu belajar juga, Mbak Rumi. Lumayan kan bisa bantuin si Mbaknya,” timpal Mak Iyos tak mau kalah. Banu hanya melempar senyum pada wanita tua bernama Mak iyos yang sudah menjadi pelanggan tetap istrinya. Dia memang sudah sering mendengarkan Mak Iyos melontarkan kalimat senada. Namun, bagaimana pun dia punya pekerjaan lain yang mengharuskan dirinya datang ke tempat kerja sebelum jam sembilan pagi atau kalau terlambat dia harus merelakan hari itu sama sekali tidak mendapatkan satu mobil pun untuk dia bongkar isinya. “Bapak pergi ya, Bu,” pamit Banu dan Rumi pun mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya. Banu tetap melangkah pergi meninggalkan istrinya yang masih terlihat sibuk dengan rutinitas harian Rumi di warung meskipun Mak Iyos dan beberapa pembeli lainnya ada yang menyayangkan sikap Banu yang terkesan tidak mau membantu Rumi. Namun, Rumi yang memang sudah tahu pekerjaan suaminya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Rumi mengaggap komentar dan perkataan miring yang mereka lontarkan pada suaminya bagai angin lalu yang hanya terasa saat kalimat itu dihembusakan, tapi setelahnya langsung dia lupakan . Banu sudah terlihat menjauh dari warung sang istri yang terletak di halaman mereka yang memang berada di samping jalan utama. Rumah warisan kedua orang tua Rumi yang kini ditempati mereka berdua. Di tengah jalan, netranya menangkap sosok tua yang sedang berjalan sembari menuntun motornya. “Maaf, Pak, motornya kenapa?” tanya Banu yang iba melihat bapak-bapak yang usianya sudah sepuh terlihat menuntun motor dengan keringat yang bercucuran di keningnya.. “Kayaknya kena paku Mas, bannya bocor,” telunjuk pria tersebut mengarah ke ban depan motornya. Pria yang tanpa diketahui Banu ternyata adalah bos besar di PT. Marga Yuda, pabrik keramik tempatnya mengais rejeki. Mr. Yuda hari itu memang sengaja berkeliling desa Suka Jonggol. Udara pagi yang terasa sejuk membuatnya tergoda untuk membawa motornya keluar dari pabrik untuk menikmati sejuknya udara perkampungan yang masih sangat asri meskipun berdekatan dengan pabrik miliknya. “Mari, Pak, Saya bantu dorong sampai bengkel depan. Sepertinya Bapak kelelahan,” tawar Banu sembari kembali menengok ke wajah Yuda yang sudah keriput dialiri keringat baik di wajah maupun di bagian tubuh lainnya yang tidak tertutup pakaian yang dia kenakan. Tidak harus dia tahu siapa yang dia tolong, Banu akan sigap memberi pertolongan saat dia memang merasa mampu untuk membantu. Perbuatan baiknya kali ini murni karena tidak tega melihat wajah lelah Yuda yang basah karena keringat yang terus mengucur, bukan karena Yuda adalah pemilik dari PT. Marga Yuda. Banu kini berjalan menuntun motor menggantikan Yuda. Tak apa dia harus kembali menuju desa. Nuraninya tidak tega membiarkan Yuda begitu saja, dia tidak banyak harta, hingga Banu pun kerap menyedekahkan tenaganya untuk membantu sesama yang membutuhkan. “Mang Salim, ini motor si Bapak bocor,” ujar Banu saat dia tiba di bengkel terdekat yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari tempat awal dia bertemu dengan Yuda. “Taruh di sana saja, Nu. Tanggung saya pompa angin ban motor dulu,” jawab Salim si pemilik bengkel yang sedang memasang selang angin ke motor pelanggannya yang sudah terlebih dulu datang. Banu meletakan motor Yuda di tempat yang ditunjukan oleh Salim. Dia kemudian menuju ke arah Yuda yang duduk beristirahat di ranjang dengan sebotol air mineral yang baru saja ditenggaknya. “Pak, Saya permisi dulu mau berangkat kerja,” pamit Banu dengan sedikit membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan pada pak Tua seperti Yuda. “Terima kasih, Mas sudah membantu saya. Saya beruntung bertemu dengan orang sebaik Mas.” Yuda merogoh saku celananya, dia mengeluarkan dompet dan menarik selembar uang lima puluh ribuan untuk diserahkan pada Banu. “Tidak usah, Pak. Buat bayar ongkos ganti ban saja, Saya permisi,” tolak Banu dengan seramah mungkin agar tidak menyinggung niat baik Yuda. Banu kembali menundukkan badan sebelum dia berbalik dan langsung berjalan menjauhi bengkel milik Salim. Langkahnya dibuat selebar mungkin agar bisa segera sampai di depan pintu pabrik sebelum truk bahan baku tiba. Bukan hanya dia yang bekerja di sana sebagai kuli bongkar yang menunggu truk berisi muatan bahan baku baik pasir putih, semen, tanah dan lainnya. Para kuli akan berebut naik ke atas truk yang akan memasuki gerbang pabrik, satu mobil dibatasi hanya untuk tiga kuli saja, sedangkan sisanya akan menunggu mobil yang berikutnya datang. Namun, sayangnya kebanyakan mobil akan membawa serta sang kuli agar mereka juga yang memuat barang kedua yang akan mereka bawa sehingga keberuntungan akan mendekat pada mereka yang datang sebelum jam sembilan pagi. Yuda melepas kepergian Banu dengan rasa bangga yang tidak bisa dia tutupi, hingga pertanyaan dari Salim menyadarkan dia dari lamunan sembari melihat punggung Banu yang menjauh. “Maaf, Pak. Ini ditambal apa ganti ban?” tanya Salim pada Yuda yang masih terpaku melihat Banu yang berjalan dengan cepatnya menuju ke jalan raya. “Diganti saja, Mang. Oh ya, Mamang tahu tidak yang tadi bantu saya bawa motor itu siapa ya, Mang?” tanya Banu pada Salim. “Itu Banu pak, rumahnya di sana. Di depan Musala As-Salam,” tunjuk Salim ke arah rumah bercat putih yang sudah memudar terkena panasnya sengatan matahari kala siang. “Istrinya berjualan sarapan kalau pagi pak. Nasi kuning dan nasi uduknya enak loh,” ujar Salim mempromosikan dagangan Rumi pada Yuda. “Wah berarti nanti kapan-kapan saya harus mampir buat nyicip menu sarapan di warung istrinya Banu ya, Mang.” “Wah, harus itu, pak. Rugi kalau bapak ke sini nggak nyobain sarapan buatan si Rumi. Pasti ketagihan deh, Pak,” timpal Salim yang memang jujur mengatakan kalau menu sarapan di warungnya Rumi itu enak dan bikin para pelanggannya ketagihan untuk selalu datang ke sana. “Bapak ini orang mana ya? Kok saya kayaknya baru lihat bapak?” tanya Salim. Ternyata bukan hanya Banu, Salim pun tidak mengenali siapa pria tua yang kini duduk di bengkelnya. Penampilan Yuda yang terlihat memakai celana di bawah lutut dengan kaos berkerah dan sandal jepit warna putih dengan list merah membuat Yuda terlihat biasa saja. Tidak menampakan kalau dia ternyata adalah konglomerat pemilik pabrik yang menjadi tempat bekerja hampir sebagian pria di desa Suka jonggol. “Wah, padahal saya sering ke sini loh, Pak. Sering hadir juga kalau ada acara penting di desa,” jawab Yuda. Dia memang sering diundang Kuwu, sebutan Kepala Desa Suka Jonggol saat ada acara-acara penting seperti peringatan hari besar islam, acara tujuh belas agustusan atau acara lainnya. Namun, biasanya dia datang dengan pakaian resi, berjas dan dasi juga tak lupa sepatu hitam mengkilat yang menjadi alas kakinya. Penampilan yang sangat jauh berbeda dengan dirinya yang kini berada di depan Salim. “Masa sih, pak. Saya itu kan rumahnya di ujung desa, jadi kayaknya orang keluar masuk desa itu ya saya setidaknya tahu dan hapal mukanya,” kekeh Salim. Kali ini Yuda hanya menanggapi ujaran Salim dengan ikut terkekeh juga. Ada hal yang jauh lebih penting yang harus dia tanyakan pada Salim. Jawaban dari Salim akan dia jadikan patokan untuk pantas tidaknya Banu mendapatkan sesuatu spesial yang sudah dia siapkan untuk salah satu warag Suka Jonggol yang terpilih. Ah, tentu saja sesuatu yang masih menjadi rahasia mengapa dia datang ke desa Suka Jonggol dengan menyamarkan penampilannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Dilamar Janda

read
319.0K
bc

Sang Pewaris

read
53.0K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.4K
bc

JANUARI

read
37.1K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook