bc

(Indonesia) THE PRINCE'S WIVES

book_age0+
1.4K
FOLLOW
14.4K
READ
billionaire
love-triangle
family
powerful
prince
princess
royalty/noble
mistress
drama
twisted
like
intro-logo
Blurb

Abdul menyadari pada saat dia memutuskan untuk menikahi Margo, seluruh yang ada di sekitarnya menentangnya dengan keras, terutama sang Isteri dan Ummu Salma. Abdul hanya memiliki restu Ayahnya, Sheikh Mohammed Abdul Jabbar yang secara khusus meminta ijin Raja untuk mengijinkan dirinya mempersunting Margo. Bahkan sang Pangeran Mahkota memberikan dukungan penuh terhadap Abdul untuk mendapatkan ijin sang Raja.

Ketika restu Raja diumumkan, tak ada satupun yang mampu membantah khususnya Puteri Leila. Persetujuan itu semakin diperkuat karena hingga setahun pernikahan mereka, Leila belum juga mengandung. Maka Abdul meminang Margo dan melaksanakan pernikahan yang sama megahnya seperti saat dia menikahi Leila.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Suara lecutan cambuk memecah kesunyian malam itu. Di dalam ruangan yang berukuran kecil dan pengap, di mana ke empat sisinya dilapisi dinding dingin yang kasar, di bagian tengah ruangan itu terdapat seorang pria yang kedua tangannya dipegang erat oleh dua orang pria lainnya yang bertubuh besar tinggi dengan kondura hitamnya tanpa bergerak. Kembali suara lecutan terdengar untuk yang kesekian kalinya, mendarat dengan tepat pada punggung lebar dan kekar yang terbuka milik sang pria.             “TAR! TAR! TAR!” suara itu demikian menyeramkan bagi siapapun yang melihat langsung hukuman yang dilakukan Ummu Salma pada satu-satunya putera yang selama ini dibanggakannya. Percikan darah kembali mengotori lantai kusam di bawah kedua lutut Abdul.             Bahkan kedua pria yang memegang erat kedua lengan sang Pangeran memalingkan wajah mereka karena menyaksikan lecutan demi lecutan mendarat di punggung itu. Tak ada suara apapun yang diucapkan dari bibir Abdul yang terkatup, bahkan lenguhan kesakitanpun tak dikeluarkannya. Dia cukup memejamkan matanya dan tak hentinya berzikir di dalam hatinya.             “Aku membesarkanmu dengan segala kayakinan yang kita imani sejak kau mengenal matahari dan bulan! Ayahmu mengumandangkan adzan di telingamu dan aku selalu berdoa agar kau selalu berada di jalan yang benar! Aku tak pernah mengijinkan kau sekalipun jatuh cinta pada gadis yang jelas-jelas berbeda denganmu!” Ummu Salma menggerakkan cambuknya dan mendaratkannya di punggung Abdul yang sudah dipenuhi luka memanjang yang akan membekas selamanya.             Abdul nyaris mengigit lidahnya saat menerima cambukan paling keras yang dilontarkan Ibunya dan hal terakhir yang diingatnya adalah tubuhnya yang melemas dan kesadarannya hilang.             “Astaghrifullah, Salma! Berhentilah!” Suara bentakan yang muncul di ambang pintu ruangan itu menghentikan gerakan tangan Ummu Salma. Dia seakan tersadar dari gelombang amarahnya yang dikuasi iblis saat melihat tubuh Abdul yang terbaring menelungkup di lantai dingin di bawah kakinya, dengan kedua pria berjenggot yang mencoba membopong sang pangeran dengan wajah pilu.             Cambuk di tangan Ummu Salma terlepas dan dia berlutut di lantai sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis keras dengan aliran airmata yang merembes di sela-sela jemarinya.             “Ya Allah, apa yang sudah kulakukan?” Dia memandang kedua tangannya yang barusan telah mencambuki anaknya dengan penuh marah dan menatap pias saat kedua pria yang bersama Abdul memanggul sang Pangeran yang pingsan.             Sheikh Mohammed Abdul Jabbar mendekati isterinya dan memegang bahunya. “Demi Allah, Salma. Kau memang berhak menghukum anakmu namun tidak seharusnya kau menyiksanya seperti ini. Kau bisa saja membunuhnya seperti kehendak Iblis yang ada di hatimu.” Pada pria yang memanggul Abdul, Sheikh berkata lirih. “Bawa dia ke ruanganku. Bahir sudah menunggu di sana.”             “Baik Sheikh.” *****             Suara cicit burung terdengar di jendela kamar yang luas dan beraroma dupa arab yang harum itu. Saat itu mendekati adzan subuh dan suara erangan kesakitan dari tubuh yang menelungkup tampak terdengar samar di atas ranjang bertiang empat dan empuk itu. Bahir yang sedari tadi duduk diam di sofa depan ranjang segera bangkit berdiri dan dengan langkah lebarnya, dia sudah mencapai tepi ranjang.             Nimah yang setia menjaga di sisi ranjang bersama Puteri Azzah tampak merapat pada Abdul yang kembali mengerang. “Kakak? Alhamdulillah, kau sudah sadar.” Puteri Azzah memegang tangan Abdul yang tampak mencengkram ujung bantalnya, menatap ngeri pada balutan yang kembali memerah di punggung pria itu.             Abdul membuka matanya dan mendapati rasa nyeri bagai api yang membakar punggungnya menyerang tiap kali dia mencoba meregangkan ototnya. Dia melirik Nimah pertama kali, di mana anak perempuan itu menangis diam-diam dan dia mencoba tersenyum.             “Nimah, jangan menangis. Luka ini tidak seberapa sakit...” dia mencoba menenangkan Nimah namun suara adiknya yang lain membuatnya terdiam.             “Jangan membodohi kami! Lukamu takkan pernah hilang dan akan membekas selamanya. Bahkan setelah 3 hari pun, luka itu belum kering! Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa itu tidak seberapa?”             Abdul memandang Azzah yang membersit hidungnya dan juga sosok Bahir yang berdiri di belakang gadis itu. Gerakannya amat terbatas untuk mencapai wajah adiknya dan hanya bisa menghela napas. Dia menatap Bahir yang terlihat tampak cemas.             “Bahir...Margo...” Sekalipun Abdul tak pernah melupakan keberadaan Margo. Jika dia saja dihukum seperti ini, entah bagaimana nasib gadis yang dicintainya itu.             Bahir tampak menekan perasaannya. Dia maju ke dekat ranjang dan setengah membungkuk. “Nona Margo telah kembali ke negaranya. Maafkan saya, Pangeran.”             Abdul terdiam. Rasa nyeri dan panas yang kembali menyerangnya bagai tak dirasakannya. Hatinya lebih nyeri ketika mendengar bahwa Margo telah pergi dari negaranya. Dia menatap wajah Bahir yang menunduk dan berusaha mengendalikan rasa sedihnya.             “Aku akan menyusulnya!”             Seketika Bahir mengangkat kepalanya dan menatap sang Pangeran dengan tidak setuju. “Itu bukan keputusan yang tepat Tuanku Pangeran. Luka anda sangat parah dan anda telah menyebabkan kemarahan Ummu! Tidak! Itu tidak benar.” Bahir menggeleng keras.             Sorot mata Abdul berkilat. Dia mengangkat kepalanya dan berusaha duduk. Azzah dan Nimah terpaksa membantu Abdul untuk duduk meski hal itu mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa. Wajah Abdul tampak memucat dan dia menekan dadanya yang juga terbalut perban hingga ke punggungnya.             “Aku akan menyusulnya segera setelah luka ini sembuh!”             “Pangeran...”             “Kau harus menikahi Leila!”             Sebuah suara berat muncul dari balik pintu kamar yang terbuka lebar. Seluruh pasang mata yang ada di kamar itu melihat Sheikh Mohammed Abdul Jabbar yang melangkah lambat memasuki kamar tanpa dikawal siapapun.             Abdul menentang pandang mata Ayahnya. “Aku tidak akan menikahi Leila! Aku tidak mencintainya!”             Ayahnya kini berdiri di ujung ranjangnya, tersenyum penuh kesabaran untuk Abdul yang segera menunduk. “Maaf Ayah, kata-kataku kasar.”             Sheikh menyentuh ujung jari Abdul dan memajukan tubuhnya. “Nikahi Leila. Satu-satunya cara jika kau ingin gadis itu menjadi milikmu, nikahi Leila lebih dulu.” Saat dilihatnya protes akan kembali muncul, dia memberi tanda agar anaknya itu menutup mulut.             “Gadis itu masuk dalam blacklist negara ini. Pemerintah melarang Nona Margo menginjakkan kaki di negara ini selama 5 tahun kecuali dia mendapat ijin dari Raja. Jadi, cara tepat adalah dengan kau mengikuti kemauan Ummu. Nikahi Leila setelah itu aku akan meminta ijin Raja agar kau dapat bersama wanita yang kau cintai.”             Jantung Abdul berdebar tidak tenang. dia menatap ayahnya. “Maksud ayah, aku akan menjadikan Margo sebagai selir?” melihat anggukan kepala ayahnya, dia mencengkram erat selimutnya.”Aku ingin menjadikan dia satu-satunya isteriku!”             “Kau bisa menjadikan dia isteri sahmu di samping isteri utamamu. Dengan kata lain Nona Margo adalah isteri kedua, namun dia akan mendapatkan hak yang sama dengan isteri utama seperti keinginanmu.”             Abdul terdiam. Dia tidak setuju dengan saran ayahnya. Kembali didengarnya kalimat pria itu dengan tenang.             “Kau boleh memiliki lebih dari satu isteri asalkan kau bisa berlaku adil. Baik dalam nafkah dan menginap.” Sheikh Mohammed Abdul Jabbar menatap Abdul yang tercenung. Dia menepuk kaki anaknya dan berkata lagi. “Pikirkanlah baik-baik, Abdul. jika memungkinkan, shalatlah untuk meminta yang terbaik.”             Abdul menatap ayahnya yang keluar dari kamarnya, seketika ruangan itu sunyi senyap walaupun ketiga orang yang mengelilingi ranjang Abdul masih ada. Mereka menutup mulut mereka dan menatap Abdul yang masih diam.             Tiba-tiba Abdul menggerakkan kakinya untuk turun dari ranjang, meski masih limbung, Bahir segera memapah Abdul. pria itu menatap Abdul dengan lekat.             “Anda ingin dibawa ke mana, Pangeran?”             Abdul menatap manik mata Bahir dan menjawab lirih. “Masjid. Bawa aku ke masjid. Aku akan shalat.” Terdengar suara azdan subuh mengumandang lantang di seputar kediaman sang Pangeran.             Bahir mengangguk dan dengan kokoh membawa Abdul ke luar dari kamar. Nimah dan Azzah menatap kedua pria itu berlalu dan hati mereka berdebar kencang. Mereka sadar bahwa tak lama lagi Abdul akan menemukan keputusannnya yang dapat dipastikan akan mengubah jalan hidup pria itu.                

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Husband My CEO (Completed) - (Bahasa Indonesia)

read
2.2M
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.1K
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.1K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook