bc

Disguise [Indonesia]

book_age16+
9.3K
FOLLOW
67.1K
READ
love after marriage
arranged marriage
dominant
goodgirl
doctor
drama
comedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

"Jangan sampai lo jatuh cinta sama gue."

Zia menoleh tak percaya menghadap Ardi yang kini asik duduk di tempat tidurnya.

"Hah? Tenang saja! Gue nggak akan jatuh cinta sama lo! Pede banget sih jadi orang?" cibirku kesal, kok bisa-bisanya ada mahluk sepercaya diri dia.

"Bukan gitu, makannya kalo orang lagi ngomong dengerin dulu sampe selesai. Maksud gue, gue gak akan bilang hal kaya yang tadi gue omongin, gue gak bakal ngelarang loe jatuh cinta sama gue. Ya secara gitu banyak cewek di luar sana yang ngeliat gue aja mereka langsung jatuh cinta. Masa iya gue ngelarang istri gue sendiri jatuh cinta sama gue, iya gak? Jadi kalo lo cinta sama gue bilang aja, mungkin bakal gue pertimbangkan..." cerocosnya panjang lebar.

Ya Tuhanku... boleh gak sih aku lempar sisir yang ada di tanganku ini ke mulutnya? Kok ada sih spesies macam ini, jadi suamiku pula. Entah harus punya kesabaran sampe mana buat ngadepin mahluk macam dia.

Cover : h****://unsplash.com/photos/8Nu09ynnJsA

chap-preview
Free preview
1. Demi Ayah
Gadis itu menunduk di depan meja rias, sesekali melirik pantulan dirinya di cermin dengan hati berkabut, lantas mendesah pasrah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Habis sudah hidupku hari ini, pikirnya. Rasanya ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya, teriak sekencang-kencangnya. Entah apa rencana Tuhan hingga hal ini harus hadir dalam hidupnya dengan cara yang tidak biasa. “Udah kenapa, Zi. Ini kan hari nikahan lo. Mau sampai kapan sih cemberutnya? Senyum dong, senyum...” Zia—gadis itu, melirik gadis di sampingnya sinis, sahabatnya yang bernama Meta itu kini sudah memamerkan senyum—atau lebih tepatnya cengiran terbaiknya. Beberapa detik setelahnya tatapan Zia pada Meta berubah tajam. Bisa-bisanya Meta meminta Zia tersenyum disaat seperti ini? Sahabat apa bukan sih nih anak? Gerutu gadis itu tentu saja dalam hati. Bahkan ia tak punya cukup tenaga meski hanya untuk bicara dengan nada tinggi, rasa-rasanya semua energinya sudah habis sebulan terakhir. Saat pertama kali rencana pernikahan konyol ini ia dengar dari mulut sang Ayah. Otak Zia seketika langsung keruh hanya dengan mengingatnya. *** Sebulan lalu... Tumben-tumbenan Ayah meminta anak gadisnya pulang masih siang begini. Biasanya Ayah akan menyuruh pulang kalau jam di pergelangan tangan Zia sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bukannya merasa keberatan, Zia hanya merasa ini janggal. Kalau hanya ingin bicara kan bisa menunggunya pulang nanti, atau menyampaikannya melalui telepon pun mudah saja bukan? Tiba di rumah, semua anggota keluarga sudah duduk manis di ruang tamu. Mereka terlihat seperti menunggu. Kerutan di dahi Zia muncul begitu melihat tingkah keluarganya yang tidak biasa siang ini. Kenapa siang-siang begini semua berkumpul? Apa terjadi sesuatu? “Zia, pulang...” Zia berjalan menghampiri, menatap keluarganya satu per satu dengan tatapan bingung. Ia putuskan duduk di samping Kak Sat—maksudnya Kak Satria, kakak tertuanya. Menatap pria diakhir dua puluhan itu penuh tanya, “Ada apa sih?” tanya Zia tanpa suara. Satria hanya tersenyum meminta adik bungsunya duduk. Senyum ganjil yang membuat sebelah alis Zia terangkat ketika menerimanya. Masih hening. Tidak ada yang bicara satu pun sampai detik berganti menit, keluarga itu hanya menatap satu sama lain saling berganti, membuat Zia yang baru duduk di sana heran sendiri. “Ada apa sih?” Akhirnya gadis itu buka suara, tak sabar. “Hem..” Ayah berdeham mengambil alih. “Begini sayang... Ayah mau bicara sama kamu, tapi janji kamu akan dengerin Ayah sampai Ayah selesai bicara ya?” Zia menggangguk ragu. Sejak menginjakan kakinya di rumah ia sudah merasa ada yang tidak beres—bukan, bahkan permintaan Ayah yang menghendakinya pulang cepat pun bukan hal yang biasa. Ketidakberesan ini sudah berlangsung bahkan sebelum Zia menginjakan kakinya di rumah siang ini. “Ayah ingin kamu menikah, Zi.” “Ah...” Tunggu! Apa Ayahnya bilang? “APA?” Telat sekali gadis itu bereaksi. Otaknya terlalu lambat mencerna kalimat sang Ayah yang ia pikir tidak akan pernah ditujukan untuknya hingga ia selesai kuliah nanti. Tentu saja, gadis itu bahkan masih delapan belas tahun—meski beberapa minggu lagi akan sembilan belas—tapi ia jelas masih kuliah, itu pun masih semester tiga, dan apa Ayahnya bilang? Menikah? Diusia semuda itu? Jangan bercanda! “Zi... dengerin Ayah dulu sampai selesai, tadi kan kamu udah janji,” Kak Veli—kakak nomer duanya—meminta Zia kembali duduk. Dengan terpaksa Zia kembali duduk, kini di antara Satria dan Veli yang duduk di samping kanan-kirinya. Gadis itu masih menahan diri untuk tidak bicara—lebih tepatnya untuk tidak marah-marah, dan memustuskan untuk mendengarkan kalimat sang Ayah hingga selesai, meski sebenarnya mulut dan otaknya sudah tidak sabar dengan semua interupsi yang ingin ia ajukkan. Keluarganya adalah keluarga demokrasi. Semua bisa bicara asal telah menunaikan tugas mereka untuk mendengarkan, dan itu yang sedang Zia terapkan untuk mendapatkan hak bicaranya. “Iya sayang, Ayah sudah menentukan calonnya untukmu, dan Ayah yakin kamu pasti menyukainya. Ardi orang yang baik dan bertanggungjawab, dia pasti bisa menjagamu dengan baik menggantikan Ayah,” Zia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, hal yang selalu ia lakukan jika merasa frustrasi. Apa lagi ini maksudnya ini? “Bentar-bentar, maksud Ayah apa sih? Gantiin Ayah jagain aku? Memang Ayah udah nggak mau jagain aku lagi? Ayah capek? Kalau memang kayak gitu, ya udah nggak perlu repot-repot jodohin aku segala, aku bisa jaga diriku sendiri, Yah!” protesnya setelah diberi kesempatan. Veli kembali memegangi tangan adiknya, meminta Zia untuk sabar. Sementara Satria sudah merangkul adik bungsunya itu dengan tangan besarnya. “Bukan begitu Zi... Kamu kok jadi mikir gitu sih sama Ayah? Maksud Ayah kan baik biar hidupmu itu lebih terarah, lebih lengkap,” Ayah berusaha kembali menjelaskan. Zia berdiri, melepaskan sentuhan menenangkan kedua kakaknya yang tidak memberi efek apa-apa hari itu. Ia tidak bisa lebih lama berada di sana, dengan pembicaraan yang menurutnya sudah tidak masuk akal sejak awal. “Zi nggak mau! Pokoknya Zi nggak mau dijodohin!” geram gadis itu lantas berlari menaiki tangga, menuju kamarnya. *** Esoknya, pagi hari ketika Zia baru sampai kampus. Teteh (Kakak perempuan) aya telepon, Teteh aya telepon... Ayo angkat atuh Teteh... Telepon genggam Zia berdering nyaring, menyulut protes dari sahabat-sahabatnya yang merasa aneh dengan nada panggilan yang Zia pakai itu. “Norak banget sih nada dering lo? Gue udah suruh ganti juga,” gerutu Meta menatap sinis, yang Zia balas hanya dengan cengiran. Gadis itu kembali menatap layar ponselnya, mendapati nama kakak perempuannya yang sudah menghubungi pagi-pagi begini. “Ya, Kak...” “Zi? Cepetan kamu ke rumah sakit ya!” desak Veli, nada bicaranya jelas cemas bukan main. Jantung Zia hampir berhenti, gadis itu selalu benci kata 'Rumah Sakit', Karena di sana lah ia melihat langsung ketika sang Ibu harus pergi selama-lamanya tanpa mengucapkan apa-apa. “Kenapa Kak? Nana sakit?” tanya Zia berusaha tenang. Mengingat keponakannya yang menggemaskan itu. “Bukan Naura, Ayah! Ayah kecelakaan Zi!” Sedetik cukup untuk Zia mencerna semua informasi yang baru kakaknya itu sampaikan padanya. Tanpa membuang waktu langkah Zia langsung terayun meninggalkan kedua sahabatnya yang memandang penuh tanya. Ia tidak perdulikan teriakan Meta dan Anna, yang Zia inginkan hanya ayahnya. Memastikan ayahnya baik-baik saja. Dengan cemas dan pikiran kacau Zia tiba di rumah sakit yang Veli sebutkan di telepon. Setibanya di sana Zia segera menghampiri Veli dan Bimo—suaminya—yang berdiri di depan ruang IGD. “Ayah mana Kak? Ayah gimana?” Belum sempat Veli menjelaskan, Markus—dokter yang merupakan adik dari Ayahnya keluar dari IGD tempat para keponakannya menunggu. “Om! Ayah? Ayah baik-baik aja kan, Om?!” Markus menatap Zia dengan sorot menyesal, ekspresi yang paling ia benci jika harus datang ke tempat itu. “Sebaiknya kalian masuk dan melihat keadaannya,” kata Om Markus lalu pergi meninggalkan keponakannya setelah menepuk pundak Zia dengan senyum terpaksa. Ya Tuhan... aku mohon jangan ambil Ayah! Aku belum siap kehilangannya, bahkan percakapan kami terakhir aku malah marah-marah pada Ayah. Tolong izinkan Ayah baik-baik saja, apa pun akan aku lakukan asal Ayahku baik-baik saja ya Tuhan... apa pun akan kulakukan asal Ayah tidak pergi. Zia menghampiri Ayah yang terbaring di ranjang, kakinya diperban dan beberapa bagian tubuhnya terdapat lecet yang ditutupi plester. Hanya melihatnya saja membuat hati Zia pilu. Meski ia beruntung bahwa sang Ayah baik-baik saja, tidak seburuk yang ia pikirkan. Tapi tetap saja ayah tersayangnya terluka... “Ayah kenapa? Kok bisa kayak gini?” Tangis Zia terdengar begitu berdiri di samping ranjang Ayah. Tidak berani menyentuh ayah karena takut sentuhannya menyakiti pria setengah baya itu. “Ayah nggak apa-apa sayang, hanya jatuh dari tangga tadi. Maaf ya buat kalian khawatir,” ujar Ayah dengan senyuman menenangkan ke arah putra-putrinya. Melirik Veli yang juga menangis, menggenggam tangan Ayah yang beruntung tidak apa-apa. “Veli kan sudah bilang Ayah tinggal sama Veli aja! Jadi kalau ada apa-apa Veli bisa bantu, nggak kayak gini...” isak Veli mulai merajuk. Ayah tersenyum mencium punggung tangan putrinya itu. “Ini hanya kebetulan kejadiannya pas Kakak Iparmu lagi nggak ada Ve, biasanya juga Intan ngurusin Ayah dengan baik kok. Bukannya Ayah nggak mau tinggal sama kamu dan suamimu, hanya saja kamu kan tahu Ayah nggak bisa pergi dari rumah itu, kenangan Ibumu ada di sana sepenuhnya.” Ayah kembali tersenyum menenangkan. Membuat kedua putrinya justru makin menangis histeris. “Loh, loh... kalian kok malah makin kejer sih nangisnya, Zi? Ve? Ayah kan udah bilang Ayah nggak apa-apa...” Keduanya tak menjawab, hanya menangis sejadi-jadinya. Mereka tahu, bahkan sangat tahu kalau Ayah sangat mencintai Ibu, hingga tidak mau pindah dari rumah yang ditinggalinya sejak Ayah dan Ibu menikah berpuluh-puluh tahun lalu. Alasannya hanya satu, karena rasa cinta Ayah pada Ibu yang begitu besar, karena menurut Ayah semamua kenangan ibu mereka tersimpan di rumah itu. Bahkan setelah kepergian Ibu karena kecelakaan pun malah membuat Ayah semakin terlihat mencintai Ibu dengan banyak mengiriminya doa. Bahkan beberapa hari sebelum semua ini terjadi, Zia jadi teringat malam ketika ia memergoki sang Ayah di ruang tamu. Malam itu Zia terbangun dari tidurnya disepertiga malam, saat keluar ingin mengambil minum di dapur ia melihat Ayah sedang baca al-qur'an dengan kacamata tuanya. “Ayah belum tidur?” Bacaan Ayah terhenti. Pria itu menoleh dan menatap Zia dari balik kaca mata tuanya. Tersenyum hangat ketika menyadari kehadiran putrinya “Belum, Nak. Ayah sedang merindukan Ibumu, dan mengatasinya dengan ini,” ujar Ayah sambil mengangkat al-qur'annya sedikit, menunjukannya pada Zia. Zia tersenyum, menghampiri Ayah duduk di sampingnya, bersandar manja di pundak Ayah seperti biasa. “Kelak, Zia ingin punya suami seperti Ayah, yang selalu mencintai Ibu meski sudah tak di sini.” “Eh siapa bilang Ibumu tidak di sini? Ibumu selalu ada di sini, Sayang. Di hati Ayah dan anak-anaknya...” tunjuk Ayah ke d**a, yang dapat Zia lihat dengan lirikan. Gadis itu tersenyum, mengangguk setuju. Ya, Ibu memang selalu ada di hati kami, dan tidak akan pernah pergi meski sosoknya sudah tidak lagi hadir di sini. “Tapi sayangnya meski ada Ayah tetap rindu, Ayah ingin cepat-cepat bertemu Ibumu lagi,” sambung Ayah dengan nada sendu. Zia bangkit dari duduknya, menatap mata Ayah dengan pandangan horor. Tapi Ayah justru hanya tertawa melihat reaksi putrinya itu. Perkataan Ayah saat itu membuat Zia was-was, apa Ayah sedang memberinya isyarat? Maksudnya, ya Tuhan bahkan ia tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Zia merasa ia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat membanggakan Ayah, semua yang ia lakukan pasti selalu membuat beliau repot dan bahkan menyusahkan. Setidaknya biarkan Zia menunjukan bakti itu pada Ayah, menunjukan pada baliau bahwa Zia juga bisa membuat Ayah bahagia. Setidaknya Zia ingin bisa melakukannya walau hanya sekali. Sebelum semuanya terlambat dan membuatnya menyesal karena tidak pernah melakukan apa-apa. “Udah ah nangisnya, orang Ayah nggak kenapa-kenapa kok,” suara Ayah membuyarkan lamunan Zia yang melebar kemana-mana. “Maafin Zi, Ayah. Maafin Zi... Zi akan lakuin apa yang Ayah mau, apa yang bikin Ayah bahagia, Zi nggak akan ngelawan seperti kemarin-kemarin, nggak akan pernah lagi. Zi janji... Asal Ayah tetap di sini, jangan tinggalin Zi...” isakan Zia semakin deras, sudah ia peluk Ayah erat-erat. Nyatanya mendatangi rumah sakit memang membuat Zia teringat saat Ibu meninggalkannya. Bahkan saat itu ia tidak sempat meminta maaf pada Ibu, dan itu yang ia takutkan saat ini. “Ayah hanya ingin melihat putri bungsu Ayah ini bahagia, itu mengapa Ayah ingin melihatnya menikah selagi Ayah sempat. Maafkan Ayah karena memaksamu, Zi, tolong jangan salah paham dengan keinginan Ayah itu, “ tambah Ayah membuat Zia semakin menangis kencang. “Menikah, dijodohkan, apa pun itu akan Zi lakukan asal bisa membuat Ayah bahagia. Asal Ayah sembuh dan tidak ke tempat ini lagi...” *** Dan sebulan setelah mengatakan itu, di sini lah Zia. Dihari pernikahannya dengan laki-laki yang sudah Ayah kehendaki. Ardian Syahreza. Seorang laki-laki berusia 27 tahun yang tidak lain adalah seorang wakil direktur sekaligus dokter residen di rumah sakit milik keluarganya sendiri. Entah sudah berapa kali Zia menghela nafas, masih terunduk lesu di depan meja riasnya. Anna dan Meta sudah setia duduk bersamanya menunggu berlangsungnya ijab qobul di luar sana. “Apa gue kabur aja ya, Ta? Ann?” gumam Zia tanpa memikirkan ucapannya lebih dulu. Kedua sahabatnya langsung menatap garang ke arahnya. “Gila Lo! Mau bikin bokap lo masuk rumah sakit lagi?” Meta geram, seolah ingin menerkam gadis di sampingnya hidup-hidup. Sekali lagi Zia menghela nafas. Ah benar, ia melakukan hal ini adalah untuk sang Ayah. Bukankah Zia sudah berjanji akan berbakti pada Ayah meski harus melakukan hal ini? Menggeleng, Zia kembali menunduk pasrah. Samar-samar terdengar suara seorang laki-laki yang dengan lantang mengucapkan janji nikah itu, diiringi sahutan oleh orang-orang yang ada di luar sana. Suara-suara itu otomatis menjadikan Zia istri sahnya mulai detik itu juga. Kedua sahabatnya tersenyum. Sesuai apa yang diarahkan, mereka menuntun Zia keluar menemui suaminya. Setelah cukup lama terkurung di ruangan akhirnya Zia bisa melihat wajah-wajah yang ia kenal. Kak Satria dan Mbak Intan, Mas Bimo dan Kak Veli, tidak lupa keponakannya yang menggemaskan Nathan dan Naura menyambut Zia saat bergabung bersama mereka di ruang tengah rumah itu. Mereka tersenyum lebar ke arah Zia, yang Zia usahakan untuk membalasnya se-ikhlas mungkin. Setelah melewati mereka pandangan Zia jatuh pada Ayah yang kin duduk di kursi rodanya dengan kaki yang masih berbalut perban. Air mata Zia tak kuasa jatuh ketika melihat Ayah, ingin rasanya ia memeluk Ayah erat, namun dalam acara ini ia harus mendahului suaminya dulu. Imam yang sudah mengucapkan janji nikahnya beberapa menit lalu. Ragu-ragu Zia melirik wajahnya sekilas, yanh hasilnya membuat gadis itu tertegun sendiri. Apa saat lamaran beberapa minggu lalu suaminya itu setampan ini? “Ehem.” Pria itu berdeham, membuat Zia kembali menunduk salah tingkah karena ketahuan mengaguminya? Mungkin, ah entahlah. Perasaan Zia benar-benar kacau saat ini, terlalu campur aduk. Mencoba menatap suaminya sekali lagi sebelum mencium punggung tangannya, yang Zia lihat justru kedua mata pria itu yang menyipit. Apa itu? Apa-apaan tatapan pria itu? Tatapan paling menyebalkan yang baru Zia lihat seumur hidup. Tuhan... apa lagi ini?!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.1K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Turun Ranjang

read
578.8K
bc

Marriage Agreement

read
590.6K
bc

Secret Marriage

read
942.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook