bc

Warm Heart

book_age16+
770
FOLLOW
2.8K
READ
possessive
goodgirl
dare to love and hate
drama
sweet
childhood crush
friendship
rejected
classmates
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Andre tidak menyangka bahwa ia akan bertemu kembali dengan Clara. Sahabat yang telah meninggalkannya selama lima tahun. Lebih mengejutkan lagi orang tuanya mengikat mereka dalam pertunangan. Namun semuanya telah terlambat. Andre bersikap dingin terhadap Clara. Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun yang lalu? Masih adakah ruang di hati Andre untuk Clara? Bagaimana dengan pertunangannya?

(Sequel Beside You)

chap-preview
Free preview
Part 1
Love is friendship that has caught fire. It is quiet understanding, mutual confidence, sharing and forgiving. It is loyalty through good and bad times. It settles for less than perfection and makes allowances forhuman weaknesses. Ann Landers ________________________________________ Mencintai seseorang tidak harus berada di sampingnya. Namun dengan melihatnya tersenyum dari jauh saja sudah cukup mengekspresikan seberapa besar cintamu. Karena jika memang dia milikmu sebesar apapun badai yang menghadang pada akhirnya ia akan berada dalam pelukanmu yang hangat. Tidak peduli apapun. Seberapa besar rintangannya. Dia akan berusaha melewati semua itu demi kamu. Yang dicintainya. Karena cinta memang membutuhkan perjuangan. *** Setelah lima tahun, tidak pernah terpikirkan sekali pun bahwa ia akan kembali ke tanah airnya lagi. Sebab sejak awal ia sudah memutuskan untuk menetap di sebuah negara yang terkenal dengan patung singanya, Singapore. Di sana ia telah memiliki pekerjaan yang layak dan sesuai dengan bidangnya. Namun telepon dari Maminya mampu membuat keputusannya berubah hanya dalam hitungan satu hari. Walaupun ia tahu bahwa dengan kembali ke kota ini sama saja dengan harus menghadapi seseorang yang paling ia rindukan. Clara menatap pemandangan di luar jendela kaca taksi. Tak banyak yang berubah dari ibukota yang telah ia tinggalkan selama lima tahun. Hanya gedung-gedung pencakar langit yang semakin bertambah jumlahnya. Tapi, kemacetan dan panasnya ibukota tidak berubah seakan-akan tetap ingin menjadi ciri-ciri kota Jakarta. Clara turun dari sebuah taksi berwarna biru, membuka pintu pagar dan dengan langkah yang sedikit lebar ia berjalan menuju pintu utama rumah yang besar itu. Clara memencet bel rumahnya sendiri. Hari ini ia bermaksud memberikan surprise untuk kedua orang tuanya mengenai kepulangannya yang sengaja tidak ia beritahukan kepada mami dan papinya. Ia menunggu sekitar lima menit hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu rumah secara perlahan. Wanita itu mendongakkan kepalanya, hendak melihat siapa gerangan tamu yang baru saja memencet bel rumah majikannya. Ketika ia melihat seorang gadis cantik berambut panjang terurai berdiri tegak di hadapannya. Sebuah senyuman tercetak di wajah gadis itu sehingga pipi kanannya yang dihiasi lesung pipi tercetak jelas pada wajahnya. Ibu Harti, nama wanita paruh baya itu menatap penampilan gadis di hadapannya yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans yang sudah sobek pada bagian pahanya sehingga memperlihatkan pahanya yang tampak putih. Namun di mata Ibu Harti, gadis yang sudah bisa dikatakan sebagai wanita dewasa ini tetaplah gadis kecil yang dulu selalu ditimang-timangnya. "Non Clara?" tanya Ibu Harti dengan kerutan di dahinya. "Iya bu. Ini saya Clara," jawab Clara. "Astaga non!" Ibu Harti memandang anak asuhnya dengan pandangan tak percaya. "Sudah lama sekali. Non juga beda banget. Tambah cantik! Ayo masuk!" Ibu Harti memiringkan tubuhnya memberi jalan agar Clara bisa masuk ke dalam rumahnya. "Ibu bisa aja. Dari dulu aku gini-gini aja kok, bu. Tidak berubah. Mami dan papi mana, bu?" Mereka mulai memasuki ruang keluarga rumah tersebut. "Ada di dalam. Ibu ada di dapur dan tuan ada di ruang kerjanya." "Okay. Terima kasih bu, aku akan melihat mami dan papi dulu." "Iya non. Ini kopernya mau di bawa ke kamar non aja?" Clara mengangguk. "Bawa langsung ke kamar aku aja bu. Itu juga kalau aku masih punya kamar di sini," canda Clara. Bu Harti tersenyum kecil. Tentu saja kamar Clara masih seperti dulu. Sejak kepindahan Clara, walaupun pemilik kamar itu tidak berada di rumah ini tapi majikannya tetap merawat kamar itu seperti ketika pemilik kamar tersebut masih tinggal di situ. Clara sudah melangkah mendekati dapur. Bagaimana ia bisa tahu letak dapur? Karena rumah ini tidak berubah selama ia tinggalkan dalam lima tahun terakhir ini. Clara dapat melihat Mami yang terlihat sibuk mengintip oven-nya. Beliau sedang berdiri membelakangi Clara dengan mengenakan apron. Clara tahu hal itu karena ia melihat tali apron yang terikat di pinggang dan leher maminya dari belakang. Perlahan ia menghampiri maminya dan langsung memeluk maminya dari belakang. Membuat Inge sedikit melompat terkejut sembari memegangi dadanya. "Astaga! Clara!" Inge membalikkan tubuhnya dan memandang puteri semata wayangnya yang sedang berdiri di hadapannya. Ada rasa harus di dalam dadanya saat ia melihat puterinya telah kembali. "Kamu mau membuat jantung mami copot!?" omelnya yang hanya dibalas dengan tawa Clara namun beliau langsung memeluk puteri satu-satunya. "Kenapa kamu tidak mengabari mami kalau kamu akan pulang hari ini?" "Sorry ya mi, Ara nggak sengaja. Tujuannya sih mau kasih mami kejutan. Tapi berhasil juga." Clara tertawa kecil. Ia membalas pelukan maminya. Ia rindu wangi tubuh khas milik ibunya. Senang rasanya dapat kembali ke rumah sendiri setelah sekian lama. "Dasar kamu! Sudah ketemu papi belum?" Clara menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kamu temui papimu sana. Mami mau angkat kue mami. Tapi ingat jangan mengagetkan papi kamu. Bisa-bisa kena serangan jantung papi kamu." Papi memang ada riwayat sakit jantung tapi masih dalam kondisi ringan. Tidak parah tapi tetap saja yang namanya sakit jantung itu, si penderita tidak boleh kaget dalam hal sekecil apapun karena sangat berbahaya. Clara setuju dan langsung pamit dari maminya. Ia berjalan menuju ruang kerja papinya yang berada di sudut rumah ini. Clara mengetuk pintu ruangan kerja papinya. "Masuk," jawab suara berat dari dalam. Clara memegang handle pintu dan mendorongnya perlahan. Ia dapat melihat sosok ayahnya yang terlihat berbeda dari lima tahun yang lalu karena rambut putihnya mulai mengalahkan rambut hitamnya. Akan tetapi sosok ayahnya akan tetap gagah di dalam mata Clara selamanya. "Papi..." Hendra yang sejak tadi sibuk dengan dokumen-dokumen di atas meja akhirnya mengangkat kepalanya setelah mendengar panggilan tersebut. Beliau menatap putri semata wayangnya dengan tatapan terkejut sekaligus rindu. "Clara!" Clara langsung berlari kecil memeluk tubuh papi-nya. Tangan kokoh yang selalu menggendong dan melindunginya ketika ia masih kecil melingkar di punggungnya. Mengusap pelan punggungnya. "Kenapa kamu tidak memberitahu papi bahwa kamu akan pulang hari ini? Papi akan langsung membatalkan semua meeting papi hari ini. Juga meninggalkan dokumen-dokumen itu," Clara melirik dokumen yang tergeletak di meja kerja papinya. "Ara sudah besar, pi. Tidak perlu menyusahkan papi dan mami lagi. Lagi pula ada taksi jadi buat apa ada taksi jika tidak dipergunakan." Hendra tergelak. "Dasar anak papi satu ini selalu ada saja alasannya." "Anak siapa dulu dong, pi," Clara mengedipkan sebelah matanya. "Ayo kita keluar. Mamimu juga pasti masih rindu padamu," ajak Hendra dan menggiring putri kesayangannya menghampiri istrinya yang berada di dapur untuk berkumpul bersama. Melepaskan rasa rindu yang selama ini berada di dalam hati mereka masing-masing. *** Andre bersandar pada kursi kerjanya. Ia memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut sejak tadi. Masih dapat diingatnya dengan jelas kemarahan salah satu kliennya. Dan mau tidak mau Andre harus memulai pekerjaannya lagi dari nol. Tangannya meraih kunci mobil yang tergeletak di meja, lalu ia mematikan laptop, dan bangkit meraih tas kerjanya keluar menuju parkiran. Setibanya di rumah, Riri, mamanya menyambut putera sulungnya dengan senyum yang mampu membuat Andre merasa lebih baik. Melihat senyum mamanya telah menjadi obat mujarab ketika ia sedang dilanda masalah. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Riri ketika ia melihat puteranya yang terlihat lebih fresh karena baru saja selesai membersihkan diri. Andre mengambil tempat duduk di samping mamanya saat mereka berada di ruang keluarga. "Ada masalah sedikit, ma. Tapi masih bisa aku handle kok," sahut Andre menyandarkan punggungnya yang terasa pegal pada sofa yang empuk. Sebab, ia tidak ingin membuat mamanya khawatir. Andre yang lulusan Arsitek, baru beberapa bulan ini membuka kantor kecil bagi siapa saja yang ingin menggunakan jasanya sebagai arsitek. Memang tidak mudah untuk seorang arsitek yang fresh graduate seperti dirinya. Namun tekad dan sifarnya yanga tidak pantang menyerah membuahkan hasil. Berawal dengan memberikan proposal pada beberapa developer. Berharap akan ada salah satu dari mereka yang berniat memilih dirinya sebagai arsitek mereka kelak. Dan setidaknya hingga saat ini sudah ada beberapa individu yang tertarik memakai jasanya. Salah satu kliennya saat ini adalah Bu Marini, seorang wanita paruh baya yang hendak mendirikan sebuah rumah baru untuk ditinggalinya kelak. Beliau datang siang ini dengan penuh amarah. Siapa saja dapat berlari ketakutan melihat ekspresi marah pada wajahnya yang dilapisi dengan make up tebal. Bu Marini datang karena ia ingin melakukan sedikit perubahan pada beberapa bentuk rumah barunya yang sedang dalam proses pembangunan. Namun salah satu staff Andre, Jo, telah membuat kesalahan sejak awal dalam mendengar penjelasan Bu Martini ketika beliau pertama kali menggambarkan ciri-ciri rumah idamannya. Ditambah beberapa hal yang telah diganti oleh Bu Marini siang tadi. Sehingga design rumah Bu Marini yang telah Andre buat dengan susah payah harus ia buat ulang lagi dari awal. Dan ini cukup membuat Andre merasa kesal dan lelah. Riri dapat mendengar dengan jelas helaan nafas Andre yang berat. "Mama yakin kamu sudah bekerja dengan baik, Dre. Namun jika ada masalah jangan kamu tanggung sendiri. Lebih baik bicarakan dengan papamu. Walaupun papamu bukan lulusan arsitek setidaknya dua kepala lebih baik dari pada satu kepala." Andre menarik sudut bibirnya dan mengangguk. Riri meraih jemari Andre dan mengenggamnya. Ia memberikan beberapa tepukan pelan yang hangat dipunggung tangan puteranya. Seolah ikut menyalurkan tenaganya untuk anaknya itu. Kelembutan seorang ibu selalu dapat menenangkan hati anaknya. "Ansel mana, ma?" Andre menanyakan keberadaan adiknya. Karena sejak tadi ia tiba di rumah ini ia tidak melihat batang hidung adiknya. "Ansel sudah bilang sama mama kalau malam ini ia menginap di rumah temannya. Mau mengerjakan tugas bersama katanya." Ansel masih duduk di bangku kuliah semester awal. Ia adalah seorang adik yang gemar belajar. Dengan nilai ipk-nya yang patut dibanggakan. Ia juga mengambil jurusan design dan bercita-cita ingin menjadi arsitek yang mampu mengalahkan kakaknya. "Belajar bersama teman atau belajar mendekati teman perempuan?" "Hush.. namanya juga abege. Mama sih maklumin adik kamu asal ia masih di dalam batas-batas normal. Lagian juga dia sudah janji sama mama nggak akan macam-macam. Kamu kaya nggak pernah ngerasain jadi abege aja? Terus kok mama malahan merasa kamu jadi terdengar seperti om-om ya?" ledek Riri. Andre memutar kedua bola matanya mendengar candaan mamanya tapi mau tidak mau ia tertawa mendengarnya. "Aku belum setua itu, ma." Riri tersenyum saat melihat Andre sudah mulai rileks. "Ayo kita makan malam. Papamu sudah menelepon mama tadi kalau dia pulang terlambat dan menyuruh kita tidak usah menunggunya," ajak Riri yang disetujui oleh Andre. Ia pun bangkit dari duduknya disusul oleh Andre. "Oh iya, hari Sabtu nanti mama minta kamu untuk mengambil libur, bisa? Lagipula Jo bisakan meng-handle pekerjaanmu sehari saja?" tanya Riri disela-sela kegiatan makan malamnya. "Memangnya ada apa, ma?" "Mama dan papa mengundang pertemuan kecil-kecilan dengab keluarga teman lama mama dan papamu. Mereka juga akan mengajak anak mereka. Rasanya tidak enak kalau salah satu anak mama absen dari acara ini. Kesannya tidak menghormati mereka. Kamu mau, ya? Sehari aja kok," bujuk Riri. Andre terlihat berpikir sejenak. "Okay. Aku coba bicarakan dengan Jo dulu. Tapi aku nggak janji ya, ma." Riri mengangguk pasrah. "Thank you, sayang." Yang di jawab dengan senyum di bibir Andre. Andre tidak tahu jika pertemuan itu akan membuat hidupnya sedikit berwarna. Entah akan menjadi berwarna gelap atau terang. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook