bc

Air mata Nisa (Indonesia)

book_age4+
5.8K
FOLLOW
50.8K
READ
one-night stand
arrogant
goodgirl
drama
tragedy
bxg
others
like
intro-logo
Blurb

Note : MENGANDUNG UNSUR DEWASA.

Demi membalas budi keluarga sang Paman, Nisa menerima tawaran Paman Ahmad untuk bekerja di Jakarta. Tapi siapa sangka pekerjaan yang ditawarkan ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Paman Ahmad justru menjualnya pada seorang mucikari yang mengharuskannya bekerja sebagai wanita penghibur di sebuah klub malam. Hingga takdir mempertemukannya dengan Adit, laki-laki yang telah merenggut kesuciannya dan menolongnya keluar dari tempat terkutuk itu.

Adit yang merasa tertantang mendengar ucapan sahabatnya menerima tawaran seorang mucikari untuk menghabiskan malam bersama salah satu wanita penghibur di sebuah klub malam. Tak disangka pertemuannya dengan Nisa membuat ia lepas kendali dan melanggar prinsip yang telah lama dibuatnya. Hingga sebuah keputusan paling gila di dalam hidupnya dilakukan Adit agar bisa terus bersama Nisa.

Bagaimanakah kehidupan Nisa setelah keluar dari klub malam? Akankah ia menuruti permintaan Adit yang ingin menikahinya? Dapatkah ia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya atau justru penderitaan yang akan selalu diterimanya? Apapun itu Nisa berusaha menjalani takdirnya dengan ikhlas walaupun air mata tak pernah lepas mengiringi perjalanan hidupnya.

Cover by Canva

chap-preview
Free preview
BAB 1
Annisa Salsabila atau biasa dipanggil Nisa adalah seorang gadis sederhana yang berasal dari Bandung. Semenjak usia 17 tahun dia sudah menjadi anak yatim piatu. Kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan bus yang membawa mereka ke kampung halaman Ibunya di Semarang. Nisa sangat terpukul dan bersedih karena kehilangan kedua orangtuanya secara mendadak. Beruntung dia masih memiliki Paman dan Bibi yang tinggal di Bandung. Sejak saat itu, Nisa tinggal bersama keluarga Pamannya. Paman Ahmad merupakan adik dari Ibunya. Dia memiliki 2 orang anak. Anak pertamanya bernama Arya, usianya 15 tahun dan sekarang bersekolah di kelas 3 SMP. Sementara adiknya bernama Selfi berusia 8 tahun masih duduk di bangku kelas 3 SD. Keluarga Paman Ahmad bukanlah keluarga yang berada. Paman Ahmad bekerja sebagai kuli bangunan sementara Bibi Ratna membuka toko kelontong di depan rumah. Kehidupan mereka yang cukup sulit menjadi semakin sulit semenjak Nisa tinggal bersama mereka. Nisa yang tak ingin terus menerus merepotkan keluarga Pamannya memilih bekerja serabutan sepulang sekolah. Terkadang dia menjadi kuli panggul di pasar atau buruh cuci dan setrika di rumah tetangganya. Semua Nisa lakukan supaya ia bisa lulus sekolah dan mendapatkan ijazah SMA. Nisa berharap setelah lulus SMA dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak supaya bisa menghidupi dirinya sendiri dan membantu keluarga Pamannya. “Kamu sekarang sudah memiliki ijazah SMA, Nis. Apa kamu nggak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi?” tanya Paman Ahmad pada suatu malam. Nisa yang sedang menemani Selfi belajar di ruang keluarga menunduk mendengar ucapan Pamannya. “Cari pekerjaan saat ini susah, Paman. Aku bersyukur bisa bekerja di supermarket walau hanya sebagai pelayan toko,” ucap Nisa pada Pamannya. Nisa berhasil menyelesaikan sekolahnya dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Setelah lulus SMA, Nisa bekerja sebagai pelayan toko di sebuah supermarket dekat rumahnya. Gajinya memang sedikit tapi masih bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari dan membantu keuangan keluarga Pamannya.  “Tapi gaji kamu nggak cukup untuk membayar sekolah Arya dan Selfi. Kamu tahu kan tahun ini Arya akan masuk SMA. Butuh uang yang banyak untuk biaya pendaftaran dan keperluan lainnya,” timpal Paman Ahmad. Sudah satu tahun belakangan ini Paman Ahmad berhenti bekerja sebagai kuli bangunan. Pemasukan keluarga ini hanya berasal dari keuntungan toko kelontong bibi Ratna dan gaji Nisa sebagai pelayan toko. Nisa tak tahu alasan sang paman memilih berhenti bekerja. Tapi semenjak Pamannya berhenti bekerja, uang sekolah Arya dan Selfi menjadi tanggung jawab Nisa. Tahun ini Arya akan mendaftar sekolah SMA. Nisa sudah mempunyai tabungan untuk membayar biaya pendaftarannya, tapi tetap saja uang itu masih belum cukup bagi Pamannya. Menurut Paman Ahmad uang yang dibutuhkan Arya tidak hanya untuk mendaftar sekolah saja, tapi juga untuk membeli seragam sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya. “Bagaimana kalau kamu bekerja di Jakarta saja? Paman punya kenalan teman yang bekerja di sana,” usul Paman Ahmad, menatap intens keponakannya. Nisa sudah tumbuh menjadi gadis dewasa sekarang. Walau penampilannya cukup sederhana tapi tak mengurangi kecantikan di wajahnya. Temannya mengatakan Nisa bisa menjadi ladang uang baginya jika ia membawanya ke Jakarta. Paman Ahmad sudah lama memikirkan hal ini. Dan menurutnya ini saat yang tepat untuk membawa Nisa ke Jakarta. Selain bisa membiayai sekolah kedua anaknya, uang itu juga bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang semakin hari semakin banyak. “Memang teman Paman bekerja sebagai apa di Jakarta?” tanya Nisa, penasaran. “Dia bekerja sebagai pelayan juga, tapi bukan pelayan supermarket sepertimu dan yang pasti dia dibayar dengan gaji yang banyak,” terang Paman Ahmad.  Temannya sudah mengatakan jenis pekerjaan apa yang akan dilakukan Nisa di Jakarta dan keuntungan yang bisa didapatkannya nanti, tapi dia tidak akan menjelaskannya pada Nisa karena Paman Ahmad tak mau Nisa menolak tawarannya. “Paman akan memberimu waktu selama 3 hari. Kamu bisa memikirkan tawaran ini, tapi Paman harap keputusanmu tidak mengecewakan Paman. Sudah saatnya kamu membalas budi pada keluarga Paman,” ujar Paman Ahmad kemudian berjalan pergi meninggalkan Nisa dan Selfi di ruang keluarga. Nisa tampak memikirkan perkataan Pamannya. Apa benar seorang pelayan di Jakarta mendapatkan gaji yang cukup besar? Nisa merasa ragu akan hal itu. Hatinya menolak untuk menerima tawaran itu, tapi seperti yang dikatakan Pamannya, Nisa tidak ingin mengecewakan Paman Ahmad. Keluarga Pamannya sudah merawat dan membiayai hidupnya semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia.   oOo   Batas waktu yang diminta Pamannya berakhir hari ini. Nisa sudah memikirkan matang-matang keputusan yang akan diambilnya. Dia menemui Paman Ahmad yang berada di ruang tamu untuk memberitahu keputusannya. “Jadi kamu sudah mengambil keputusan?” tanya Paman Ahmad saat Nisa duduk di hadapannya. Nisa mengangguk mengiyakan. “Iya, Paman. Nisa sudah membuat keputusan,” jawabnya menatap sang Paman. “Baguslah kalau begitu. Apa keputusanmu?” tanya Paman Ahmad tak sabar. Dia sangat berharap Nisa menerima tawaran itu. “Nisa... Nisa menerima tawaran Paman untuk bekerja di Jakarta,” ucap Nisa dengan suara pelan. Senyum Paman Ahmad terukir lebar di wajahnya. Dia senang akhirnya Nisa menerima tawaran itu. Sebentar lagi kehidupannya dan keluarganya akan berubah menjadi lebih baik lagi. “Paman senang kamu menerima tawaran itu. Paman akan segera memberitahu teman Paman tentang keputusanmu ini,” ujar Paman Ahmad. “Sebaiknya kamu mulai bersiap-siap untuk keberangkatanmu ke Jakarta. Paman sendiri yang akan mengantarmu ke sana,” tambahnya kemudian. “Baik, Paman,” sahut Nisa, beranjak kembali ke kamarnya. Rumah peninggalan orangtua Nisa sudah dijual Paman Ahmad untuk membiayai sekolahnya dulu. Kini Nisa menempati salah satu kamar di rumah Pamannya. Kamar berukuran kecil ini hanya berisi ranjang tidur, lemari kecil dan meja belajar di pojok ruangan. Nisa tidak memiliki banyak barang di kamar ini. Satu-satunya barang berharga yang dimilikinya adalah pigura foto dirinya bersama kedua orangtuanya. Foto itu diambil saat Nisa berusia 14 tahun. Saat itu dia bersama kedua orangtuanya pergi berlibur ke Lembang, Bandung. Nisa mengambil figura foto itu dan menatapnya lama. “Keputusan Nisa udah benar, kan, Yah, Bu? Hati Nisa masih ragu, tapi Nisa tak bisa menolak tawaran Paman Ahmad. Nisa ingin membalas budi keluarga Paman Ahmad yang telah merawat dan menampung Nisa semenjak Ayah dan Ibu pergi,” kata Nisa mengungkapkan isi hatinya. Sebenarnya Nisa masih ragu dengan pekerjaan yang ditawarkan Paman Ahmad. Entah kenapa hatinya tak tenang sejak mendengar tawaran pekerjaan itu. Dia masih belum percaya bahwa seorang pelayan yang bekerja di Jakarta bisa mendapatkan gaji yang cukup besar.   oOo   Seminggu kemudian Nisa dan Paman Ahmad berangkat ke Jakarta. Nisa sudah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja beberapa hari yang lalu. Teman-teman Nisa sangat terkejut mendengar keputusannya. Mereka sudah nyaman bekerja bersama Nisa, namun mereka juga tak bisa menghalangi Nisa bila gadis itu sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. “Kami pasti merindukanmu, Nis, jangan pernah lupakan kami yah,” kata Silvi saat Nisa berpamitan kepadanya. “Insya Allah aku nggak akan melupakan kalian,” jawab Nisa sambil memeluk Silvi. “Kamu harus sering-sering telepon aku kalau sudah di Jakarta,” ucap Rini, berganti memeluk Nisa. “Insya Allah, Rin,” sahut Nisa. Nisa merasa sedih harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti saudara baginya. Tapi dia mencoba menutupi kesedihan itu dari mereka semua. Nisa masih bisa bertemu dengan mereka saat nanti ia pulang ke Bandung. “Kamu udah siap, Nis?” tanya Paman Ahmad, membuyarkan lamunan Nisa tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Nisa menghapus air mata yang membasahi wajahnya sebelum menatap Paman Ahmad. “Sudah, Paman,” jawabnya singkat. "Ya sudah kita berangkat sekarang. Paman tunggu di depan," ucap Paman Ahmad, berjalan meninggalkan kamar Nisa. Nisa segera mengambil sebuah tas besar berisi baju-baju dan perlengkapan lainnya. Dia kemudian memakai tas selempang kecil yang berisi dompet dan handphone miliknya. Tak banyak barang-barang yang dibawa Nisa. Dia akan membeli barang-barang kebutuhan lainnya saat tiba di Jakarta nanti. Nisa berpamitan pada keluarga Paman Ahmad yang sudah menunggunya di teras rumah. Dia mencium tangan Bibi Ratna dan memeluknya. “Makasih sudah menampung dan merawat Nisa selama ini, bi,” kata Nisa menitikkan air matanya. Walau interaksinya dengan bibi Ratna tidak terlalu intens, tapi Nisa menyayanginya dan sudah menganggap Bibi Ratna sebagai pengganti Ibunya. “Iya, kamu jaga diri baik-baik selama di sana ya,” pesan bibi Ratna. Sebenarnya bibi Ratna merasa berat melepaskan keponakannya untuk pergi ke Jakarta, apalagi saat mengetahui pekerjaan apa yang akan dilakukan Nisa di sana dari sang suami. Bibi Ratna tak tega mengorbankan gadis sebaik Nisa demi keluarganya. Tapi dia tak bisa menentang keputusan yang telah dibuat suaminya. “Iya, bi,” sahut Nisa. Dia kemudian beralih menatap Arya dan menjabat tangannya. “Teteh berangkat, Ar. Selama teteh nggak ada kamu harus menjaga adikmu dengan baik,” ujar Nisa pada Arya. “Iya. Teteh hati-hati di sana ya,” pesan Arya. Nisa mengangguk mengiyakan. Dia kemudian memeluk Selfi yang sudah menangis sejak tadi. “Sudah ya jangan nangis lagi. Nanti kalau teteh libur, teteh janji akan pulang ke Bandung,” kata Nisa menghapus jejak air mata di wajah Selfi. Diantara kedua anak Paman Ahmad, Nisa paling dekat dengan Selfi. Dia biasa menemani Selfi bermain dan belajar saat di rumah. Mereka juga sering pergi berdua untuk jalan-jalan di taman ataupun membeli jajanan. “Aku sayang teteh,” ucap Selfi, menangis sesenggukan. Dia merasa sedih harus berpisah dengan kakak sepupu kesayangannya. “Teteh juga sayang Selfi,” kata Nisa yang ikut meneteskan air matanya. Nisa pasti akan sangat merindukan sepupu kecil nan menggemaskannya ini yang selalu bersikap manja saat bersama dirinya. “Walau teteh nggak ada, kamu harus tetap rajin belajar ya. Jadi anak yang pintar supaya Selfi bisa membanggakan Ibu dan Bapak,” kata Nisa, melepaskan pelukannya dan kembali menghapus air mata di wajah Selfi. “Iya, teh,” sahut Selfi mengganggukkan kepalanya. Nisa tersenyum menatap Selfi yang selalu menuruti ucapannya. Dia berharap kelak Selfi bisa menjadi gadis yang pintar dan dapat meraih cita-citanya. Nisa akan berjuang untuk membantu Selfi mewujudkan impiannya. Nisa memeluk Selfi sekali lagi sebelum mengikuti langkah Paman Ahmad menuju mobil travel yang sudah menjemput mereka di depan rumah. Ada rasa sedih harus meninggalkan kampung halaman tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Terlalu banyak kenangan indah dan pahit yang menghiasi perjalanan hidup Nisa sejak ia kecil hingga dewasa saat ini. Kenangannya bersama kedua orangtuanya saat mereka masih hidup juga ada di kota ini. Nisa pasti akan sangat merindukan kampung halamannya. Dia tak tahu kapan bisa kembali lagi ke tempat ini. “Sudah jangan menangis lagi. Kamu masih bisa pulang ke sini saat libur kerja nanti,” kata Paman Ahmad yang melihat Nisa masih meneteskan air matanya selama perjalanan ke Jakarta. Nisa hanya mengangguk menjawab ucapan Pamannya. Dia menghapus air mata di wajahnya menggunakan saputangan yang dibawanya. Hatinya terasa berat harus meninggalkan kampung halaman dan orang-orang yang disayanginya.   oOo   Nisa dan Paman Ahmad sampai di Jakarta pada malam hari. Nisa mengernyitkan dahi menatap bangunan tempat mereka turun dari mobil travel tadi. “Paman yakin kita turun di sini?” tanya Nisa memperhatikan keadaan disekitarnya. Sepanjang mata memandang Nisa hanya melihat ruko-ruko yang telah tutup dan bangunan-bangunan berupa toko maupun rumah makan. Dan di tempatnya berdiri saat ini terdapat bangunan bertuliskan ‘STAR NIGHT’ yang tertempel pada dinding di atasnya. Suasana di dalam sangat ramai terlihat dari gemerlapnya lampu dan suara musik yang masih didengar Nisa dari luar sini. “Iya, ayo kita masuk kedalam,” ajak Paman Ahmad, membawa tas milik Nisa dalam dekapannya. Nisa mengikuti langkah Paman Ahmad dengan ragu. Hatinya mulai menebak-nebak apa yang akan mereka lakukan di tempat ini. Dia semakin penasaran dan was-was saat melihat beberapa orang keluar dari dalam bangunan seakan menanti kedatangan mereka. “Akhirnya kamu datang juga. Kupikir kalian tidak jadi datang ke sini,” kata seorang pria bertubuh kekar yang berdiri paling depan. Dia menyambut Paman Ahmad dan menjabat tangannya. Dua orang pria bertubuh kekar lainnya berdiri di belakangnya. Nisa menduga dua orang itu merupakan pengawalnya. “Maaf kami sedikit terlambat,” kata Paman Ahmad dengan nada minta maaf. “Kenalkan ini keponakan saya, namanya Nisa,” lanjutnya memperkenalkan Nisa yang berdiri di belakangnya. Nisa menjabat tangan pria itu dan menyebutkan namanya, “Nisa,” ucapnya memperkenalkan diri dengan suara pelan. Tangannya terasa dingin saat bersentuhan dengan telapan tangan yang besar dan kasar milik pria bertubuh kekar itu. “Ronald,” ujar pria bertubuh kekar itu menyebutkan namanya. Nisa menundukkan pandangannya saat merasakan tatapan intens dari pria bernama Ronald itu. Dia merasa risih melihat tatapan mata Ronald yang seakan menelanjangi dirinya. “Jadi dia yang akan bekerja di sini?” tanya Ronald masih mengamati Nisa dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan intens. “Lumayan cantik, tubuhnya juga nampak mulus,” lanjutnya memberi penilaian. “Iya. Dia yang akan bekerja di sini,” sahut Paman Ahmad. DEG. Jantung Nisa seakan terlepas dari rongganya saat mendengar ucapan Paman Ahmad barusan. Dia mungkin tak pernah pergi ke tempat seperti ini sebelumnya, tapi Nisa tahu tempat apa yang sedang di datanginya bersama Paman Ahmad saat ini. “Pa-paman bercanda, kan? Nisa nggak mau be-bekerja di tempat seperti ini,” kata Nisa tergagap, menolak ucapan Pamannya. Tak pernah terlintas dalam benak Nisa sebelumnya bahwa dia akan menjadi pelayan di tempat seperti ini. “Bukankah kamu sudah setuju untuk bekerja di Jakarta? Sekarang kamu nggak bisa menolaknya, Nis,” kata Paman Ahmad menatap Nisa dengan garang. “Aku memang setuju untuk bekerja di Jakarta, Paman, tapi bukan di tempat seperti ini,” tolak Nisa, menggelengkan kepala tak setuju. Jika sejak awal Nisa tahu akan bekerja di klub malam, dia akan menolak tawaran Pamannya mentah-mentah. Nisa tak mau bekerja di tempat yang penuh dengan maksiat seperti ini. Tak ada yang menjamin keselamatan dirinya saat bekerja di sini. Nisa tidak ingin menjadi korban kemaksiatan pria-p****************g yang berada di dalam sana. “Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba menolak bekerja di sini? Apa kamu belum menjelaskan kepadanya pekerjaan apa yang akan dilakukannya di sini?” tanya Ronald yang sejak tadi memperhatikan perdebatan mereka. “Saya sudah mengatakan padanya bahwa dia akan bekerja sebagai pelayan di sini,” jawab Paman Ahmad menatap Ronald. “Tidak, Paman hanya mengatakan Nisa akan bekerja sebagai pelayan, tapi tidak mengatakan tempatnya di  sini,” kata Nisa menyanggah ucapan Pamannya. “Apa bedanya bekerja di sini dan di tempat lain? Bukankah kamu sama-sama menjadi pelayan?” tuntut Paman Ahmad menatap tajam keponakannya. “Tentu saja berbeda, Paman. Tempat ini penuh dengan kemaksiatan. Nisa nggak mau menjadi salah satu bagian di dalamnya walaupun hanya untuk bekerja,” ujar Nisa tegas. Lebih baik Nisa bekerja di tempat kerjanya yang lama dengan gaji yang sedikit daripada harus bekerja di klub malam seperti ini dengan gaji yang besar. “Tapi kamu sudah setuju dan kamu nggak bisa mundur dari sini sekarang, Nisa,” ujar Paman Ahmad. “Kenapa nggak bisa? Nisa bahkan belum menandatangani kontrak kerja di sini,” sanggah Nisa. “Karena Paman kamu sudah menerima uang dari saya dan sebagai gantinya kamu harus bekerja di tempat ini,” ujar Ronald menyela pembicaraan antara Paman dan keponakannya. “A-apa??? Paman!!” Nisa sangat terkejut mendengar penjelasan Ronald barusan. Nisa menatap Paman Ahmad tak percaya. Sosok pria paruh baya yang ia anggap sebagai ayahnya sendiri ternyata tega menjerumuskannya ke tempat maksiat seperti ini. “Kamu sudah mendengar penjelasan Tuan Ronald, Nisa. Jadi kamu nggak bisa menolaknya karena Paman sudah menggunakan uang itu untuk keperluan sekolah Arya dan Selfi serta kebutuhan kita sehari-hari,” jelas Paman Ahmad tanpa rasa bersalah sama sekali. “Mulai sekarang kamu harus bekerja pada Tuan Ronald dan menuruti semua perintahnya.” Nisa terdiam. Lidahnya terasa kelu mendengar ucapan Paman Ahmad barusan. Hati Nisa remuk redam menyadari Pamannya telah menipu dirinya. Sejak awal Paman Ahmad sudah merencanakan membawa dirinya ke Jakarta untuk bekerja pada Ronald di tempat ini dengan berpura-pura menawarkannya sebuah pekerjaan sebagai pelayan dengan gaji yang cukup besar. “Jadi sekarang semuanya sudah clear, kan? Suka atau tidak suka mulai saat ini kamu harus bekerja di tempat ini,” ujar Ronald menatap Nisa tajam. “Tidak, aku nggak mau,” tolak Nisa menggelengkan kepalanya. “Sayangnya kamu nggak punya pilihan lain, manis, kecuali kamu bisa mengembalikan uang yang telah diterima Pamanmu sekarang juga,” kata Ronald dengan seringai kejamnya. “Memang berapa uang yang sudah diterima Paman?” tanya Nisa menatap Paman Ahmad. Dia mempunyai sedikit tabungan yang dibawanya ke Jakarta. Uang itu bisa Nisa gunakan untuk mengembalikan uang yang telah diterima Pamannya dari Ronald. Paman Ahmad bungkam mendengar pertanyaan Nisa. Dia yakin Nisa tak akan mampu mengembalikan uang yang telah diterimanya dari Ronald. “Seratus juta,” ucap Ronald saat melihat Paman Ahmad tak berniat menjawab pertanyaan Nisa. “Paman kamu sudah menerima uang seratus juta dari saya,” ujarnya menatap Nisa. “APPAAA? Se-seratus juta?” Nisa membelalakkan mata tak percaya. “Itu bohong kan, Paman? Paman nggak mungkin menerima uang sebanyak itu, kan?” tanya Nisa menatap Paman Ahmad, menuntut jawaban darinya. “Iya, Paman menerima uang seratus juta dari Tuan Ronald,” ujar Paman Ahmad dengan suara pelan tanpa berani menatap Nisa. “Astaghfirullah...” Nisa beristighfar sambil mengusap wajahnya gusar. Malam ini Nisa mendapatkan kejutan yang bertubi-tubi dari Pamannya. Bagaimana bisa Paman Ahmad menerima uang sebanyak itu dan dia yang harus menggantinya? Jelas Nisa tak memiliki uang sebanyak itu saat ini juga. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini tak terbendung lagi. Nisa merasa Paman Ahmad telah menjualnya pada Tuan Ronald untuk mendapatkan uang darinya. Hati Nisa hancur berkeping-keping menyadari hal ini. “Kamu nggak sanggup mengembalikan uang itu, kan?” kata Ronald mengamati perubahan ekspresi wajah Nisa. “Jadi mulai hari ini kamu harus bekerja dan melayani tamu-tamu yang berada di klub malam ini.” Ronald kemudian menatap dua orang laki-laki yang sejak tadi berdiri diam di belakangnya, “Bawa dia masuk ke dalam,” ujarnya memberi perintah. “Baik, Tuan,” kedua laki-laki itu menjawab secara bersamaan kemudian berjalan menghampiri Nisa. “Tidak, lepaskan aku!” tolak Nisa berusaha melepaskan diri dari dua pengawal Ronald yang masing-masing memegang lengan kiri dan kanannya. “Bawa dia ke ruang ganti,” kata Ronald kembali memberikan perintah. “Tidak! Aku nggak mau! Lepaskan aku!” pinta Nisa terus memberontak saat kedua pengawal itu mulai menariknya ke dalam klub malam di hadapannya. Air mata mengalir deras dari kedua mata Nisa. “Paman, tolong Nisa.” Nisa menatap Paman Ahmad yang hanya berdiri diam menatapnya. Tas besar milik Nisa yang sebelumnya berada dalam dekapan Paman Ahmad bahkan kini telah berpindah ke salah satu tangan pengawal Ronald. Seolah tak mendengar permintaan Nisa, Paman Ahmad menjabat tangan Ronald kemudian berbalik pergi meninggalkan tempat itu. “Paman, jangan pergi. Jangan tinggalkan Nisa di sini,” Nisa berteriak memanggil Pamannya. Tapi Paman Ahmad tak peduli dengan teriakan itu. Dia terus melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya. Nisa semakin histeris. Ketakutan mulai menghinggapinya saat melihat Paman Ahmad terus berjalan menjauhinya. Nisa semakin memberontak agar terlepas dari cengkraman kedua pengawal Ronald. Dia tidak mau ditinggal di tempat ini sendirian. Seakan tak terpengaruh dengan perlawanan yang dilakukan Nisa, kedua laki-laki bertubuh kekar itu terus menyeret Nisa masuk ke dalam klub malam. Mereka bahkan tidak mempedulikan tatapan mata pengunjung klub malam yang menyaksikan mereka dengan penuh minat. Teriakan dan isak tangis Nisa teredam oleh ingar bingar suara musik dan teriakan pengunjung klub malam itu. Nisa terus diseret menuju lorong yang berada di ujung ruangan. Kedua pengawal itu kemudian membawa Nisa ke salah satu ruangan yang berada di sana. Di dalam ruangan itu sudah ada dua orang wanita dengan pakaian yang sangat ketat dan bermake-up tebal. “Dandani dia,” perintah salah satu laki-laki bertubuh kekar itu. Mereka mendorong Nisa kearah dua wanita itu. Setelah mendapat anggukan dari dua wanita yang berada di ruangan itu, kedua laki-laki itu melangkah pergi meninggalkan Nisa bersama mereka. Nisa menunduk ketakutan dengan isak tangis yang masih terdengar. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan kedua wanita di hadapannya. Mereka terus menatap Nisa dengan intens sambil berjalan memutari tubuhnya. Nisa terkejut saat salah satu wanita itu berusaha melepaskan pakaiannya. “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!” kata Nisa mencoba membebaskan diri darinya. “DIAM!” bentak wanita yang berusaha melepaskan pakaiannya. Nisa tak menghiraukan bentakannya. Dia terus meronta saat satu wanita lainnya memegangi kedua tangannya hingga sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Nisa. PLAAAK. Nisa terdiam seketika. Tangannya memegang pipi kirinya yang terasa berdenyut perih. Isak tangisnya kembali terdengar. Nisa merasa dilecehkan oleh kedua wanita itu.   oOo

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sweetest Diandra

read
70.4K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.4K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

Pengganti

read
301.6K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.2K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.3K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook