bc

UNIQUE OF US

book_age4+
1.9K
FOLLOW
14.5K
READ
love after marriage
friends to lovers
pregnant
arranged marriage
billionairess
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

“Sanata, bantu gue dong. Katanya lo adalah teman terbaik gue.”

“Iya, Agnia. Gue bantu. Lo mau gue jadi pacar doang atau sampai suami?”

“Pffhh. Lo jangan bahas soal suami. Gue belum siap menikah, San.”

“Tapi, keluarga lo minta supaya lo menikah bukan? Biar nggak jadi perawan tua. Nah, yang lo butuhkan adalah laki-laki mau menjadi suami lo, Ag.”

“Emang lo siap buat jadi suami gue, San?”

“Gue siap-siap aja sih, Ag. Lo termasuk perempuan yang pas jadi istri gue.”

Agnia yang enggan dijodohkan dengan pria pilihan orangtuanya pun memutuskan meminta bantuan sang sahabat, yakni Sanata. Agnia berkeinginan menjadikan Sanata

sebagai pacar saja. Namun, Sanata tidak demikian. Ia mengajak Agnia untuk serius. Bukan sekadar menjalin kasih demi kebohongan. Sanata berniat sungguh-sungguh dengan membuktikan lewat lamaran. Ingin dijadikan Agnia sebagai pendamping hidup sampai mereka tua.

chap-preview
Free preview
01
Sanata tengah sibuk berkutat dengan laptopnya. Namun, dia merasa sedikit terusik akibat kegiatan Agnia yang tampak menunjukkan raut kegelisahan dan tidak nyaman sambil memegang handphone. Konsentrasi Sanata dalam mengerjakan tugas kantornya pun seketika buyar. "Lo bisa diam nggak? Kayak cacing kepanasan. Ganggu gue kerja aja," rungut Sanata sedikit kesal. Sebagai balasan Agnia menyuguhkan tatapan yang cukup mengerikan. "Gue lagi ada masalah," sahutnya. Berharap sang sahabat mau membantu atau memberi solusi. Namun, di luar ekspektasi, Sanata hanya 'ber-oh-ria', tanda tak tertarik dengan permasalahan yang menimpa sahabatnya. Menurut dia, percuma saja berkomentar panjang-lebar dan sok-sok'an bijak. Sanata tahu benar, kalau Agnia tak akan menggubris atau mendengar jalan keluar yang dia usulkan. Perempuan itu tetap sama dari dulu sampai sekarang, keras kepala serta suka memutuskan segala sesuatu tanpa pikir panjang, dan tentu hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada dirinya sendiri. Agnia juga mudah dimanfaatkan orang lain pula. Terkadang, Sanata harus bekerja lebih ekstra guna mengingatkan sang sahabat agar menjadi sosok yang lebih bijak lagi. Sanata lantas melirik Agnia yang tengah sibuk dengan handphone dan memasang tampang kebingungan. "Lo ada masalah apa?" Akhirnya ditanyakan, walau santai. Perempuan itu tak menyahut. Sanata menarik napas jengah. Dia menyesal telah bertanya. Tak berselang lama, Agnia melempar ponselnya ke atas sofa. Lalu, mengambil posisi tidur tengkurap di karpet bulu serta membenamkan kepalanya di bantal. "Lo kenapa sih, Ag? Obat anti stress lo habis?" canda pria itu. Sesungguhnya dialah yang 'stress' melihat tingkah sang sahabat. Agnia mendekati Sanata kemudian duduk bersila di hadapan sahabatnya itu. "Gue gedeg San, masa ada bapak-bapak yang neror gue." "Hahaha, bapak-bapak? Lo jadi incaran duda sekarang?" Sanata tak dapat menahan tawa. Sedangkan, Agnia cemberut. Baginya tidak lucu. "Lo kok ketawa? Gue lagi serius, San. Jangan buat mood gue jadi turunlah," peringatnya dengan nada yang terdengar tidak main-main atau bercanda. Sanata membekap mulutnya sendiri untuk menghindari kemurkaan Agnia yang menyeramkan. "Coba ceritain ke gue dengan jelas. Jangan setengah-setengah." Kali ini Agnia mendesis, dia sebenarnya sangat malas menceritakan hal-hal yang membawa dampak buruk bagi mood-nya, tetapi di sisi lain dia juga butuh solusi dari Sanata selaku sahabat. "Bukan bapak-bapak, sih. Beda lima tahun sama gue. Tapi, karena gue merasa mukanya tua ya gue panggil bapak-bapak. Dia orang yang rencananya bakal dijodohin sama gue, San. Orangtua gue ada-ada aja. Mana kita berdua disuruh pendekatan dulu beberapa bulan, sebelum menikah. Mimpi apa gue coba? Pendekatan aja gue ogah dengan itu bapak-bapak. Apalagi nikah! Lo bayangin dah gimana gue nggak stress kalau kayak gini!" Agnia menjelaskan permasalahan yang sedang menganggu ketenangan batinnya. Menikah merupakan target teratas yang diberikan kedua orang tuanya di tahun ini. Akan tetapi, karena tidak memiliki kekasih jadi Agnia dijodohkan dengan seorang pria yang bukan seleranya 'sekali'. Dia juga termasuk orang yang susah berkomitmen. Mustahil rasanya mengikat janji suci dalam waktu dekat. Terlebih mereka baru saling mengenal. "Gue 'kan pernah bilang ke lo kalau di keluarga besar gue ada tradisi di mana perempuan yang sudah menginjak usia 25 tahun itu kudu mulai mikirin soal pernikahan. Tapi, buat yang belum punya pendamping bakal dicariin pasangan sama keluarga besar gue. Bayangin sepupu-sepupu gue yang perempuan paling lambat nikah umur 27 tahun, itu pun berkat perjodohan. Aturannya dibuat oleh nenek dan kakek karena takut cucunya jadi perawan tua, termasuk gue. Kalau enggak diturutin masa gue diancam enggak bakal dianggap sebagai cucu lagi? Durhaka dong gue?" "Mana setiap ada pertemuan keluarga, gue pasti dapat panggilan 'perawan tua' dari sepupu-sepupu gue yang udah nikah. Secara gue nggak pernah ngenalin pacar gue ke mereka. Lah, gue emang belum punya pacar. Gimana mau ngenalin?" lanjutnya dengan nada pelan. Terkesan mendramatisir. Sanata tertawa lepas, hingga berdampak pada perutnya yang terasa sakit. Sedangkan, Agnia mendengus kesal. Dia sudah menduga jika sahabatnya akan merespon dengan tawaan yang menggelegar. "Gue pulang aja mendingan. Emosi gue dengar lo ketawa." Agnia hendak bangun, namun tangannya ditarik Sanata. Alhasil menyebabkan Agnia terduduk kembali. Sanata tidak terlalu akrab dengan keluarga Agnia, pasalnya dia sangat jarang diajak bertamu ke rumah sang sahabat. Mungkin tidak lebih dari 10 kali selama mereka menjalin persahabatan. Apalagi ketika orangtua Agnia tidak lagi menetap di Jakarta. "Sensitif amat lo! Gimana gue nggak ketawa kalau lo dibilang perawan tua sama keluarga sendiri. Kayaknya anggota keluarga besar lo pada takut aib, ya? Perawan tua! Ngakak gue." Sanata berusaha meredam tawanya supaya Agnia tak semakin marah dan tersinggung. Perempuan itu menghela napas malas. Meratapi ketidakberuntungan dalam memiliki kekasih hingga menyebabkannya harus terombang-ambing dalam 'perjodohan' yang direncanakan dengan apik oleh keluarganya. "Gue lagi unmood, San. Terserahlah lo mau ngejek gue perawan tua. Yang jelas gue nggak pengin nikah sama itu bapak-bapak. Kasih gue saran," pinta Agnia dengan wajah kusutnya. "Saran paling bagus buat menghindari gue jadi dijodohkan. Gue benar-benar nggak mau nikah sama orang itu, San. Gue nggak ada perasaan apa-apa. Gue nggak suka." "Lo bilang aja udah punya pacar, jangan dibikin rumit." Sanata memandang sang sahabat yang duduk di sebelahnya. Agnia malah mendelik dan meneloyor kepala pria itu. "Lo kira dia bakal percaya? Saran lo nggak mutu tahu! Basi!" serunya geram. Ingin sekali dia menjambak rambut Sanata. Akan tetapi, dia bukanlah tipe wanita kasar. Agnia masih memegang erat sopan santun, kecuali jika benar-benar terdesak. Pria itu mendesis. Benar juga, sarannya tadi kurang tepat. "Terus gimana? Lo mau minta gue cariin lo pacar?" Agnia membalas dengan anggukan kecil terlebih dahulu. Lalu, menjawab, "Iyalah, cariin gue pacar. Atau apa aja boleh." "Yakin? Gue udah pernah kenalin beberapa teman gue ke lo. Nah, giliran didekatin sama ditembak. Lo malah nolak dan menjauh. Kadang gue mikir lo perempuan yang nggak normal. Lo masih suka lawan jenis 'kan?" pertanyaan aneh meluncur dari mulut Sanata. Bagaimana tidak? Dia suka heran dengan Agnia yang enggan menjalin hubungan atau terikat dalam sebuah komitmen karena secara fisik perempuan itu termasuk memiliki wajah yang 'menjual'. Agnia juga termasuk perempuan polos dan baik. "Masihlah, gue normal! Gue suka sama laki-laki bukan perempuan. Kalau masalah nolak itu ya karena gue nggak sreg. Mereka bukan tipe gue soalnya," dia menegaskan. "Lagian, lo juga salah terus memilihkan pria yang dikenalin ke gue. Seriusan nggak ada beres. Selalu jauh juga dari tipe gue. Padahal lo udah gue kasih tahu berulang kali soal gimana sosok laki-laki yang bisa gue sukai." "Hahaha, tipe lo tetap cinta pertama lo yang pas SMP 'kan?" Sanata menjebak. Agnia menggeleng. Dia tidak suka masa lalu diungkit kembali karena akan menambah buruk suasana hatinya. "Yang terpenting sekarang gimana caranya gue bisa cari pria lain supaya batal sama itu bapak-bapak." Dia ingin mendapatkan jalan keluar segera. "Nggak usahlah lo bawa-bawa mantan cinta pertama gue. Nggak penting juga tahu dan nggak akan bisa menyelesaikan masalah gue sekarang." Agnia pun mempertegas kembali. Wanita itu memperhatikan Sanata dari atas sampai bawah. Sebuah ide konyol terlintas dengan cepat di benaknya. "Lo lagi nggak dekat sama perempuan manapun 'kan? Lo mau bantuin gue nggak?" Agnia mencoba mencari solusi lain untuk masalahnya. "Gue rasa lo masih jomblo aja, San. Betul?" Sanata memandang Agnia, lalu mengangguk pelan. "Iyalah, gue jomblo. Bukan berarti ya gue nggak laku. Banyak cewek mendekati, tapi gue yang belum klop dijadikan kekasih." Perempuan itu membelalakan mata tak percaya padahal dia hanya bercanda. "Boleh. Gue bakal bantu lo, Ag. Sekadar pacar apa calon suami, nih?" tanyanya santai. Namun, tersirat keseriusan yang cukup nyata juga. "Gue cuma bercanda tadi. Lupain aja. Nggak usah lo bantu gue." Agnia berubah pikiran. "Tapi, gue serius. Gue bakal bantu lo. Alasan? Nggak punya alasan khusus, yang ada di pikiran gue cuma gimana cara bantuin lo. Kayaknya gue nggak akan rugi. Toh, kita udah sahabatan lama. Maksud gue, lo tahulah sifat buruk gue. Hal yang tidak dan gue sukai. Terus kelebihan serta kekurangan masing-masing. Alasan itu cukuplah buat gue. Kita sama-sama udah dewasa juga." Sanata berpikir jika tidak ada salahnya dia membantu Agnia yang notabene sahabatnya sendiri. Konyol memang, tapi dia berniat serius karena pada dasarnya sebagai pria dan wanita dewasa, mereka akan dihadapkan dengan pernikahan entah cepat atau lambat. Tak ada salahnya memulai lebih awal, pikir Sanata. Agnia masih membulatkan mata. Gendang kedua telinganya dapat menangkap jelas kata-kata yang diucapkan sang sahabat tanpa keraguan sedikit pun itu. "Lo benar-benar serius? Mau bantuin gue sampai ke jenjang pernikahan? Otak lo lagi nggak konslet 'kan? Takutnya lo lagi nggak beres. Nanti malahan nggak jadi bantu." Sanata tertawa kecil. "Iya, gue serius. Lo kagak percaya amat. Sampai menikah? Tergantung nanti. Kalau lo nemuin pria yang tepat. Lo nikah sama dia, bukan gue. Tadi, lo bilang dikasih waktu pendekatan beberapa bulan? Siapa tahu ntar lo ketemu pria lain atau nggak cinta pertama lo yang menghilang datang lagi." Dia menjelaskan seraya menampilkan senyum menggoda. Agnia memukul wajah pria itu dengan bantal, ujung-ujungnya Sanata pasti akan membahas masa lalu. "Terus kalau misal gue nggak nemuin pria lain gimana?" tanyanya penasaran. Sanata menyahut, "Ya udah, berarti kita menikah. Daripada lo terus-terusan dijulukin perawan tua atau dijodohin, mending nikah sama gue." "Tapi, kita cuma sahabatan. Ya, enggak saling cinta gitu, Mas Bro. Emang lo mau nikah sama perempuan yang enggak lo cintai? Kalau gue sih ogah." Agnia masih berusaha menggali kepastian. Sanata berdecak gemas. Wanita itu meminta bantuan beberapa menit lalu. Namun, sekarang malah bersikap plin-plan dan ragu ketika dia telah bersedia memberi bantuan. "Menurut gue nih modal terpenting dalam membangun sebuah pernikahan bukan cuma cinta doang. Tapi, juga komitmen tinggi dan niat yang serius. Kalau lo kagak mau nikah sama gue, itu hak lo. Gue enggak maksa. Keputusan di tangan lo, Ag. Gue cuma pengin bantu." Sanata bersikap santai tak ambil pusing. Agnia berpikir kembali untuk beberapa menit. Menimbang menerima atau tidak tawaran tersebut. "Okelah, gue setuju. Eh, gue merasa kayak di novel-novel. 'Kan ada tuh yang sahabatan nikah, tapi pakai syarat. Lo mau mengajukan persyaratan juga nggak?" Dia mulai berpikiran negatif. Sanata geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang selalu dibayangi oleh dunia per-novel-an. "Bedainlah dengan kehidupan nyata. Paling syarat gue, lo harus jaga dan mempertahankan berkomitmen yang kita buat, seandainya nanti kita beneran nikah. Gue kagak suka bercanda kalau menyangkut suatu hubungan," jawab pria itu dengan ucapan dan tatapan serius. Agnia mengangguk paham. Menurut pandangan Sanata sebagai pria. Agnia pantas masuk dalam kategori calon istri yang baik dan pas untuknya. Dia juga sosok wanita dewasa yang memiliki sisi keibuan. Walau, di sisi lain ketidakpekaan Agnia membuatnya harus ekstra bersabar. Tak apa, dia dapat memaklumi sifat tersebut. Setiap manusia pasti mempunyai kekurangan masing-masing begitu juga dengan dirinya. Dia yakin mereka akan dapat saling mengerti saat sudah menikah. Semua butuh proses dan tahapan. "Anggap aja mulai sekarang kita pacaran. Kalau itu bapak-bapak ganggu lo lagi tinggal bilang lo udah punya kekasih," saran Sanata sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Agnia mengangguk untuk yang kedua kalinya. "Jadi, lo sama gue pacaran? Tapi, kok lo nggak pakai acara nembak gue dulu?" Pertanyaan aneh tersirat kebodohan yang kentara pun dilontarkan wanita itu. Sanata tertawa kencang bak mendapat lelucon yang cukup menggelitik. "Hahaha, lo mau ditembak dulu gitu sebelum pacaran? Kelihatan banget jarang ditembak laki-laki. Lo sih jadi perempuan terlalu jual mahal." Agnia meneloyor kepala sang sahabat tanpa kesengajaan sebenarnya. "Biar resmi, San. Nanti kalau gue ditanya sama sepupu atau teman-teman kapan dan gimana lo nembak, gue bisa jawab dengan pasti tanpa ada kebohongan." kata-kata berbau kebodohan meluncur indah dari mulut perempuan itu. Dengan cepat Sanata mendekatkan diri ke arah Agnia kemudian menggenggam tangan kanan sahabatnya. "Agnia Jyotika secara resmi gue pengen ngajak lo pacaran. Mengubah status kita dari sahabat menjadi sepasang kekasih. Gue emang belum cinta sama lo. Tapi, gue sayang dan yang pasti gue juga nyaman berada di dekat lo. Mari belajar saling melengkapi dan menerima kekurangan serta kelebihan yang kita miliki," Sanata berucap dengan nada lembut dan tersenyum. "Gue pengin ngakak, San. Perut gue juga mual mau muntah," balasnya tak berperasaan. Sanata menempelkan bantal ke wajah sang sahabat untuk meredam tawa sarat akan kepuasaan Agnia. "Diam lo! Puas banget berhasil ngerjain gue, ya? Awas aja nanti lo akan gue balas dengan lebih menyakitkan." "Sabar menanti, Ag. Tapi, gue nggak akan lama melancarkan aksi balasan gue ke lo, ya. Kayaknya lo akan kapok karena mengerjai gue." Sanata mempertontonkan seringaian. "Siapa bilang gue akan kapok dan jera? Nggak, ya. Cuma dalam anggan lo aja. Lagian dari tahun ke tahun gue yang lebih sering menang dibandingkan lo. Lihat nanti, lo pasti akan jatuh cinta sama gue, San."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.9K
bc

Marry Me If You Dare

read
222.8K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook