bc

Mencintai-Mu

book_age16+
2.1K
FOLLOW
13.6K
READ
goodgirl
bxg
royal
first love
spiritual
wife
like
intro-logo
Blurb

Sekuel Jodoh Sang Duda di Gerbang Pesantren.

Husna Safhia Maryam adalah putri bungsu dari pasangan Gus Fakhri dan Ning Mila (salah satu dewan dari pemilik pondok pesantren Az-Zamil di kota Malang), yang mempunyai cita-cita menjadi seorang designer muslimah profesional.

Kota Paris adalah salah satu tempat yang dia impikan sebagai tempat dia mencari ilmu ke-design-annya. Ya, dia ingin berkuliah di salah satu universitas di kota yang berada dalam benua Eropa itu.

Namun, beralasan dia adalah seorang gadis perempuan, seluruh keluarganya tidak ada yang menyetujui. Husna tetap berusaha meskipun dia yakin usahanya membujuk keluarganya tidak akan berhasil.

Sampai suatu hari, dia curhat pada Rifan--sepupunya, dan dari sana, Rifan mendapatkan sebuah ide. Yaitu Husna harus bersedia menikah dengan pria itu.

Rifan terus meyakinkan Husna agar menerima idenya, dengan menjadikan pria itu sebagai suami, dia akan menemani Husna ke kota Paris untuk mengemban ilmu sampai apa yang dicita-citakan gadis itu tercapai.

Dan demi mendapat izin itu, Husna akhirnya menyetujui ajakan Rifan.

chap-preview
Free preview
Part 1
Menjadi designer muslimah profesional adalah cita-cita Husna sejak dulu. Dia sangat suka melihat banyaknya pakai wanita muslim dengan berbagai model yang berbeda-beda. Apalagi setelah Husna bertemu dengan Nyonya Humaira dan putrinya—Queensha- yang menjadi perancang baju pengantin Hilya(kakak sepupunya) dua tahun yang lalu. Mendengar cerita dari Queensha, yang menjadi salah satu alumni mahasiswa di salah satu universitas terbaik di negara Perancis dan betapa serunya berkuliah di sana, membuat Husna jatuh cinta dengan kota Paris pada cerita pertama. Sejak saat itu, Husna sangat ingin belajar di sana atau malah bisa dikatakan sudah terobsesi dengan kota yang terkenal dengan keindahan dan keromantisannya itu. Dia terus belajar menjadi murid terbaik dalam jurusan seni dan budaya, terlebih dalam bidang design pakaian. Giat belajar menjahit, dan memilah bahan yang bagus untuk dijadikan sebuah pakaian. Tak hanya itu, di sela kesibukannya di sekolah juga mengikuti pelajaran agama di pesantren—rumahnya, Husna selalu menyempatkan waktu untuk belajar bahasa Perancis agar nanti memudahkannya ketika berinteraksi dengan warga di sana saat waktunya tiba. Namun .... Husna terus saja cemberut sejak pria yang dia panggil abi itu pergi dari hadapannya. Merasa kecewa dengan keputusan sang ayah yang bersikukuh tidak memberikannya izin untuk berkuliah di Paris, karena alasan dia adalah seorang anak perempuan dan tidak ada pendamping (muhrim)nya selama di sana. “Sudahlah, Sayang! Apa yang dikatakan abi memang benar.” Mila yang sedari tadi menemani sang putri akhirnya berbicara seraya mengelus tangan gadis itu. “Tapi, Umi juga dulu pernah 'kan kuliah di luar negeri tanpa ada yang mendampingi?” ucap Husna tetap kukuh dengan keinginannya dan tidak terima dengan penolakan orang tuanya. Mila tersenyum seraya tersipu, merasa malu dengan tingkahnya yang dulu. “Itu ‘kan beda ceritanya, sayang! Kamu juga tahu jika Umi saat itu masih minim pengetahuan agama.” Husna mengembuskan napas panjang. “Apa Una harus patah hati dulu, lalu kabur ke Paris, seperti yang dilakukan Umi waktu itu?” Mila menepuk pundak sang putri pelan. “Masa harus mencontoh sikap Umi yang jelek sih, Ning? Apa yang akan Umi lakukan saat Allah meminta pertanggungjawaban nanti di akhirat?” Mendengar ucapan ibunya, Husna seketika merangsek ke depan dan masuk pada pelukan wanita yang sudah melahirkannya. “Maafkan Una, Umi! Habisnya ... Una sudah gak punya ide lagi. Dan menyerah pun, Una belum ikhlas, Umi.” “Abi melakukan semua itu juga demi kebaikanmu, sayang. Insyaallah, belajar di sini—apalagi dekat dengan Umi dan abi, membuat kami tenang dan tidak harus tersiksa karena merindukanmu,” jawab Mila seraya mengelus kepala sang putri dengan penuh sayang dan pengertian. Pada akhirnya, Husna tidak bisa lagi menjawab perkataan ibunya. Dia menghela napas panjang, lalu mengangguk pasrah. “Iya, Umi,” ucapnya lesu. Dengan senyuman yang masih terpatri di bibir, Mila mengurai pelukannya dan kembali berbicara, “Sebentar lagi waktu shalat Ashar. Ayo bersiap! Bukankah hari ini kamu yang menjadi mentor hafalan Al-Qur’an untuk santri ibtida putri?” Husna mengangguk seraya bersiap untuk beranjak. “Una pamit dulu, Umi,” ucapnya, mencium tangan sang ibu dengan penuh takzim. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalaam warahmatullah.” Mila masih betah duduk di tempatnya, menatap ruang keluarga yang baru saja dilewati putri satu-satunya. Bibirnya seketika kembali tersenyum lembut mengingat interaksinya bersama sang putri beberapa detik lalu. Dia tentu mengerti, jika putrinya masih belum rela dengan keputusan suaminya, tetapi dia yakin jika gadis kecilnya itu pasti tidak akan nekat untuk kabur seperti yang dilakukannya saat muda—dulu. “Masih betah duduknya?” Tubuh Mila sedikit terperanjat saat seseorang menginterupsi lamunannya. Dia menoleh dan mendapati suaminya yang sudah berdiri tepat di sampingnya. Mila mengulas senyum seraya mengangguk pelan. Fakhri mengulurkan tangannya ke arah Mila. “Sebentar lagi shalat Ashar,” ucapnya mengingatkan. Mila langsung menyambut uluran tangan suaminya dan berdiri. “Iya, Mas. Lagian aku sudah menyiapkan semua keperluan Mas di tempat biasanya.” “Tetap saja. Mas lebih suka melihatmu menunggu Mas sambil membawa baju koko, di saat Mas keluar dari kamar mandi setelah berwudhu. Mas selalu senang kamu menyambut Mas di mana dan kapan saja.” “Subhanallah, Mas. Sudah punya cucu dua juga, masih saja seperti anak-anak remaja.” “Justru itu, Mate. Semakin lama usia pernikahan kita, harus semakin manis dan hangat. Jangan mau dikalahkan oleh gus Fahmi yang selalu bersikap lebay dan terlihat sangat bucin itu.” Mila sontak tertawa kecil mendengar suaminya menyebutkan kata ‘bucin’, geli aja didengarkan oleh telinganya. Dia mencubit lembut perut suaminya. “Kebiasaan deh! Selalu tidak mau mengalah sama putra sendiri.” Fakhri terkekeh, merasa geli dengan cubitan istrinya. “Mas becanda, Mate. Tentu saja Mas sangat senang dengan kebahagiaan mereka,” ucapnya yang disambut dengan senyuman manis sang istri. “Sepertinya, tadi kamu tengah asik melamun, ada apa? Apa masih kepikiran dengan Gus Fatah yang juga belum mendapatkan cintanya?” Fakhri kembali memberikan pertanyaan dengan sedikit menggoda wanitanya. Mila terkekeh. Memang, beberapa hari ini dirinya selalu kepikiran dengan nasib putra sambungnya yang baru saja keluar dari rumah sakit pasca menyelamatkan Hilya(keponakannya) dalam penculikan. Putranya itu entah kenapa belum juga diberikan nasib baik dalam urusan cintanya. Namun, kali ini, dia tidak memikirkan Ihsan, tapi .... Mila menggeleng. “Aku kepikiran Ning Husna, Mas.” Fakhri mengembuskan napasnya seraya mengusap punggung Mila. “Percaya saja pada Mas! Pelan-pelan dia pasti bisa menerimanya. Qodrat perempuan begitu berharga, sehingga hukum agama sangat menjaga kalian, kaum perempuan. Bepergian tanpa pendamping (muhrim/mahram) apalagi dengan jarak yang sangat jauh, itu tidak ada dalam anjuran agama kita.” Mila mengangguk mengerti, kepalanya menunduk meresapi apa yang dikatakan suaminya. “Apalagi, kota Paris adalah kota di dalam negara yang mayoritasnya bukanlah agama Islam. Mas mungkin akan mengizinkan jika dia pergi kuliah sambil mesantren di kota Tarim-Yaman. Naaah, sedangkan putri kita ...? Apakah hatimu akan tenang membiarkan dia hidup sendirian di sana, sementara selama ini dia tidak pernah pergi keluar kecuali ada yang mendampingi?” “Iya, Mas. Aku mengerti dan Mas benar, aku tidak akan tenang membiarkan Ning Una sendirian di negara yang bahkan berbeda benua dengan tempat kita.” “Insyaallah! Husna adalah putri kita, tentu kita tahu dia seperti apa. lambat laun dia pasti bisa menerima keputusan kita.” “Aamiin, Mas.” Setelah itu, mereka benar-benar pergi dan masuk ke kamar mereka. Tanpa mereka sadari, Husna sudah mencuri dengar percakapan kedua orang tuanya. Dia sadar, apalagi saat baru saja mendengar alasan sang ayah menolaknya memberikan izin. Husna juga tahu itu adalah bentuk kepedulian, juga rasa tanggung jawab yang besar kedua orang tuanya. Akan tetapi, .... Tetap saja! Hati kecilnya masih menginginkan negara Prancis sebagai tempat kuliahnya. Tak jua mendapatkan jawaban, malah hatinya terus dirundung peperangan antara ikhlas dan bersikeras, membuat Husna akhirnya mengembuskan napas panjang. “Apa yang harus aku lakukan agar abi memberikan izinnya.” “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar!” Dari arah masjid Az-Zamil, kumandang adzan sudah terdengar, membuat Husna kembali harus mengesampingkan urusannya dulu. Dia buru-buru kembali ke kamarnya dan segera mensucikan diri untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook