bc

Bukan Salah Cinta

book_age18+
1.2K
FOLLOW
6.4K
READ
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

SEDANG DIREVISI. BOLEH DIBACA, SAAT PENGUMUMAN INI MENGHILANG.

Menyesali apa yang telah terjadi sangatlah tidak berguna. Apalagi penyesalan itu datang, saat orang yang kita cintai telah pergi untuk selamanya.

Apa yang akan dilakukan oleh Yudi Fernando? Saat menyadari ada cinta yang tumbuh, namun sang istri pergi untuk selamanya.

Cover: Shutterstock

Font: Text On Photo Aplikasi

chap-preview
Free preview
Pertemuan
Cerita ini merupakan lika-liku kehidupan percintaan Shelina Agatha, gadis yang memiliki rasa percaya diri yang sangat minus. entah karena ia sendiri pun tidak tahu. Malahan orang di lingkungannya selalu mengatakan Shelina adalah gadis yang sangat cantik dan baik hati. Shelina sendiri memiliki sahabat yang sahabat bernama Sandara Wijaya, gadis nyablak, barbar tapi cantiknya nggak ada obat. Persahabatan mereka dimulai saat masih menggunakan seragam merah putih, hingga sekarang usia kedua gadis itu sama-sama dua puluh empat tahun. Shelina dan Sandara memiliki hobi yang sama. Yaitu, berburu kuliner di saat libur. Makanan yang sering mereka buru adalah, bakso. Mulai dari yang kecil, hingga besar. Mulai dari yang bulat hingga berbentuk gunung Merapi, dengan lumeran cabe di dalamnya. Walaupun hobi mereka berdua berburu makanan, akan tetapi untuk tubuh, Shelina dan Sandara tetap langsing dan jauh dari kata 'lemak'. Entah itu anugerah atau musibah. Satu lagi kebiasaan Shelina dan Sandara, yang disukai oleh banyak orang. Yaitu, saat ke kantor mereka akan datang lebih cepat dari pada yang lain. Membuat mereka berdua sering mendapatkan pujian sebagai karyawan yang teladan. Padahal, alasan yang sebenarnya adalah, jarak kantor ke kosan mereka lumayan jauh, dan rawan macet. Jadi lebih baik datang kepagian dari pada terlambat bukan? Sambil menunggu jam masuk biasanya Shelina dan Sandara berbincang ringan di ruangan Shelina. Karena ruangan mereka bersebelahan, sehingga memudahkan untuk bertemu kapan saja. “Shel, kita kapan, ya punya cowok? Melihat orang gandengan membuatku terkadang suka iri,” Sandara meletakkan kepalanya di atas meja kerja milik Shelina. “Kenapa kau menanyakan hal itu kepadaku? Bukannya selama ini kau lah yang menolak setiap pria yang datang mengatakan cinta untukmu?" ejek Shelina. “Bukannya aki nggak mau menerima mereka, Shel. Salah satu alasanku menolak mereka, karena kau sendiri masih jomblo. Kalau aku punya pasangan, siapa yang akan menemanimu berburu bakso hingga ke pelosok dunia?" Kedua mata Sandara mengerjap cepat. “Idih … alasan. Bukannya kau itu ingin aku traktir terus ya? Dan faktor yang paling kuat, pasti kau malu kan makan banyak depan pria?” kekeh Shelina pelan. “Enak saja, ya, kalau ngomong. Bukan karena itu, Shel. Serius." Sandra menegakkan punggungnya. "Aku itu maunya kita itu double date. Biar bisa bareng-bareng traveling, berburu kuliner bersama-sama. Pasti sangat seru dan menyenangkan.” Sandara menopang kepalanya menggunakan tangan, dengan mulut sedikit terbuka. “Ya, sudah. Sekarang kau cari pria, dan pancaran deh tuh. Aku rela kok menjadi obat nyamuk untuk kalian berdua." Shelina menaikturunkan kedua alisnya. “Astaga ... itu bukan double date namanya, gimana sih?” Sandara mulai kesal dan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai merengek seperti anak kecil. “Aku belum bisa, membuka hati untuk pria lain, sungguh. Saat ini aku masih betah sendiri. Aku belum bisa melupakan rasa sakit di hati ini. Mmm, entah sampai kapan aku dihantui bayangan dari masa lalu.” Shelina menyandarkan punggungnya ke kursi. “Shel, ini sudah empat tahun. Dan pria itu juga nggak tahu dia masih hidup atau nggak, walaupun kata ibunya dia masih hidup.“ Sandara mulai terkikik entah apa yang ia fikirkan. “Mmm ... baiklah. Demi persahabatan kita, aku akan mulai mencoba untuk mebuka hatiku lagi." “Kau serius?” Sandara langsung berdiri mendengar ucapan Shelina, dan duduk kembali dengan mata berbinar. Bagaimana tidak? Empat tahunan berlalu dan entah berapa kali purnama yang dilewati semenjak kejadian itu. Akhirnya, kalimat keramat itu keluar juga dari mulut Shelina. Ya, Shelina ditinggal pergi tiga hari sebelum hari pernikahannya. Padahal dari pihak pria lah yang memohon kepada orang tua Shelina untuk meminta izin melamar gadis itu. Orang tua Shelina selalu menolak lamaran tersebut karena usia Shelina baru dua puluh tahun waktu itu dan masih kuliah. Hingga suatu kali, akhirnya orang tua Shelina luluh juga melihat perjuangan pria itu untuk mendapatkan restu. Namun entah apa yang terjadi, tiga hari sebelum hari pernikahan tersebut datang, pria itu menghilang. Bahkan keluarganya hanya menjawab tidak tahu alasan dia pergi dan dimana keberadaannya saat ini. Padahal, orang tua dan adik pria itu masih aktif saling lempar komentar di media sosial. Namun tidak ada satupun pesan dari Shelina yang pria itu baca. Sampai sekarang, kepergian pria tersebut masih menjadi sebuah misteri bagi Shelina. “Selamat pagi, Duo Bakso ..." sapa Rendi. Seorang sekretaris direktur menghampiri mereka yang terlihat asyik mengobrol sambil menunggu jam kerja dimulai. “Apaan, sih? Aku kurus kering begini kau panggil bakso, Pak?” Sandara mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Rendi. Sementara itu, Shelina hanya menggeleng-geleng kecil melihat sepasang anak manusia tersebut. Rendi adalah seorang pria tampan namun sedikit pecicilan, digosipkan cinta mati kepada Sandara. Dan kabarnya, Sandara pun mempunyai perasaan yang sama terhadap Rendi. Hanya saja pria itu belum mampu memenuhi satu syarat dari Sandara agar hubungan mereka bisa diresmikan. “Dar, apakah kamu sudah bisa menerimaku menjadi kekasihmu?" tanya Rendi. Ini merupakan pertanyaan yang kesekian kalinya. Sekaligus pertanyaan yang selalu dijawab 'tidak' oleh Sandara. “Bapak sudah tahu kan, ya, syarat dan ketentuannya? Jadi Bapak harus penuhi dulu!" Sandara kembali meletakkan kepalanya di atas meja Shelina dengan malas. “Astaga ... Dar. Hari gini pake syarat segala. Kau pikir pak Rendi mau melamar pekerjaan?” Shelina sedikit menoyor kepala Sandara. “Ih … kamu apaan sih, Shel?” gerutu Sandara. Merapikan kembali rambutnya. “Emangnya si Sandara memberikan syarat apa, Pak? Sampai sekarang Bapak belum bisa menaklukkan hatinya?” Shelina mencoba mencari jawaban atas rasa penasaran yang ia miliki. Demi Tuhan. Sudah lama ia ingin mengetahui ini semua. “Syaratnya berat, Shel.” Rendi melipat kedua tangannya ke d**a dan menyandarkan punggungnya di tembok yang ada di samping Shelina. “Iya apaan? Siapa tahu saya bisa bantu.“ Shelina semakin penasaran. Ia tahu bahwa tidak mungkin syaratnya hanya bakso. Jangankan semangkuk bakso, bahkan dengan rukonya pun pasti Rendi sanggup membelinya. “Nggak, Shel, kau tidak akan bis ..." “Saya harus mencarikan kamu seorang pria, yang mau menjadi kekasihmu. Agar kamu juga ikut bahagia seperti saya dan Sandara nantinya. Jika saya tidak mampu, setidaknya saya harus nunggu kamu punya kekasih dulu,” sela Rendi. Memotong ucapan Sandara dan menjelaskan semuanya. “WHAT ... Kau sudah gila ya, Dar?!“ pekik Shelina. Seraya menggelengakan kepala nya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya, yang memaksa Rendi untuk mencarikan seorang pria untuk menjadi kekasihnya. Ya, Shelina sedikit kecewa dengan Sandara kali ini. Tidak seharusnya Sandara mengorbankan perasaan nya sendiri, terlebih lagi Sandara menggantung perasaan Rendi sampai waktu yang tidak bisa di tentukan. “Tapi kamu tenang saja, Dara. Saya sudah menemukan orang tersebut. Dia sahabatku sendiri. Dan hari ini dia akan datang, menggantikan posisi atasan kita. Dia juga merupakan anak sulung pemimpin perusahaan ini. Sebentar lagi kita akan berkumpul di Aula untuk menyambut kedatangannya," terang Rendi. Sambil mengacak rambut panjang Sandara. “Apa Bapak yakin?“ Sandara mengulas senyum. Sedangkan Shelina, gadis itu diam membeku di tempat, dengan mata melotot dan wajah yang mulai memerah. Melihat tingkah dan percakapan sahabatnya dengan Rendi. Shelina bangkit dari tempat duduk dan beranjak meninggalkan dua sejoli yang sedang membahas hal yang tidak penting. Memang benar Shelina berniat membuka kembali membuka hatinya, untuk pria yang baru. Tapi tidak dengan cara ini juga bukan? Shelina menginginkan rasa cinta itu tumbuh dengan sendirinya, dan cinta itu lah yang berhak memilihkan pria mana yang akan ia cintai. Walaupun cinta nya selalu salah dalam memilih pria. “Kamu mau kan, Shel? “ Rendi menatap Shelina dengan tatapan memelas. Begitupun dengan Sandara. “Nggak tahu, lah. Saya mau ke toilet! ” Shelina beranjak pergi meninggalkan sepasang anak manusia yang sedang mabuk asmara, sekaligus makhluk yang membuat moot nya hancur sepagi ini. “Bapak yakin dengan sahabat Bapak itu? apakah dia orangnya baik? Apa dia akan mampu membuat Shelina jatuh cinta?" “Aku yakin, Dara. Sahabatku itu pasti bisa. Dia juga pria yang sangat baik." Rendi mengulas senyum. "Ya, sudah kalau begitu. Aku serahkan semuanya kepada sahabatmu itu. Jika dia berhasil, baru kita menjalin hubungan." Rendi mengagguk. Ini mungkin jalan keluar baginya untuk mendapatkan Sandara. Walaupun sebenarnya sahabatnya adalah seorang pria, pecinta wanita satu malam. ****** “Ihhhh ... apa apaan Sandara dan pa Rendi, kalau mau pacaran ya pacaran saja, kenapa aku juga harus pacaran coba?" gumam Shelina. Dengan kesal ia berjalan ke arah pantry kantor untuk membuat jus jeruk dingin untuk menstabil kan fikiran. Walaupun minuman manis dan dingin sangat tidak di anjurkan di minum pagi hari. Ya, itu lah Shelina. Dia menyukai makanan dan minuman yang selalu bertentangan dengan kesehatan. “Eh, tumben Mbak Shel sendirian?" sapa Marta, salah satu office girl. Merasa aneh melihat Shelina tanpa Sandara. Karena dimana ada Shelina di situ ada pasti Sandara. “Iya, Sandara lagi sibuk, Ta. Eh, kok banyak cemilan, Ta?" Karena rasa kesalnya terhadap Sandara dan Rendi, membuat Shelina baru menyadari suasana Pantry yang begitu banyak makanan dan box kecil. “Mau ada acara penyambutan Direktur baru Mbak, anaknya Pak Bos. Acara ini sebenarnya, sih senin depan, Mbak. Tapi, karena hari senin si bos mendadak harus ke Malaysia, jadinya sekarang, mbak! Semua serba dadakan," terang Marta panjang lebar, sambil memasukkan snack ke dalam kotak. Shelina cuma ber 'oh' ria sambil, membuat jus jeruk kesukaannya. “Mbak duluan ya, Tha." “Iya , Mbak." Dengan perasaan yang mulai membaik, karena telah menandaskan setengah jus jeruk yang ia buat tadi, Shelina melangkah meninggalkan pantry. “Mmm ..., lima menit lagi jam kantor mulai!” batin Shelina Sehingga ia mempercepat langkahnya untuk kembali keruangannya, sambil membawa gelas berisi jus jeruk. Dari arah berlawanan Yudi Fernando masuk dengan berjalan tak kalah cepat. Kedua mata pria itu tidak putus dari ponsel yang ada tangannya. di belakangnya, ada lima karyawan yang berjalan tidak kalah cepat karena memang jam kantor akan di mulai beberapa menit lagi, sehingga mereka takut terlambat. “Dorrr! Terkejut atau tidak, kau harus terkejut!“ Sandara menepuk punggung Shelina, sehingga gelas di tangan gadis tersebut terjatuh ke lantai. “Apaan sih, Dar. Lihat itu, karena ulahmu! Gelas jadi pecah,, dan jus yang telah ku buat dengan susah payah berserakan. Mana sepatu aku kena lagi. Jadi basahkan semua?" gerutu Shelina. Lalu ia berjongkok untuk membereskan pecahan kaca yang berasal dari gelas yang ia jatuh kan. “Ehhh, maaf, Shel. tunggu disini! Aku ambil sapu dulu!" Sandara berlari meninggalkan Shelina. tanpa ia sadari, sahabatnya itu masih setia menggurutu sambil memungut pecahan kaca. “Kau, sih ..." BRUK “Aww!” pekik Shelina. Saat tubuh kekar Yudi Fernando menimpa tubuh mungilnya. Disusul oleh tubuh karyawan lain yang dari tadi berjalan mengekor di belakang Yudi. Saat Yudi menyadari yang berada di bawah tubuhnya, adalah seorang wanita, ia refleks memeluk tubuh gadis itu. Agar tubuh yang lain tidak menimpanya. Spontan saja, kelima karyawan yang menimpa tubuh Yudi dan Shelina segera berdiri dan meminta maaf ke arah mereka berdua, dengan Yudi yang masih setia memeluk Shelina. Dengan posisi tubuh Yudi diatas tubuh Shelina. Wangi dari tubuh Shelina menggoda penciuman Yudi, sehingga pria itu merasa nyaman dan damai dengan posisinya sekarang. Ia bahkan mengabaikan pandangan karyawan lain yang terpaku melihat mereka berdua. “YA ... ampun, Shel!" pekik Sandara. Dengan setengah berlari, ia mendekati Shelina dan Yudi. “Shh," Shelina meringis. Suara dari mulut Shelina sekaligus teriakan Sandara menarik kembali kesadaran Yudi, yang mungkin telah menyasar sampai di langit ke tujuh. Refleks Yudi duduk, di samping Shelina yang masih setia dengan posisinya. dengan kedua tangannya berada di perut. “Kamu tidak apa-apa?“ Yudi berusaha mengangkat tubuh Shelina. "I...ni, kamu? Kamu berdarah?" Yudi gelagapan melihat tetesan darah yang mengalir dari genggaman tangan kiri Shelina. Di dalam genggaman tersebut terdapat kaca yang di pungut oleh Shelina. “YA, Tuhan, Shel? Kenapa kau bisa berdarah seperti ini?" Sandara segera membuang pecahan kaca di tangan Shelina ke lantai, dan merangkul bahu sahabatnya itu. Lalu membawanya ke ruang kesehatan. Shelina berjalan dengan tidak baik, karena darah yang terus mengalir dan, siku salah satu karyawan menghantam lehernya cukup keras. Membuat kesadarannya mulai menghilang. Sedangkan Yudi masih diam di tempat seperti terhipnotis , melihat wajah manis Shelina di tambah aroma tubuh gadis itu yang hampir membuat kesadarannya kembali terbang kembali awan. “Sakit, Dar. Aku pusing!" lirihnya. Shelina benar-benar tidak sanggup lagi untuk berjalan. “Kau tenang, ya. Aku akan membantumu untuk pergi ke ruang kesehatan. agar kamu bisa diobati." Detik selanjutnya, Sandara terkejut saat seseorang menarik Shelina dari tangannya. Shelina pun tidak kalah terkejut saat merasakan tubuhnya melayang di udara. Ya, Yudi mengangkat tubuh Shelina dan membawa ke dalam pelukan nya. “Mari saya antar," ucapnya lembut. Mata Shelina berkedip berulang kali, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. Tatapan nya berhenti di wajah tampan nan rupawan milik Yudi Fernando. Blush. Seketika pipi Shelina memerah seiring dengan kesadarannya yang mulai ikut menghilang. Sangat disayangkan. Ia tidak bisa berlama-lama melihat wajah tampan Yudi. Sesampainya di ruang kesehatan, luka Shelina langsung diobati tim kesehatan kantor. Luka di tangan Shelina cukup besar, sehingga ia harus mendapat beberapa jahitan. Setelah tangan gadis itu diobati, Yudi duduk di kursi yang terletak di samping ranjang tempat Shelina berbaring. Ia menggenggam dan mengelus tangan Shelina dengan lembut. Jantungnya berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Yudi tidak menyadari di seberang mereka, ada Sandara yang dari tadi melihatnya tanpa berkedip dengan sejuta pertanyaan yang menghantam pikirannya. Drttt drrrtt drrrtt. Getaran dari ponsel Yudi memecah keheningan di ruangan tersebut. “Iya Ayah, Aku sebentar lagi akan ke sana. Aku sudah di kantor kok, Yah," “Kamu jangan coba-coba untuk membohongi Ayah, Yud. Palingan saat ini kamu berada di hotel, dengan wanita panggilanmu," sahut sang ayah dari ujung panggilan. “Serius Ayah, Aku berada di ruang kesehatan. Kalau Ayah tidak percaya, silahkan minta Rendi untuk menyusul aku ke ruang kesehatan!” tegasnya. "Apa yang kamu lakukan di ruang kesehatan? Apa kamu sakit?" “Aku tidak sakit, Yah. Ini ada salah satu karyawati yang terluka. Setelah ini aku akan segera ke Aula. “ “Baiklah. Usahakan cepat!" “Baik, Yah." Yudi memutuskan panggilan. Dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas hitam pekat, yang ia kenakan. Sandara melihat Yudi tak berkedip sedikit pun. Saat mendengar pria itu menyebut nama Rendi, calon kekasihnya. Eh, benar kan Rendi calon kekasihnya. Sudah cinta sama cinta, hanya tinggal menunggu Shelina memiliki kekasih. Setelah itu, Sandara dan Rendi bisa meresmikan hubungan mereka. Tidak lama kemudian, Sandara mengingat pembicaraannya dengan Rendi barusan.Teman pria itu , yang tak lain adalah anak Direktur yang akan datang hari ini, akan dilantik untuk menggantikan posisi direktur utama di perusahaan ini. “Tunggu tunggu, kalau Rendi yang di maksud pria ini adalah calon kekasihku, berarti pria ini adalah ANAK DIREKTUR SEKALIGUS CALON DIREKTUR BARU!" Pekik Sandara dalam hati, dengan mata yang tak mampu berkedip memandang ke arah Yudi, yang duduk di samping ranjang tempat Shelina berbaring. Tangan Yudi menggemgam dan terus mengusap tangan Shelina dengan lembut, bahkan sesekali pria itu terlihat mencium punggung tangan Shelina. “Ehem, ehem. Maaf anda siapa, ya? Kok bisa sedekat itu sama sahabat saya? Setau saya, Shelina tidak pernah memiliki teman atau pun Pria yang dekat dengan nya." Sandara mencoba memecah keheningan di ruangan tersebut, sambil mencari jawaban atas pertanyaan yang sedang berputar putar di dalam otak Sandara. “Gadis ini sahabat kamu? “ Yudi menoleh ke arah Sandara sebentar, lalu ia kembali membelakangi Sandara. Yudi mengajak Shelina berbicara. Padahal gadis itu masih menutup kedua matanya. “Jadi nama kamu Shelina ya? Nama yang manis sesuai dengan wajahmu. Saya suka." Yudi mencium pucuk kepala Shelina dengan lembut. Perlakuan Yudi terhadap Shelina lebih mirip perhatian suami terhadap istri. Melihat Yudi mencium Shelina, spontan saja Sandara berdiri, dan menarik rambut Yudi dengan sangat keras, membuat pria itu terjengkang jatuh kelantai. Brukkk. “Aissshh.” Yudi meringis. Seraya memegangi p****t nya yang dipaksa untuk mencium lantai. Kalian pernah mendengar buah Nangka jatuh, sperti itu lah kira kira bunyinya. Gimana enggak mirip, p****t Yudi yang padat berisi jatuh ke atas dinginnya lantai keramik. “Kau siapa? Berani-beraninya mencium sahabat Saya?" Sandara melipat kedua tangannya kebawah d**a. “Kau itu pria atau wanita? Tenagamu lebih mirip kuli bangunan. Dan coba lihat sekarang. Bukannya meminta maaf, ini malah mewawancarai," gerutu Yudi. Seraya bangkit dan menepuk-nepuk bokongnya. “Saya tidak peduli. Kau itu mau jatuh, patah tulang atau apa? Yang jelas, kau itu telah lancang dan harus diberi pelajaran." Kali ini Sandara memukul Yudi seperti orang kesurupan. Pria itu hanya bisa pasrah dengan perlakuan Sandara padanya. Karena Yudi sadar, ini semua memang salahnya, sembarangan mencium Shelina. Sibuk berkelahi dan adu mulut, Yudi dan Sandara tidak menyadari Shelina telah sadar. Dan mendengar perkelahian antara mereka berdua. “Kenapa anda lancang mencium saya?" Shelina menatap mereka berdua dengan Tatapan mematikan. Deg. Seketika jantung Yudi berhenti berdetak. tubuhnya pun ikut membeku. Mendengar pertanyaan Shelina. Gadis itu memang tidak berteriak saat bertanya. Akan tetapi, tatapan gadis itu membuat Yudi, seakan siap untuk dikuliti hidup-hidup. “Syukurlah Shel kau sudah sadar." Sandara seketika berhenti memukul Yudi, dan beralih duduk di samping ranjang Shelina. Namun keinginan Sandara untuk duduk, segera di hentikan Yudi. Sebelum ia duduk, Yudi langsung menarik tangan Sandara dan ia dengan cepat menduduki kursi tersebut. “Sayang, kau sudah sadar. Maaf aku lancang menciummu, itu semua karena aku khawatir padamu! Aku hanya menuruti keinginan hati ku." Yudi kembali menggemgam tangan Shelina. Seketika jantung Shelina berdetak lebih cepat dari biasanya, lidahnya kelu dan membeku atas perlakuan manis Yudi. Sandara kesal melihat Shelina yang hanya diam kaku seperti patung, pipinya juga memerah seperti kepiting rebus. Untuk meluapkan kekesalan nya terhadap Shelina, Sandara kembali menarik rambut Yudi menggunakan kedua tangannya. Kali ini ia menggunakan jurus baru, tujuan Sandara bukan p****t montok milik Yudi, tapi kepala pria itu. Sandara yakin, otak Yudi letak nya kurang tepat. sehingga kepalanya harus digoyang untuk menempatkan posisi otaknya ke tempat semula. Agar pria itu sadar, semua yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. “Kau itu siapa, sih? Sudah melukai sahabat saya, menciuminya sembarangan, kini sok romantis-romantis." Sandara semakin berselera menarik-narik rambut Yudi. “Astaga apaan sih, ini?" Yudi menghentakkan tangan Sandara sehingga si empu yang punya tangan nyaris jatuh mencium lantai. “Shelina saja enggak marah aku cium, kenapa malah kau yang marah? Apakah kau cemburu? Atau kau mau aku cium juga, hah?" “Astaga ... najis saya dicium cowok murahan sepertimu!" sergah Sandara. Tidak mau kalah dengan Yudi. Namun, Yudi lebih memilih kembali duduk di samping ranjang tempat Shelina berbaring. Dan mengabaikan ocehan Sandara yang tidak berbobot sama sekali. “Sayang kamu nggak marah kan, aku cium? Sayang ... heeiii, kenapa kau hanya diam saja? Apa masih ada yang sakit? Apakah kita perlu ke rumah sakit?" Yudi menepuk lembut pipi Shelina. Tepukan lembut darinya membawa Shelina kembali ke alam sadar. Gadis itu baru sadar apa yang terjadi pada dirinya. Untuk sejenak ia melupakan pesona dari Yudi, yang membuatnya tidak tau harus berkata apa. “Silahkan anda keluar dari ruangan ini. Terimakasih telah membantu saya. Dan lupakan apa yang telah terjadi hari ini." Shelina mencoba mengendalikan persaannya sendiri. Karena ia bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, ia ingin menampar pria yang duduk didekatnya kini, pria yang telah seenaknya mencium kepalanya. Namun kenapa rasanya ia tidak mampu. Sehingga Shelina memilih mengusir pria ini, agar fikiran nya normal kembali. “Tapi, Sayang ... aku masih ingin disini. Aku masih mau menemani kamu!" "Sayang? Apa kalian memiliki hubungan khusus?" timpa seorang pria paruh baya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Turun Ranjang

read
578.8K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

Rujuk

read
908.8K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.5K
bc

Marriage Agreement

read
590.6K
bc

Everything

read
278.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook