bc

Pesona Petani Terjebak Cinta Segi Lima

book_age18+
883
FOLLOW
5.0K
READ
second chance
warrior
lucky dog
male lead
realistic earth
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Warja surya Atmaja:

Aku pasrahkan jodohku pada sang pemilik hati. Namun saat keempat wanita datang bersamaan, aku tak kuasa menentukan pilihan ketika ke-empatnya bersedia disandingkan bersama. Ya Allah, ke-empatnya begitu sempurna untukku yang hanya seorang petani. Tak pantas rasanya menolak mereka, tapi tidak mungkin juga aku menikahi semuanya, meskipun mereka serempak berkata bersedia.

Adinda Ayu Lestari:

Hariku mengambang, jiwaku tak tenang. Sosoknya begitu terkenang dan melekat di bawah alam sadarku. Hatiku terjerat pesona alami seorang pria bernama Warja Surya Atmaja. Haruskah aku mengiba cintanya ketika hanya dia yang terus datang setiap sujud panjang di tiap malamku.

Zalfa Putri Wibawa:

Warja, pemuda idaman yang tak pernah aku sangka begitu saja masuk mengisi relung hati. Perlahan aku mundur ketika tiga wanita hebat juga mendamba pria yang sama. Aku tak mampu berbagi, aku memilih pergi. Namun hatiku tak bisa begitu saja melepas sosok yang merajainya. Pelarianku sia-sia karena hanya dia yang aku damba.

Irna Melina:

Tak ada yang istimewa dari sosoknya, sahabat yang selalu ada kala suka dan duka. Kami tumbuh bersama hingga tanpa sadar ada cinta yang tumbuh karena terbiasa. Cinta yang begitu terlambat aku sadari karena ternyata ada tiga wanita yang juga mengharapkan cintanya.

Ismatul Maula:

Dia pahlawanku, dia sang penyelamat kala hidupku hampir porak poranda oleh tangan-tangan penuh dosa. Sungguh, aku hanya mau dia, meskipun harus jadi yang kedua ataupun ketiga. Aku rela ....

chap-preview
Free preview
Pulang
“Pulanglah Nak … ibu hanya ingin kamu pulang,” rintih Juminah, ibu dari Warja Surya Atmaja yang kini sedang bekerja di luar kota sebagai ahli proteksi tanaman. Uang yang setiap bulan Warja kirimkan untuk Juminah dan Warita, sang ayah tidak membuat keduanya bahagia. Pada kenyataanya Juminah hanya mengharapkan kepulangan Warja. Dia menginginkan sang anak berada dekat dengannya, menikah dan memberinya cucu. Keinginan sederhana dari seorang ibu yang tidak mau jauh dari anaknya. “Insyaallah secepatnya aku pulang, Bu,” janji Warja. Janji yang sudah dua kali ini dia ucapkan. Namun, dia belum juga diizinkan pulang apalagi berhenti bekerja dari pabrik teh milik Marjuki. “Secepatnya itu kapan? Kamu mau nyuruh ibumu ini terus menunggu padahal kamu tahu ibu sudah berada di ujung usia.” “Besok aku pulang,” putus Warja yang tidak tega tiap mendengar isak sang ibu. Apalagi isak dan tangis Juminah disebabkan oleh dirinya. Warja memutuskan sambungan telepon setelah mengucapkan salam dan kembali berjanji kalau besok dia akan pulang. Sebuah keputusan yang dia ambil tanpa persetujuan dari Marjuki, bosnya. Padahal Warja di sana bukan hanya sebagai ahli proteksi tanaman, tapi juga merangkap sebagai orang kepercayaan Marjuki. Warja segera mengemasi pakaiannya, dengan atau tanpa izin dari Marjuki di tetap akan pulang dan berhenti bekerja di sana demi sang ibu. Warja jelas tidak mungkin membiarkan sang ibu terus meratap hanya karena berharap dia pulang dan tidak akan meninggalkannya lagi. Esoknya Warja bukan pergi ke pabrik, dia langsung menuju rumah Marjuki untuk berpamitan. Tekadnya sudah bulat, menuruti permintaan sang ibu meskipun itu berarti dia harus mengubur cita-citanya dan kembali menjadi seorang petani desa. “Assalamualaikum ....” Warja mengucapkan salam sembari berdiri di ambang pintu rumah Marjuki yang terbuka lebar. “Waalaikumsalam ... eh Warja ko tumben pagi-pagi ke rumah.” Mata Leni membola melihat Warja berdiri di depan pintu rumahnya dengan tas besar yang digendong di belakang punggungnya. “Mari masuk dulu,” ajak Leni mempersilakan Warja masuk dan duduk di sofa ruang tamu sebelum dia kembali ke dalam rumah untuk memanggil sang suami yang masih berada di kamarnya. “Mas, di luar ada Warja,” ujar Leni begitu sampai di kamarnya dan melihat sang suami sedang memakai dasi. “Warja?” Leni mengangguk sembari mendekati sang suami untuk membantunya memakai dasi. “Ngapain sepagi ini dia ke rumah. Harusnya dia langsung ke pabrik,” sambung Warja bertanya pada sang istri. “Dia bawa tas besar, mungkin ingin pamit pulang,” tebak Leni. “Pamit pulang? Aku belum mengizinkan dia pulang. Pabrik sangat membutuhkan Warja dan tidak mungkin membiarkan dia pulang di saat genting seperti ini,” tegas Marjuki pada sang istri. “Sudahlah, temui saja dulu. Tanyakan apa maksud kedatangannya, bagaimanapun dia sudah banyak membantu kita. Kini giliran kita mendengarkan apa yang dia inginkan,” saran Leni menasihati suaminya. “Baiklah, titahmu adalah mandat terbesar untukku,” ucap Marjuki sebelum mendaratkan kecupan penuh cinta di pucuk kepala sang istri dan meninggalkannya keluar untuk menemui Warja. Benar saja, Warja sudah menunggu di ruang tamu dengan pakaian casual dan jaket yang dia kenakan di badannya untuk menghalau udara dingin yang pagi ini begitu terasa menusuk. Sebuah tas besar tergeletak di samping kanan kaki Warja, dia memang terlihat begitu siap untuk pulang padahal seminggu lalu Marjuki sudah menolak izin yang Warja ajukan untuk pulang sejenak ke kampung halamannya. “Wah, sudah ganteng gini mau kemana, Boys,” sapa Marjuki. Warja langsung berdiri menyambut kedatangan bosnya dengan senyum dan membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat pada Marjuki. “Duduk dulu, mau kopi atau teh?” tawar Marjuki setelah melihat Warja kembali duduk. “Tidak usah repot-repot, Pak. Saya hanya ingin pamit,” kata Warja dengan ragu-ragu dan tidak berani mengangkat kepalanya sedikit pun. “Pamit pulang?” tanya Marjuki yang langsung diangguki oleh Warja. “Berapa lama?” lanjut Marjuki kembali bertanya. Berapa lama? Tentu Warja ingin menjawab selamanya karena sudah jelas sang ibu memintanya untuk pulang dan menetap di sana, bukan hanya pulang sejenak kemudian kembali ke tempat ini. Warja menarik napas dalam-dalam dari hidung, dia memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang Marjuki yang duduk di depannya. “Ibu meminta saya pulang dan menetap di sana,” jawab Warja dengan suara begitu berat. Jelas Marjuki bisa menangkap keterpaksaan Warja dari ucapannya. dia juga berat untuk melepaskan Warja. Bagaimanapun Warja sangat dia butuhkan saat ini, setidaknya sampai tiga tahun ke depan hingga masa jabatannya sebagai kepala desa berakhir. “Berhenti bekerja?” tanya Marjuki untuk memastikan apa yang dia tangkap dari kalimat yang dilontarkan Warja. “Iya,” desis Warja dengan menundukkan wajahnya. “Berhenti bekerja dan kembali menjadi petani desa. Sungguh sayang kalau secepat ini kamu memutuskan untuk berhenti. Padahal kamu bisa bertahan setidaknya tiga tahun lagi untuk mengumpulkan modal membuka usaha pertanian di desamu,” saran Marjuki yang sudah banyak tahu cita-cita Warja. Sebuah cita-cita yang membutuhkan modal awal yang cukup besar untuk merealisasikannya. Bekerja di tempat Marjuki dengan bayaran yang cukup banyak setidaknya akan membuat Warja memiliki tabungan untuk mewujudkan impiannya. “Aku tidak bisa menolak permintaan ibu, Pak. Apalagi beliau sudah sepuh dan terus memintaku segera pulang,” ungkap Warja dengan kepala menunduk. Apa yang dikatakan Marjuki memang benar. Sangat sayang kalau dia pulang sekarang, tapi bagaimanapun permintaan sang ibu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Warja tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tidak bisa memenuhi permintaan sederhana dari juminah yang hanya menginginkan dia untuk menemani masa tua Juminah dan Warita di rumah. “Bukan hanya kamu, kami pun tidak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini kalau ini permintaan dari ibumu. Bagaimanapun baktimu sebagai anak yang akan mengantarkan kesuksesanmu penuh berkah.” “Benar pak,” angguk Warja menyetujui ucapan Marjuki. “Aku minta maaf karena tidak bisa membantu bapak lagi. Tolong izinkan kepulanganku, Pak,” pinta Warja dengan penuh harap. “Tentu saja, demi ibumu kau akan mengizinkanmu pulang. Hubungi kami kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan,” pesan Marjuki sebelum berdiri untuk kembali ke kamarnya dan menyuruh Warja untuk menunggu sejenak. Marjuki mengambil satu bandel uang sebanyak sepuluh juta rupiah dari brangkas penyimpanan uang dan barang berharga dari kamarnya. Dia kembali keluar untuk memberikannya pada Warja sebagai ucapan terima kasih karena selama ini Warja sudah banyak membantunya. “Pulanglah, Boys. Titip salam buat ibumu, ini bukan pesangon, tapi tanda terima kasih. Urusan gaji pesangon dan lain-lain nanti akan di transfer Fajar,” ujar Marjuki sambil menyerahkan amplop cokelat berisi uang sepuluh juta pada Warja. “Terima kasih, pak.” “Salam untuk ibumu ya, ini untuk keluargamu.” Kali ini Leni yang memberikan sekantong oleh-oleh pada Warja untuk diberikan pada keluarganya di kampung. Warja hanya bisa mengucapkan terima kasih sebelum melangkahkan kaki meninggalkan kediaman Marjuki dan Leni untuk kembali ke rumahnya. __ [Mas, aku pulang. Tolong nanti jemput aku.] Satu pesan Warja kirimkan pada Wahyu, sang kakak tanpa memberitahu jam berapa Wahyu harus menjemput Warja karena dia sendiri tidak tahu jam berapa akan sampai di stasiun kereta. Perjalanan dari rumah marjuki ke stasiun kereta saja membutuhkan waktu tiga jam perjalanan kalau dia bisa menemukan kendaraan umum dengan mudah. [Pulang? Mendadak sih, kenapa?] Sebuah pesan balasan dari Wahyu membuat Warja bingung harus menceritakannya dari mana, sudah dipastikan Wahyu tidak tahu keluhan sang ibu yang kerap memintanya pulang. Kesibukan Wahyu yang kini sudah tidak lagi serumah dengan kedua orang tuanya memang membuat Wahyu sangat jarang berkunjung ke rumah Juminah dan Warita padahal mereka masih tinggal di satu gang yang sama. [Ceritanya panjang, nanti saja saat sudah di rumah aku ceritakan.] Balas Warja kemudian memasukan kembali ponselnya ke dalam saku. Menjelang dzuhur Warja baru tiba di stasiun kereta, dia kembali mengecek tiket online di ponselnya. Jam satu siang kereta yang akan membawanya pulang baru tiba. Dia memutuskan untuk salat dzuhur sejenak di sebuah masjid yang tepat berada di depan stasiun. “Aduh, maaf mas,” ucap seorang gadis yang berjalan terburu-buru hingga menabraknya. “Tidak apa-apa Mbak, Mbak mau kemana?” tanya Wahyu pada si gadis yang membawa ransel besar di punggungnya beserta tas jinjing besar di tangannya. “Ke stasiun Mas, takut ketinggalan kereta. Maaf ya mas ....” Gadis cantik yang memakai kerudung toska dengan long tuniq berwarna sama dengan bawahan celana hitam langsung bergegas berjalan meninggalkan Warja yang masih berdiri terpaku di tempatnya. “Cantik,” desis Warja yang langsung masuk ke dalam masjid begitu mendengar muazin sudah mengumandangkan azan. Usai salat Warja langsung bergegas ke stasiun untuk segera menscan barcode tiket online yang dimilikinya sebelum masuk ke ruang tunggu penumpang kereta. Baru saja Warja duduk di kursi tunggu penumpang, pengeras suara mengumumkan bahwa kereta yang akan membawanya pulang akan segera tiba. Dia kembali berdiri dan menggendong tasnya untuk berdiri bersama penumpang lain yang juga bersiap untuk naik ke kereta yang sama. Kereta berhenti, terlihat banyak penumpang langsung berhambur keluar dari dalam kereta yang sama banyaknya dengan penumpang yang berebut untuk segera masuk ke dalam kereta yang baru berhenti. “Alhamdulillah,” seru Warja lirih begitu dia menemukan nomor tempatnya duduk. “Loh, Mas naik kereta ini juga,” cetus gadis berkerudung toska yang tadi sempat menabrak Warja di depan masjid. “Warja Mbak, nama saya Warja.” Warja mengulurkan tangannya sembari duduk di samping sang gadis. “Adinda Ayu Lestari, mas bisa panggil aku Dinda,” balas gadis cantik berwajah imut dengan senyumnya yang langsung membuat Warja terpesona. “Dinda mau kemana?” tanya Warja mulai membuka obrolan, kebetulan kursi di depan mereka masih kosong hingga kereta bergerak, Warja pun memutuskan pindah duduk di depan Adinda agar mereka bisa mengobrol berhadap-hadapan. “Indramayu Mas,” jawab Adinda yang jelas membuat Warja kaget. “Loh kok sama sih, saya juga mau pulang ke Indramayu.” “Wah kebetulan ya Mas,” kata Adinda dengan senyum yang membuatnya terlihat bertambah manis dan menggemaskan di mata Warja. “Jangan-jangan kita jodoh ....” “Ah, apa?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
80.2K
bc

Sang Pewaris

read
52.9K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Dilamar Janda

read
318.8K
bc

Scandal Para Ipar

read
692.7K
bc

JANUARI

read
37.0K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook