bc

BAHAGIA SETELAH BERPISAH

book_age16+
42.1K
FOLLOW
524.3K
READ
revenge
fated
arrogant
CEO
drama
affair
punishment
surrender
stubborn
Neglected
like
intro-logo
Blurb

Yuni adalah seorang Ibu rumah tangga yang belanjanya di jatah oleh Hamdan, suaminya sendiri. Sehari-hari, Yuni hanya di berikan uang sepuluh ribu rupiah saja untuk memenuhi kebutuhannya karena urusan dapur sudah diambil alih oleh Hamdan. 

Yang membuat Yuni bersedih adalah Hamdan sering sekali berkata menyakiti hatinya. 

"Mas, aku mau ikut ke undangan pernikahan temanmu boleh?"

"Ini bukan pesta topeng. Kamu mau buat aku malu!"

Di satu sisi, keluarganya juga ikut campur urusan rumah tangga mereka. 

"Kamu cuma numpang, Yun. Seharusnya lebih tahu diri!" 

Yuni sudah tak sanggup lagi. Dia mulai bangkit dengan bekerja. Hamdan sebagai suaminya tak pernah tahu masa lalu Yuni. 

"Ini, Mas!" 

"Apa ini?" 

"Kukembalikan uangmu karena aku sudah bekerja!"

Bagaimana kehidupan Yuni selanjutnya. Apakah dia akan bertahan setelah Hamdan ketahuan mendua? 

chap-preview
Free preview
Ini Uangmu, Mas!
BAHAGIA SETELAH BERPISAH ** "Mas, beras habis!" ucapku pada suamiku yang sedang asyik memainkan gawainya. "Loh kok cepat sekali," kata nya santai. "Ya ialah inikan sudah mau akhir bulan. Dua hari lagi akhir bulan. Sekalian belikan semua kebutuhan buat keperluan dapur. Sudah pada habis," kataku memberikan dia catatan. Dia mengambilnya dengan kasar. "Kamu harus hemat-hemat kalau masak, Yuni. Beras 15 kilo di tambah 5 kilo kok habis dalam sebulan. Harusnya masih bersisa pasti anak kamu si Fatih banyak makannya!" kata suamiku ketus. Aku hanya mencibirnya, dia selalu mengungkit masalah Fatih. Ya, Fatih adalah anak bawaan ku. Aku adalah janda ketika menikah dengan Mas Hamdan. Aku menikah pertama kali setelah lulus SMA dengan ayahnya Fatih. Pernikahan yang sebentar karena saat Fatih berusia dua tahun ayahnya meninggal tersengat listrik saat bekerja. Suamiku dulu pekerja konstruksi istilah kerennya. Istilah lainnya adalah kuli bangunan. Naas jodoh kami hanya sebentar. Sepeninggalan ayahnya Fatih, aku harus berjuang menghidupi anakku. Semua kulakukan mulai dari jadi kuli cuci, gosok dan pembantu orang. Namun uang yang ku peroleh relatif kecil hanya bisa buat makan kami sehari-hari. Yang paling membuat aku ngenes, Bapak ku sakit keras dan tidak bisa membiayai sekolah Wira adik lelakiku. Hidupku benar-benar diuji saat itu. Ku katakan pada Ibu kalau aku mau jadi TKW saja buat membantu perekonomian keluarga. Ibu tercengang dan tidak setuju pada saat itu. Namun, tekad ku sudah bulat demi kesejahteraan kami semua dan biaya berobat Bapak. Akhirnya Ibu setuju. Berangkatlah aku menjadi TKW ke Hongkong. "Heh, kamu dengar gak, sih! Malah melamun!" bentak suamiku dengan wajah masam. Aku tersentak mengingat masa laluku kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. "Kamu kok perhitungan sama, Fatih. Dia itu anak yatim. Ingat, Mas. Kamu dulu janji kalau mau menikahi ku, kamu juga mau menerima anakku," kataku mengingatkan dia. "Itu dulu, sekarang zaman sudah susah ditambah kita sudah punya anak. Aku sebenarnya keberatan ngurus si Fatih. Ngasi makan dia kau kira enak!" katanya menunjuk wajahku. "Astagfirullah, sadar, Mas. Berpahala mengasuh anak yatim." "Ah, diam lah kamu. Ceramah lagi!" Mas Hamdan melengos begitu saja dari hadapanku. ** Aku sedang menidurkan Sesil anak ku dengan Mas Hamdan. Usia Sesil masih 6 bulan dan sedang aktif-aktifnya sebagai bayi. Aku dan Mas Hamdan sudah menikah kurang lebih dua tahun. Kami sekarang mengontrak rumah tak jauh dari rumah Ibunya. Aku yang meminta supaya tidak serumah lagi dengan mertua. Karena Ibunya suka mencampuri urusan kami. Ku dengar pintu rumah dibuka, Mas Hamdan pulang membawa belanjaan. Selama menikah Mas Hamdan yang membeli segala kebutuhan dapur. Bila sudah masuk awal bulan seperti sekarang. Aku tak di perkenankan pegang uang yang banyak. Dia hanya menjatahi ku 10 ribu perhari buat keperluan pribadiku seperti membeli pembalut bila aku datang bulan dan membeli sabun buat mencuci pakaian. Semua keperluan rumah tangga sudah di penuhinya. Kalau aku meminta uang buat keperluan mendadak seperti mengirimi adikku di kampung, pasti Mas Hamdan marah. Apalagi aku minta uang buat keperluan sekolah anakku. Dia sudah dipastikan marah. "Yuni, ini belanjaan yang kamu minta!" katanya memanggilku. Aku mendatanginya dan bergegas membuka dua buah bungkusan plastik. Semua sudah dibeli seperti gula, garam, minyak sayur, cabai, tomat, bawang dan segala yang ku tulis kan namun dahiku mengernyit ada yang tidak di beli. "Mas, dimana diapers dan s**u Sesil?" tanyaku mengecek lagi belanjaan itu. Dia mendengkus padaku. "Yuni, selama hampir enam bulan aku tekor beli s**u dan diapers. Kamu mau merampokku ya. Asi mu saja buat s**u si Sesil dan dia tak perlu pakai diapers. Pakai kan saja celana biasa dan cuci kering saja celana nya buat menghemat pengeluaran. Kau kira gampang cari uang, Ha!" Dia malah membentakku. "Asi ku gak banyak, Mas. Kamu kan tahu aku makan juga menghemat sehingga Asi ku sedikit. Sedangkan kalau gak pakai diapers Ibumu sendiri akan marah," "Banyak alasan. Itu dulu waktu kita masih serumah sama Ibu sekarang kita sudah pisah rumah, masalah Asi dan s**u, aku gak mau tahu. Yang kutahu banyak perempuan gak perlu beli s**u buat anaknya. Mereka juga bisa kerja sambil momong anak gak kayak kamu cuma bisa menandah ke aku aja. Seharusnya kamu contoh Mbak Lia atau Mbak Astri tetangga kita. Mbak Lia itu keren sekali bisa kerja dan menghasilkan," katanya sambil tersenyum ringan membuat aku curiga. Suamiku memang suka curi pandang ke Mbak Lia. Dia Janda tanpa anak dan memang pekerja kantor. "Kamu ini lucu sekali. Mbak Lia itu pegawai kantoran dan Mbak Astri itu Dokter. Mereka punya banyak uang, Mas. Beda lah dengan aku. Aku kan cuma Ibu rumah tangga yang di jatah-i kamu. Kalau aku kerja bagaimana Sesil? Dia masih enam bulan?" protes ku kesal ke Mas Hamdan. "Makanya kalau gak punya pilihan legowo saja. Turuti kata suami. Masih nadah aku aja kamu pula yang mau ngatur aku. Kecuali kamu bisa menghasilkan duit sendiri. Barulah aku gak mandang kamu sebelah mata," ujarnya sinis. Aku diam memandangnya dengan wajah datar. Kesal dengan kesombongan suamiku. "Mana uang harian aku, Mas!" kataku menadahkan tangan padanya. Dengan menggerutu dia mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari kantongnya. "Nih!" Aku tergelak melihat selembar uang lima ribu itu. "Kok segini, Mas. Biasanya sepuluh ribu!" Aku kembali protes. "Aku sudah hitung biaya sabun hanya 500 rupiah yang sashet, pembalut kamu juga gak sampai 100 ribu harganya. Jadi selama ini aku terlalu banyak ngasih sepuluh ribu sama kamu. Kamu emang pintar uang itu kamu sembunyikan sendiri pasti buat anak kamu si Fatih. Mulai sekarang aku potong uang kamu supaya lebih hemat karena aku sudah membelikan segala keperluan rumah tangga kita." Aku terkaget mendengarnya tak sangka suamiku setega ini padaku dan Fatih. Apa salahnya membantu anak yatim. Lagian uang sepuluh ribu tak sebanding dengan gajinya sebulan di pabrik tekstil ternama. "Tega kamu, Mas!" "Harus supaya kamu berpikir dan gak terlalu menuntut aku," ujarnya. "Assalamualaikum, Hamdan … Hamdan …." Ibu mertua datang. Aku menghela napasku. Dia selalu datang di saat seperti ini. Ibu masuk begitu saja dan melihat kantung plastik berisi belanjaan. "Eh, baru pulang belanja ya," kata Ibu melihat-lihat kantung belanjaan. "Ya begini Bu kalau lagi awal bulan," jawab Mas Hamdan. "Oh, kebetulan ada beras 5 kilo. Buat Ibu ya, Nak. Sekalian uang jatah buat Ibu," kata Ibu ke Mas Hamdan sekaligus melirikku. Mas Hamdan berlalu mengambil uang dari kamar dan keluar menyerahkan uang kepada Ibu. Beberapa lembar uang yang aku tak tahu nominalnya namun kelihatan banyak. "Terima kasih, Nak. Sekalian Ibu bawa beras ini ya," ucap Ibu. "Mas, mana cukup buat sebulan kita makan hanya 15 kilo. Kalau kurang kamu marah. Kita makan sehari 3 kali Mas. Dan kamu kalau makan banyak-banyak," "Pelit banget kamu sama Ibu! Kamu ajari istrimu supaya jangan pelit sama orang tua!" kata Ibu sengit padaku. Aku mendesah perlahan, bukan maksudnya aku pelit tetapi keuangan di pegang Mas Hamdan dan bila kebutuhan kurang maka dia akan marah besar padaku sedangkan Ibunya terkadang suka datang ke sini dan seenaknya sendiri mengambil apa saja. Seperti beras dan lain-lain. "Udahlah, Yuni. Coba aja dulu beras 15 kilo dicukupkan dong. Benar kata Ibu kamu pelit sekali sama Ibu." Mas Hamdan justru membela perkataan Ibu. "Pelit? Gak sadar ya? Kamu yang pelit, Mas. Buat makan aja kamu perhitungan apalagi ngasi duit ke aku." "Berani kamu ngatai aku. Dasar gak bersyukur kamu. Sebenarnya beras itu cukup kalau anak kamu gak ikut makan!" ketusnya lagi padaku. Terdengar suara Sesil menangis, aku mendengkus melihat mereka kemudian berlalu melihat dia terbangun dari ayunannya. Lantai basah karena dia ngompol. "Astaga, Yuni! Kamu kok jorok amat, sih. Anak ngompol di lantai. Pakai diapers dong!" protes Ibu melihat ku sedang membersihkan lantai lalu ku gendong Sesil buat diganti celananya. "Tanyakan sama Mas Hamdan. Katanya rugi buat beli diapersnya Sesil!" sungutku pada Ibu mertua. Dia mencibirku. "Makanya kamu kerja. Kamu selalu nadah sama anakku aja. Kebutuhan yang mau di tanggung nya banyak termasuk ngasi makan anak kamu juga," ucapnya asal bicara. Mengesalkan, gak dia dan anaknya sama saja memojokkan ku. "Hamdan Ibu pulang dulu. Ruwet ngelihat kelakuan istrimu." Ibu mertua berlalu sekaligus menatap aku sinis. "Yuni, aku mau tidur dulu. Dengar jangan ganggu aku, ngerti!" kata Mas Hamdan melengos ke kamar. Mengesalkan benar-benar mereka sekeluarga. Aku kesal dan marah dengan sikap suamiku yang perhitungan. Menyuruh aku kerja padahal dia tahu aku punya bayi. Mengungkit-ungkit apa yang di makan Fatih padahal dia anak yatim dan membandingkan aku dengan Mbak Lia yang seorang pekerja kantoran. Aku tahu ketika menatap Mbak Lia sang janda matanya gak berkedip. Lihat saja Mas, kamu gak tahu siapa aku. Aku akan balas kamu. Aku bisa jadi seperti Mbak Lia bahkan lebih kalau aku mau. Selama ini kamu gak bersyukur menikahi aku. Suamiku gak tahu kalau aku punya uang banyak. Saat aku menjadi TKW di Hongkong. Majikanku menghibahkan sebagian hartanya padaku karena katanya hanya aku yang mau merawat dia di hari tuanya. Majikanku wanita tua yang tidak punya siapa-siapa lagi. Sebagian hartanya di hibahkan ke yayasan sosial dan sebagian diberikannya padaku. Uang itu sudah ku pakai sebagian buat membangun rumah Bapakku di kampung dan buat usaha ternak sapi dan kambing Bapakku dan Wira. Aku sama sekali gak memberi tahu suamiku karena aku tak sangka dia sangat pelit, begitupun keluarganya. Selama ini aku masih bersabar dan kupikir dia akan berubah. Namun, dia malah menganiaya anakku Fatih. Kesabaran ku sirna, biar dia tahu siapa aku dan Fatih. ** Pagi hari, aku sudah menyiapkan anakku Sesil dan Fatih juga sudah rapi mau pergi sekolah. Sebentar lagi anakku akan masuk SMP. Dia menungguku di luar karena kukatakan aku akan mengantarnya ke sekolah. Aku sedang menatap diriku di cermin. Kulitku terlihat kusam karena kurang di rawat. "Mau kemana kamu, Yuni. Pagi-pagi tumben sudah rapi. Biasanya kamu masih molor alasan Sesil gak bisa tidur malam," ucap suamiku. Aku mendengkus kesal mendengarnya. Dia tak pernah membantuku mengurus Sesil malam hari. "Mau kerja!" ketusku padanya. "Ha! Gak salah dengar aku, tunggu, lihat kamu pakai bedak segala. Ngapain sih pakai bedak segala. Yang ada kamu ngabisin bedak, wajah kamu tetap aja jelek dan hitam." Aku benar-benar marah mendengar ucapan suamiku. Aku meliriknya tajam. Dia malah terkekeh menertawakan ku. "Nih!" Aku memberikan uang lima ribu diatas meja padanya. "Apa ini!" "Duit yang kamu kasih. Aku bakal kerja dan gak butuh uang lima ribu perak yang kamu kasih." Aku tersenyum melihat reaksinya. Mas Hamdan mendumel padaku. Bersambung.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook