bc

Nostalgia Dua Asmara [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

book_age18+
1.5K
FOLLOW
15.2K
READ
billionaire
possessive
sex
one-night stand
arranged marriage
drama
bxg
city
enimies to lovers
affair
like
intro-logo
Blurb

Di pesta reuni kampusnya, Tamara Ratu Pranada dipertemukan kembali dengan Henry Giorgio Antarez, saingan sekaligus musuh bebuyutannya sejak SMA. Tamara yang sebelumnya sudah dinikahi oleh Dennis Hasani, seorang taipan muda pilihan orangtuanya, terpaksa mendatangi pesta reuni itu seorang diri dikarenakan Dennis sedang menjalani bisnis tripnya. Dari pesta reuni inilah, Tamara yang terlanjur mabuk berat usai menenggak terlalu banyak alkohol terpaksa dibawa pulang oleh Henry untuk menginap di apartemennya.

Malam terlarang yang tak terhindarkan pun terjadi. Baik Henry maupun Tamara sama-sama bersikeras untuk melupakan kejadian itu, namun anehnya waktu seolah-olah bersekongkol untuk terus mempertemukan keduanya lagi dan lagi. Merasa risau, akhirnya Tamara memutuskan untuk melakukan sesi hipnoterapi guna menenangkan pikirannya, sekaligus untuk menemukan jawaban atas fobia-fobianya yang menurutnya tak masuk akal.

Siapa sangka sesi hipnoterapi yang dilakukan Tamara malah memunculkan rahasia mengejutkan dalam hidupnya. Ternyata selama ini pertemuannya dengan Henry dan Dennis bukanlah suatu kebetulan. Mereka adalah bagian besar dari kehidupan masa lalu Tamara …

Mampukah Tamara menyelesaikan apa yang sempat tertunda di kehidupan masa lalunya? Ataukah kehidupan masa lalunya yang kelam bersama dengan Henry dan Dennis akan terulang kembali?

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - My One Night Stand is My Enemy
Gedung Emerald Panorama Hotel yang jadi tempat reuni alumni Columbus Central University itu terdengar riuh. Suara berisik manusia yang sedang asik bicara satu sama lain beradu dengan alunan musik pop yang sesekali berganti genre menjadi musik jazz, rock dan disco. Seorang wanita berusia dua puluh empat tahun berjalan menyusuri hall gedung hotel bintang lima itu sendirian. Baru setahun sejak dirinya resmi dipersunting oleh seorang konglomerat yang usianya empat tahun lebih tua darinya, tapi sayangnya malam ini suaminya tak bisa hadir untuk menemaninya menghadiri acara reuninya. Dialah Tamara Ratu Pranada, istri Dennis Hasani, CEO sekaligus pewaris Voyage Industries. Tamara menggenggam clutch warna hitamnya dengan erat. Jalannya cepat, meskipun kaki jenjangnya sedang mengenakan high heels setinggi sepuluh senti—ditambah dengan mini dress warna putih yang panjangnya hanya menutupi sampai batas tengah pahanya yang mulus. Raut wajahnya agak masam. Sebenarnya Tamara malas mengikuti acara reuni yang menurutnya terlalu cepat ini. Selain karena keabsenan Dennis, secara tak langsung Tamara juga pasti akan bertemu kembali dengan saingan sekaligus musuh bebuyutannya sejak dia duduk di bangku SMA dulu, yaitu Henry Giorgio Antarez. Tepat setelah Tamara selesai mengisi buku tamu, tiga orang sahabatnya yang selalu setia menemaninya sejak dia menempuh pendidikan di jurusan hukum dulu, langsung bisa mengenalinya. “Tamara! Sini!” panggil Marion heboh. “Hey, Nyonya Hasani. Bagaimana kabarmu?” tanya Carmen sembari bercanda, seolah-olah dirinya sudah lama tak bersua dengan Tamara. “Tidak usah aneh-aneh, Carmen. Baru kemarin kita ngobrol di telepon,” ujar Tamara. Kristin beralih angkat bicara. “Suamimu tidak ikut?” tanyanya bingung. Tamara menggeleng. “Dennis sedang ada business trip ke Busan,” jawabnya. “Oh, kasihan … Semoga suamimu tidak kepincut dengan keimutan eonni-eonni Korea, ya?” gurau Marion. Tamara membalas gurauan Marion, “Sugar daddy-mu mana?” “Sugar daddy-nya sedang asik berciinta dengan sugar baby barunya,” sahut Kristin dengan senyum lebarnya. Carmen terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Tidak salah kampus mengadakan reuni sedini ini? Padahal belum ada lima tahun kita lulus. Ini sih namanya bukan reuni, tapi gala dinner,” pikirnya. “Aku sependapat denganmu. Dengar-dengar rektor lama juga sudah mengundurkan diri,” ucap Tamara. “Memang. Rektor baru namanya Pedro Sanjaya, profesor lulusan Universitas Harvard,” timpal Marion Raut wajah Tamara berubah curiga, “Kira-kira siapa, ya, yang awalnya mengusulkan untuk mengadakan reuni secepat ini? Mungkinkah …” “Hello, ladies.” Tamara seketika tersentak kaget saat dirinya mendengar suara laki-laki tampan yang keberadaannya paling tak diinginkannya malam ini. Melihat musuh bebuyutannya sudah menampakkan diri di pesta reuni itu, dengan sengaja Henry dan kawannya, Dion, mampir mendatangi Tamara dan ketiga sahabatnya—sekadar untuk menyapa sekaligus membuat Tamara naik pitam. ‘b*****t. Sudah kuduga aku akan bertemu dengan cecunguk ini,’ geram Tamara dalam hati. “Bagaimana tempat dan dekorasinya? Keren, kan?” tanya Dion bangga. “Kamu yang mengurus acara reuni ini?” tanya Carmen seraya membelalakkan matanya. “Yup, ini semua ideku,” jawab Dion. “Buat apa sih? Belum lama kita lulus! Kau terlalu berlebihan!” oceh Tamara sebal. Henry tersenyum manis, mempertontonkan lesung yang menghiasi kedua pipinya. “Ternyata kamu masih sama,” tuturnya lembut. Diraihnya lengan kanan Tamara dan lanjut bicara, “Masih Tamara yang dulu, perempuan yang hobinya marah-marah.” Disingkirkannya tangan Henry dari lengannya dengan kasar. “Sentuh aku lagi dan akan kutendang ‘pisang berurat’-mu,” gertak Tamara. Senyum di wajah rupawan Henry malah melebar. “Let’s go, bro,” ajaknya pada Dion. “Aku tak mau berurusan dengan beruang yang baru kelar hibernasi,” sindirnya pada Tamara, lalu pergi bersama dengan Dion. Ditatapnya punggung Henry dari kejauhan dengan mimik kesal. “b******k. Kenapa pula aku harus selalu dipertemukan dengan Henry?” gumam Tamara. “Mungkin kalian jodoh?” canda Kristin. Ponsel Tamara, yang dia simpan di dalam clutch-nya, berdering dengan kencang. Ada satu panggilan masuk dari suaminya. “Sebentar, Dennis menelponku,” pamitnya, lalu pergi mencari tempat yang lebih sepi untuk menjawab panggilan masuknya. Pilihannya jatuh pada stand minuman beralkohol yang letaknya ada di pojokan. “Kenapa, Dennis?” panggilnya. “Hai, sayang,” sapa Dennis mesra. “Kamu sudah sampai di tempat reunimu?” tanyanya. “Sudah,” jawab Tamara. “Kamu masih stay di Busan?” “Yeah, aku sedang minum soju sambil makan barbekyu,” tutur Dennis seraya membalik sepotong barbekyunya menggunakan sebuah capit. “Sendirian?” tanya Tamara penasaran. Dennis menggeleng, “Tidak, dengan kolega kerjaku.” Dia tersenyum. “Semuanya laki-laki, kamu tenang saja,” imbuhnya. “Oh,” ucap Tamara acuh tak acuh. Dia lagi-lagi dibuat dongkol saat tiba-tiba musuh bebuyutannya menghampirinya kembali. “Permisi, Nona,” sapa Henry. Dengan sigap Tamara menjauhkan ponselnya dari telinganya dan lanjut bicara pada Henry. “Mau apa kamu di sini?” tanyanya agak ketus. “Aku mau ambil minuman. Tubuhmu menghalangiku,” jawab Henry serius. Tamara langsung bergerak tiga langkah menjauhi stand minuman tersebut. Usai mengambil segelas blue curacao-nya yang masih dingin, Henry yang memang iseng dan nakal itu beralih menempelkan gelas minumannya ke pipi kiri Tamara. “Cheers,” godanya. “Ugh,” gumam Tamara sembari menatap Henry dengan sorot tajam. Dia lanjut bicara kembali dengan suaminya di telepon, “Sampai mana tadi?” Dennis malah balik bertanya, “Itu suara siapa?” “Temanku …” Tamara menggelengkan kepalanya selang dua detik kemudian. “Ah, bukan. Maksudnya dia dulu satu angkatan denganku,” sanggahnya. Dennis menghela nafas panjang. “Nanti kuhubungi lagi. Jaga dirimu baik-baik. I love you,” tutupnya. Nada bicaranya terdengar agak tawar dan lebih datar dibanding sebelumnya. “Bye.” Panggilannya dengan Dennis-pun berakhir, tapi Henry, yang sedaritadi diam-diam menguping pembicaraan Tamara, masih setia berdiri di samping Tamara seraya menyesap segelas blue curacao-nya dan menatapi kerumunan orang yang sedang asik berpesta di hadapannya. “Kenapa masih di sini?” tanyanya heran. Ditatapnya wajah cantik Tamara dengan seringainya. “Why? Memangnya kamu penjaga stand minuman ini?” sarkas Henry. ‘Sialan,’ umpat Tamara dalam hati. “Aku mau ambil minuman juga,” ujarnya, lalu pergi meninggalkan Henry sendirian selepas mengambil segelas jack daniels. Usut punya usut, selain dengan dalih mempererat tali silaturahmi, ternyata alasan lain Dion menyelenggarakan acara reuni ini adalah untuk mengumumkan soal kabar pernikahannya dengan seorang putri bangsawan asal Inggris—plus memberitahu pada yang lainnya kalau dirinya sekarang menjabat sebagai CEO di perusahaan pertambangannya, menggantikan ayahnya yang sudah pensiun. Sejak masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah dulu, Dion memang terkenal sebagai mahasiswa playboy yang suka pamer. Dia jadi semakin besar kepala semenjak ayahnya masuk ke dalam jajaran direksi yang ikut merenovasi gedung Columbus Central University. “Harusnya Dion masuk jurusan sastra, ya? Pidatonya bagus sekali,” sarkas Marion yang sedaritadi sibuk mendengarkan pidato angkuh yang disuarakan Dion dari atas pangggung. “Sudah kuduga, dia pasti cuma mau pamer kekayaan. Aku malah kasihan dengan calon istrinya,” timpal Kristin. Fokus Carmen teralihkan pada tiga gelas kosong bekas minum minuman beralkohol yang baru saja selesai ditenggak Tamara. “Kamu tidak salah minum sebanyak ini?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. “Tidak, kok. Sudah lama aku tidak minum minuman beralkohol,” jawab Tamara yang raut wajahnya nampak agak teler. Marion ikut memperhatikan Tamara. Kulit wajah dan lehernya memerah, mirip seperti orang yang terlalu lama berjemur di bawah sinar matahari. “s**t, wajahmu …,” komentarnya horor. “Kamu pakai blush on berapa kilo?” Dengan tubuh sedikit sempoyongan Tamara beranjak dari atas kursinya. “Ehh … Mau ke mana?” tanya Carmen sembari memegangi pergelangan tangan kanan sahabatnya. “Mau cari angin segar. Di belakang sini ada kolam renang, kan?” jawab Tamara. Carmen mengangguk. “Jangan minum lagi!” perintahnya khawatir. “Tidak, cantik, aku sudah puas,” sahut Tamara dengan sorotnya yang sayu. ***** “Sudah bertahun-tahun berlalu dan kau masih saja bertengkar dengan wanita lulusan cumlaude itu?” tanya Saga pada Henry. Keduanya sedang duduk santai di kursi pantai yang letaknya ada di samping kolam renang. Lebih memilih untuk menikmati sebatang rokoknya masing-masing daripada mendengarkan celotehan Dion yang tak ada artinya. Tapi Henry tidak merespon. Saga mengalihkan topik pembicaraan, “Mana tunanganmu? Selama ini aku cuma lihat wajahnya lewat foto saja, padahal aku juga mau melihatnya secara langsung.” “Kalula tak bisa hadir, terpaksa lembur karena akhir-akhir ini rumah sakit kedatangan banyak pasien,” jawab Henry. “Oh, aku baru ingat. Tunanganmu seorang perawat, bukan?” Henry hanya mengangguk. Sepasang maniknya lantas terpaku pada Tamara. Sambil memegangi clutch-nya dia berdiri di tepi kolam renang yang airnya jernih itu. Karena sudah terlanjur mabuk, tanpa sadar Tamara meracau pada salah seorang laki-laki—mantan juniornya—yang juga diperbolehkan hadir ke acara reuninya hari ini. “Hey, kau tahu? Seandainya aku tak punya bathophobia, aku pasti sudah menyuruh Dennis untuk membangun kolam renang yang luas di halaman belakang rumah kami …” “Kau siapa?” tanya laki-laki itu bingung, yang hanya dijawab Tamara dengan senyumnya yang terlihat aneh. Merasa tak nyaman, dia pergi meninggalkan Tamara setelahnya. Saga lanjut menyikut lengan Henry. “Hey, coba lihat itu. Jangan bilang dia mau berenang?” desisnya sambil menatapi Tamara dengan serius. “Kalau dilihat-lihat, tubuhnya boleh juga. Payudaranya besar. Bokongnya bulat. Aku benci mengakui ini, tapi Tamara memang sexy,” pujinya. “Suaminya menang lotere,” ujar Henry dengan senyum tipisnya. Alkohol itu mulai menunjukkan reaksinya di tubuh Tamara. Kepalanya terasa berputar. Perutnya mual. Kakinya lunglai. Karena sudah tak tahan ingin segera mengeluarkan isi perutnya, dengan cekatan Tamara beranjak menuju kamar mandi. Naas, baru dua langkah dia berjalan, karena basah air kolam dan terpeleset high heels-nya sendiri, Tamara langsung tumbang dan jatuh ke dalam kolam renang sedalam dua meter. “f**k,” umpat Henry. Tanpa pikir panjang dia langsung menyelam masuk ke dalam kolam renang itu untuk menyelamatkan Tamara, yang tubuhnya semakin tertarik ke dasar kolam. Air kian mengisi paru-paru Tamara, membuatnya sesak dan kesulitan menampung oksigen. Matanya perlahan terpejam, tak kuasa menahan perih akibat paparan cairan kaporit. Namun bayangan akan insiden tenggelam yang selama ini selalu ditakutinya, tak sampai jadi kenyataan. Sepasang tangan yang kekar dan berotot itu dengan sigap menyelamatkan dirinya dan membawanya naik ke permukaan … **Keesokan paginya** Begitu bangun dari tidur lelapnya, pusing dan mual yang dirasakan Tamara sudah hilang. Tapi dirinya dihadapkan pada masalah yang lebih besar. Ditatapinya sekelilingnya dengan raut wajah ngeri. Ini bukan kamar tidurnya. “Aku di mana?” gumamnya. Tamara lanjut duduk di atas ranjang. Saat selimut putih tebal yang menutupi gundukan ranumnya melorot, kengerian lain seketika menghinggapi dirinya. Dia telanjang, dan bukan hanya itu, ada tiga buah tanda kebiruan yang menghiasi gundukan ranumnya. Diturunkannya lagi dengan perlahan selimut putih tebal itu sampai batas lututnya, dan tanda kebiruan lain rupanya juga menghiasi kedua pahanya. Mustahil Dennis yang membawanya ke sini. Tidak mungkin penerbangan dari Korea Selatan memakan waktu sesingkat itu. “Lalu dengan siapa aku berciinta tadi malam?” ucap Tamara takut-takut. Setelahnya, dia kalang kabut mencari pakaiannya, dan hasilnya nihil. Mini dress-nya raib, bersamaan dengan hilangnya panties, bra dan juga clutch-nya. “Mampus,” decak Tamara panik. Tapi dia tetap memberanikan diri untuk keluar dari kamar tidur itu, berbekal selimut putih tebal untuk menutupi tubuh polosnya. Jantungnya hampir saja copot saat dirinya mendapati ada Henry, yang sedang bertelanjang d**a sambil melakukan push up di ruang tamu. “He … Henry?” panggil Tamara terbata-bata. Henry menoleh lalu tersenyum. “Good morning,” sapanya. Dihampirinya Tamara seraya mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan sebuah handuk kecil. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanyanya. “Di … di mana kamu tidur semalam?” tanya Tamara, yang masih berharap kalau ini semua hanyalah mimpi buruk. “Di atas ranjang, di sampingmu,” jawab Henry santai. “Memangnya kamu pikir aku akan tidur di mana, hm? Kamar tidurku kan cuma ada satu,” imbuhnya dengan tatapan merayu. Tamara menelan salivanya dengan kasar. “Apa kita … melakukan hubungan s*x?” tanyanya dengan nada bicara yang terdengar lebih pelan dibanding sebelumnya. “Menurutmu?” ucap Henry seraya menyeringai. Dia meraih sebuah apel yang tergeletak di atas meja lalu memakannya persis di hadapan Tamara. Dan saat melihat ada dua tanda kebiruan yang juga menghiasi leher Henry, satu dekat jakunnya, itu artinya hanya satu. Tamara sudah ditiduri oleh musuh bebuyutannya sendiri. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥ Thanks for reading~ jangan lupa tap love, komen dan krisarnya yah~ luv u all ♥♥

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook