bc

(Indonesia) MY DIAMOND LADY

book_age0+
2.7K
FOLLOW
46.1K
READ
age gap
badboy
powerful
boss
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Dia cantik, glamor dan berlian selalu menghiasi tubuhnya. Dia sempurna, teratur dan mempesona. Tapi dia seperti penyihir saat berada di balik meja kerjanya yang licin dan elegan. Hidupnya hanya untuk berlian-berlian itu hingga lupa bahwa usianya sudah 40 tahun! Jika saja emosi tidak menguasaiku saat itu, tak mungkin aku terdampar di tempat ini. Berada di sisi penyihir itu dan mengurus semua jadwal kerjaannya hingga menjadi pacar palsunya dan membiarkan semua naskahku terbengkalai di folder." - Rolf Zimmberman.

"Ya Tuhan! Tak bisakah lelaki ini merapikan bulu-bulu di wajahnya? Dia juga merokok seperti cerobong asap! Tangannya akan mengotori berlian-berlian di etalase. Dan bisakah dia tak menatapku lekat saat berbicara? Mata kucingnya mengusikku." - Elena Von Arx.

Hubungan yang aneh antara dua orang yang diawali dengan kerusakan. Keduanya tidak cocok dan bagai muncul dari dua dunia yang berbeda. Elena kerap kali melotot saat Rolf muncul di depannya dengan rambut dan cambang berantakan, mengomel ketika lelaki itu masuk ke ruangannya dengan aroma rokok menempel.

"Apakah kau pernah bercinta sebelumnya, Elena? Jika belum, aku ingin mengecup sekujur tubuhmu yang ditaburi berlian, tanpa sehelai benangpun karena kau adalah My Diamond Lady."

chap-preview
Free preview
ONE
Tribeca, Lower Manhattan. New York. Amerika Serikat.   Tribeca adalah kawasan di Lower Manhatan, New York, Amerika Serikat. Kawasan ini berada di selatan Canal Street, antara Broadway dan West Street, meluas ke selatan hingga ke Chamber Street. (Sumber :https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tribeca) Tribeca menjadi kawasan bagi komunitas seniman di Lower Manhanttan hingga Tribeca menjadi area para seniman yang membentuk organisasi seniman. Para musisi, penari, penyair bahkan penulis fiksi memilih menetap di Tribeca. Houston Street menjadi blok tempat tinggal mereka.   Hampir semua gedung apartemen dihuni para seniman di Houston Street tersebut termasuk salah satu penulis yang berasal dari Jerman berada di apartemen nomor 52, yang meja kerjanya berada tepat di depan jendela yang selalu terbuka, menampilkan jalanan ramai Houston Street tiap harinya.   Di depan jendelanya lah Rolf Zimmberman mengetik naskah novelnya selama 5 jam dalam sehari, ditemani cangkir kopi yang beberapa kali isi ulang bersama bungkus rokoknya yang terus berkurang isinya. Ia adalah seorang penulis fiksi dewasa yang memilih New York sebagai tempat ia mengadu nasib. Salah satu naskahnya berhasil berada di rak Best Seller dan Rolf berjuang kembali untuk menulis kisah lainnya yang tak kalah menariknya.   Ide Rolf tak pernah habis selama ia memiliki inspirasinya yang bersedia berada di sisinya. Jemima Hudson. Salah satu model Amerika yang jatuh cinta pada Rolf ketika novel pertama lelaki itu meledak di pasaran. Ialah inspirasi Rolf untuk karya selanjutnya apalagi Rolf sudah melamar Jemima dan berencana akan menikah di musim semi tahun ini, tepat diperkirakan tulisan Rolf selesai. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu, Rolf mengetik bab lanjutan naskahnya ketika pintu apartemennya terbuka. Ia tak perlu bertanya siapa yang dengan santainya memasuki apartemen. Satu-satunya orang yang memiliki akses bebas di apartemen Rolf hanyalah Jemima. Ia memutar kursinya dan mendapati perempuan muda itu berdiri di tengah ruangannya.   "Hai, selamat pagi." Rolf berdiri dari duduknya, melangkah lebar ke arah Jemima dan mengecup ringan bibir merah muda yang terkatup itu. Ia tertawa kecil. "Aku belum merokok tetapi sudah mandi." Jemima tampak menelan ludah. Perempuan langsing dengan rambut panjangnya yang kemerahan tampak menghindari tatapan mata Rolf. "Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Suaranya terdengar seperti orang tercekik. Alis lebat Rolf tampak berkerut. Ia melepaskan rangkulannya pada bahu Jemima yang bahkan menolak untuk duduk. "Ada apa?" Jemima terdengar membersihkan kerongkongannya. Bahkan kali ini perempuan jangkung itu menunduk. "Kita tidak bisa melanjutkan semua ini, Rolf." Rolf diam saja. Menunggu. Sikap diam Rolf justru mengganggu Jemima hingga dia memberanikan diri mengangkat muka dan terdiam saat mendapati sinar mata berkilat Rolf. "Aku tak bisa menikah denganmu." Bagi Jemima, lebih baik Rolf mengamuk daripada bungkam. Sepasang mata biru yang berkilauan itu bagai sinar laser yang menembus d**a Jemima yang berdebar takut. Rolf masih diam hingga terdengar kalimat dingin lelaki itu. "Apa ada alasan yang bisa kau berikan padaku?" Rolf mundur selangkah dari Jemima. Ia setengah membungkuk dan melanjutkan rangkaian kalimatnya yang bernada rendah. "Apakah karena jadwal pemotretanmu? Jadwal catwalkmu? Jika kau ingin menunda rencana pernikahan, aku akan menunggumu." Ia kembali diam. Dengan cepat, Jemima menggeleng. "Bukan itu! Oh, Demi Tuhan! Aku sedang mencari kalimat yang tepat." Ia mulai frustasi dan sebutir airmata melompat dari matanya. Jemima mengenal Rolf yang memiliki tingkat emosi tinggi tetapi diamnya lelaki itu lebih menyeramkan. Diam artinya Rolf sangat marah. Rolf memang bungkam, dengan rahang mengencang hingga Jemima berteriak keras. "Aku tak bisa menjadi istri penulis yang bahkan uangnya hanya berasal dari royalti!" rasanya lega ketika mengungkap kalimat itu di hadapan Rolf. Untuk sekian menit, keduanya diam membisu. Udara pagi memasuki ruangan apartemen saat Jemima bersuara pelan. Dia mengeluarkan kotak beledu merah yang berisi cincin berlian yang diberikan Rolf sebagai cincin pernikahan mereka nanti. "Maaf Rolf. Kita berpisah saja. Aku bahkan belum memberitahu orangtua. Lagipula aku tak yakin bisa menjadi istri yang baik bagimu." "Kau memang tak bisa menjadi istri yang baik bagiku." Rolf menukas pedas. Tangannya terulur ke arah Jemima. "Berikan aku kotak cincinnya." Jemima mengembalikan benda itu ke tangan Rolf, menatap wajah keras lelaki itu yang dihiasi cambang lebat dan rambut gelapnya yang berantakan. Jemari Jemima kerap kali menjelajahi rahang itu dan tertawa senang saat menyusupkan jari-jarinya di balik cambang lebat Rolf. Ah, tapi Rolf hanyalah penulis yang bahkan baru satu kali membawa bukunya meledak di pasaran. Ia tahu sebanyak apa uang yang dimiliki Rolf bahkan penghasilannya sebagai model papan atas melebihi apa yang dimiliki Rolf. "Maafkan aku Rolf. Tapi kita bisa tetap berteman?" Rolf menggenggam erat kotak cincin yang seketika terasa membara di telapak tangannya. "Tak ada dalam kamusku orang yang mencampakkanku menjadi teman. Jadi, bisakah kau pergi dari apartemenku?" Jemima ternganga. Ia menoleh ke kiri kanan. "Ada beberapa barangku di sini..." "Aku akan mengemasinya dan mengirim ke apartemenmu dengan kurir." Rolf tersenyum miring. "Jadi bisakah kau segera pergi, Jemi?" Ia tahu Jemima membenci nama kecil yang dikatakan perempuan itu persis nama anak laki-laki. Kali ini Rolf ingin mengejek Jemima dengan nama kecil itu, "Jemi." Wajah Jemima memerah. "Kau marah padaku?" "Hanya orang bodoh yang tak marah ketika dicampakkan oleh calon istrinya." Rolf membesarkan bola matanya. "Kau tahu di mana pintu keluar sebelum tandukku benar-benar muncul karena semakin lama melihat wajahmu di sini." Mendengar nada suara Rolf yang mulai naik satu oktaf, Jemima memutar tumit sepatunya dan berlari ke arah pintu, meninggalkan Rolf yang sendirian di ruangannya, menatap nanar pada kotak cincin di tangannya. Ia mengosongkan tabungan royaltinya demi membeli cincin berlian yang menjadi impian Jemima. Sebuah cincin sialan yang membuat Rolf miskin seketika dan kini kembali ke tangannya. Dengan amarah tertahan, ia membalik bagian belakang kotak dan membaca nama toko tempat dia membeli benda sialan itu. Von Arx Jewelry, Times Square, Midtown Manhattan. Rolf ingat bagaimana sang pramuniaga berkata bahwa cincin berlian yang dibelinya itu akan membawa kebahagiaan.   Omong kosong! Dia baru saja dicampakkan kekasihnya! Rolf meraih jaketnya dan menyambar bungkus rokoknya. Dia menyulut sebatang dan menutup jendelanya, mematikan laptopnya setelah menyimpan ketikan naskahnya yang seketika kehilangan ide. Yang ada di otaknya hanyalah kabut marah yang membutuhkan tempat penyaluran. Dia akan menuntut toko perhiasan itu dan meminta uangnya kembali. Kalau perlu dia akan mengamuk di toko itu. Rolf membuka pintu apartemen dan berlari menuruni tangganya dengan langkah-langkah panjangnya. Dia mengancing jaketnya sepanjang perjalanan menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Saat itu, Rolf bahkan siap membakar apa saja yang menghalanginya. Lihat saja. **** Meadow Lane. "Kriing!!!" Suara dering alarm terdengar memenuhi kamar luas bernuansa kream dan elegan di pagi hari itu. Di atas ranjang bertiang empat tampak sosok langsing menggeliat malas seraya membuka pelindung matanya, menggerakkan kedua tangannya ke udara dan duduk di ranjang empuknya yang harum, menoleh ke arah dua daun pintunya yang terbuka yang disusul munculnya asisten rumah tangganya yang mendorong meja berisikan sarapan.   "Linda!" "Anda sudah bangun Nona Elena?" Elena Von Arx menyibak rambut gelapnya, melempar selimut dan melompat turun dari ranjangnya. Dia berjalan anggun bersama kaki telanjangnya ke arah jendela, menatap pemandangan indah dari Meadow Lane dari jendela raksasanya yang berada di tingkat teratas rumahnya.   Elena bersandar di jendelanya, menerima majalah fashion terbaru dari Linda sambil matanya memerhatikan area tempat tinggalnya yang merupakan real estate elit New York. Kawasan yang digelar sebagai "Billionare Lane" oleh majalah Forbes menjadi tempat tinggal Elena selama tiga tahun belakangan ini. Meadow Lane menjadi pilihan tempat tinggal pewaris tunggal perusahaan berlian terbesar di Eropa itu, menikmati rumah megahnya yang dilengkapi lapangan tenis serta kolam renang. Tak hanya itu, bagi penghuni komplek, tersedia sebuah helipad pribadi yang dapat membawa mereka hanya dalam waktu 20 menit ke Manhattan (sumber : https://www.google.com/amp/s/hamptons.curbed.com/platform/amp/maps/hamptons-billionaire-lane-wall-street) tapi Elena memiliki helipad miliknya sendiri hingga dia tak perlu memakai akomodasi yang disediakan real estate tersebut. "Temui perempuan sukses dan lajang di usia 40 tahun. Inspirasi dalam mode dengan berlian yang menjadi ciri khasnya. Elena Von Arx sukses mengembangkan usaha berlian turun temurun yang berasal dari perusahaan utama berlian di Swiss. Gaya hidup Elena menjadi dambaan banyak perempuan muda. Meski demikian, akankah tahun ini sang nona akan menemukan kekasih hatinya?" Elena membaca keras-keras artikel utama di majalah fashion itu di hadapan Linda yang mengatur menu sarapan Elena di salah satu meja panjang di kamar luas itu. Ia melambai majalah itu di udara dan berjalan ke arah kamar mandi seraya melepas jubah tidurnya hingga hanya yang terlihat adalah bra dan underwearnya yang tercetak sempurna di tubuh indahnya. "Usiaku selalu menjadi bahan utama berita gosip." Elena menggelung rambutnya dan mendapati senyum kecil Linda. "Apakah angka 40 itu angka keramat?" bibir penuhnya menyunggingkan senyum seraya mendorong pintu kamar mandi. "Ya, untuk anda yang sama sekali belum memiliki kekasih." Linda menatap sang nona yang melangkah ke dalam kamar mandi. "Tidak inginkah anda mencoba beberapa kali kencan buta?" Elena memunculkan kepalanya sebelum menutup pintu kamar mandi. "Siapkan saja sarapanku." Ia tersenyum dan menutup pintu. Pertanyaan yang sama. Desakan yang sama. Elena hidup dalam kemewahan, mengembangkan bisnis keluarga dengan sukses namun kerap kali dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia sama sekali tak berniat menikah ataupun mencari kekasih. Elena menikmati status lajangnya dan sangat terganggu dengan desakan dari segala pihak. Ejekan sebagai perawan tua sudah sering didengar Elena, tetapi Elena tak peduli. Dia lebih mencintai berlian-berlian yang diurusnya. Sambil memainkan gelembung sabun di bak mandinya, Elena melebarkan senyumnya. Siapa yang peduli? Berlian-berlian indah itu takkan melukai hatinya. Ia menikmati harumnya air yang melingkupi dirinya, menghirup aroma terapi sebelum keluar dari bak mandi, membungkus dirinya dengan handuk.     Ia membuka lemari pakaiannya dan mulai memilih pakaian apa yang akan dikenakannya hari itu, anting dan cincin seperti apa yang menghiasi tubuhnya. Apakah Louboutin atau Jimmy Choo yang akan memanjakan kedua kakinya? Apakah Chanel atau Hermes yang menjadi teman Elena sepanjang hari?   Ia menghabiskan sarapannya tanpa terburu-buru, mengenakan sepasang Louboutin di kakinya serta membawa Hermes sebagai teman sehari penuhnya. Dia memasang kacamata hitam sebelum berjalan santai memasuki lift yang akan membawanya ke lantai dasar rumahnya.   Di teras, dia telah ditunggu oleh supirnya yang akan menuju helipad pribadinya, menerbangkan Elena dalam 20 menit mencapai Manhattan. Ponselnya berdering nyaring saat dia duduk di bangku penumpang helipadnya. Angin membaur rambut panjang Elena saat dia mendengar suara panik salah satu pramuniaganya. "Maaf, Miss Von Arx. Apakah anda akan ke toko pagi ini?" Elena melirik Bonianya yang bertabur berlian kecil di seputar lingkarannya. "Aku akan bertemu beberapa temanku di Seventh Avenue. Salah satu temanku akan menikah dan aku akan menjadi bridemaids..." "Aku meminta uangku kembali!" Alis Elena berkerut. "Suara ribut apa itu?" "Ah, salah satu pelanggan...Bisakah anda...Ya Tuhan! Anda sungguh keterlaluan, Sir! Kendalikan diri anda! Kaca pelindungnya pecah!!" Kerutan di dahi Elena semakin dalam. Dia jelas mendengar suara ribut di seberang berikut seperti barang pecah. Tak hanya itu, dia juga mendengar alarm keamanan menjadi suara latar pembicaraannya di ponsel. "Ada apa? Apa yang terjadi?" "Maaf! Bisakah anda ke toko sekarang? seorang lelaki mengamuk di toko dan memecahkan kaca pelindung dari cincin airmata Venus..." "Itu berlian terbaru di toko!" "Dan dia membuatnya retak, Miss!" Bola mata Elena membesar. Dia mencengkram erat pegangan bangkunya dan menatap luar jendela helipad. Suaranya meninggi dengan penuh kemarahan. "Mengapa kalian tidak memanggil petugas keamanan!" sekali lagi dia mendengar keributan di latar belakang. "Ya Tuhan! Itu barang baru! Oh, bisakah benda ini terbang lebih cepat?" Elena memutuskan pembicaraan dan bertanya pada pilot pribadinya. "Sebentar lagi kita mendarat, Miss." "Oh, berlian itu masih baru! Manusia seperti apa yang mengamuk di tokoku?" **** Rolf meminta uangnya kembali dengan mengembalikan cincin berlian yang ada padanya. Ia berkata bahwa ucapan sang pramuniaga sama sekali hanya untuk menipu pembeli dan menguras isi dompet. Tak ada kebahagiaan saat membeli berlian melainkan calon isterinya meninggalkannya dan ia miskin seketika. Kini yang diinginkan Rolf hanyalah untuk mendapatkan kembali uangnya. Dan ketika pramuniaga mengatakan Rolf tak bisa mengembalikan cincin yang sudah dibeli selama 3 bulan lamanya dan mendapatkan uang lelaki itu, saat itulah amarah yang sudah ditahan Rolf memuncak. Tangannya yang besar dan keras menghantam salah satu rak kaca yang menyimpan cincin bermata berlian yang diketahui bernama air mata Venus dan merupakan barang baru di toko berlian tersebut. Celakanya, cincin itu akan dipamerkan pada salah satu pameran permata di Broadway! Dan lebih sialnya, berlian unik itu retak. Seketika alarm keamanan berbunyi dan seluruh isi toko kalang kabut. Rolf terpaksa diamankan oleh manajer toko hingga sang pemilik tiba. "Anda bisa dilaporkan karena mengacau di toko!" "Aku meminta uangku kembali! Berlian kalian membuatku kehabisan tabungan!" Rolf membentak keras dan berusaha menepis tangan sang menajer yang mencengkramnya. "Dan aku adalah pelanggan. Aku adalah raja!" Tengah Rolf dan sang manajer berdebat, suara denting lonceng dari pintu toko yang terbuka membuat seluruh perhatian mengarah lekat pada sosok langsing dan jangkung yang melangkah cepat memasuki toko. Rolf melihat seorang perempuan paling modis yang pernah dilihatnya bahkan hanya sekadar memakai celana panjang kain dan kemeja lengan panjang pas tubuh.   Ujung sepatu lancip perempuan itu menyingkirkan pecahan kaca dan dia melepas kacamata hitamnya, mengaitkannya di puncak kepala dan menatap tajam pada pramuniaga yang menunjukkan berlian yang retak akibat ulah Rolf. "Mana pelanggan gila itu?" Elena berkata tajam. "Di sana, Miss." Sang pramuniaga menoleh dan menunjuk ke arah Rolf yang dipegang dengan erat oleh manajer toko. Elena memicingkan matanya dan menukik tajam pada sosok lelaki paling urakan yang pernah ditemuinya. Dengan jaket setengah terbuka, Elena melihat bahwa lelaki itu tak memakai kaos apapun untuk menutupi d**a berbulunya di balik jaket tersebut. Rambutnya? Astaga? Apakah dia tak memiliki sisir? Bahkan dalam jarak demikian, Elena bisa mengendus aroma pekat rokok dari lelaki berantakan itu. "Kau harus mengganti rugi atas kerusakan yang telah kau lakukan di tokoku!" Elena berjalan mendekat. Suara tumit sepatunya bergema di lantai tokonya. Bibirnya berkedut karena marah. Rolf melihat perempuan berambut gelap itu lebih dekat. Sepasang mata itu lebar dan bersorot tajam. Bibir penuhnya mengerut kesal saat menyudahi kalimat dinginnya. Rolf mengedikkan bahunya. "Seharusnya toko ini mengembalikan uangku! Pernikahanku batal!" Elena tertawa jahat tanpa sadar. "Itukan urusanmu jika pernikahanmu batal! Mengapa menuntut tokoku? Sebaliknya kau harus mengganti rugi atas berlianku yang retak!" Ujung kuku Elena yang runcing menuding wajah Rolf. Dia tak mau dekat-dekat dengan lelaki berantakan itu. Rolf sakit hati mendengar perempuan bermata lebar itu menertawainya. "Berapa sih harga berlian jelek itu?" ia menantang Elena. Sialan! Perempuan itu mengejeknya. Sudut bibir Elena terangkat. "Bahkan kau jual diri sekalipun tak bisa menyaingi mahal nya harga berlian yang kau rusak itu!" Ia melipat tangan di dadanya yang mau tak mau membuat mata Rolf terarah pada bagian padat yang menonjol itu. Rolf ternganga mendengar kalimat Elena. Demi Tuhan! bibir penuh di depannya itu membuat telinga Rolf berdenging. Ia menepis tangan sang manajer yang terasa lemah di lengannya. Ia mendekati perempuan bermulut pedas itu. Tanpa sadar kalimat tak masuk akal terlontar dari bibir Rolf.   "Kalau begitu aku akan menjual tubuhku padamu. Jadikan apa saja aku bagimu karena aku miskin." Rolf menunduk tepat di depan wajah melongo Elena. "Kupastikan harga tubuhku bisa menyaingi harga berlianmu." Ia tertawa menyebalkan. "Yeah meski aku lelaki miskin." "PLAK!"        

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PATAH

read
514.7K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Everything

read
277.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook