bc

KAMI BAHAGIA SEBELUM CORONA

book_age18+
578
FOLLOW
3.7K
READ
possessive
drama
tragedy
bxg
female lead
realistic earth
poor to rich
slice of life
affair
passionate
like
intro-logo
Blurb

Nindy dan Pandu adalah sepasang pengantin baru yang sedang bahagia-bahagianya. Mereka sudah mempersiapkan pernikahan ini sejak lima tahun lamanya, banyak yang mereka lewati hingga akhirnya sampai di titik ini. Sederet rencana mereka susun agarkebahagiaan ini tidak hanya di awal pernikahan saja.

Namun, pandemi mengacaukan semua rencana mereka.

Ketika makan malam bersama tak lagi istimewa, ketika tidur siang bukan lagi sebuah kemewahan, ketika pendapatan tiba-tiba nol rupiah.

Ketika pernikahan menjadi keputusan yang paling mereka sesalkan.

chap-preview
Free preview
01 | Kami Bahagia
"Males kerja," aku mengerang kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa mengontrol tubuh untuk bangun dari tempat tidur. Ini sudah setengah 2 siang, setidaknya aku harusnya sudah mandi dan sedang bersiap-siap berangkat. Menurut jadwal, jam kerjaku dimulai pukul 3, tapi aku harus sudah di counter minimal 15 menit sebelumnya untuk hand over pekerjaan resepsionis pagi yang harus kulanjutkan. "Ya udah, nonton drakor aja lagi, paling-paling kena SP." Aku mendelik ke suamiku yang rebahan di sebelahku. Alasan lain yang membuatku berat menggerakkan badan selain sedang asyik-asyiknya maraton drama Korea, adalah karena Pandu libur hari ini. Sebagai pasangan yang sama-sama bekerja di bidang yang terkait dengan pariwisata, kami tidak punya jam kerja 9 to 5 atau libur sabtu minggu seperti orang kebanyakan. Kalau Pandu mungkin lebih baik. Dia bisa memilih libur kapan dan masuk kerja jam berapa, mengingat dia store manajer di salah satu pusat oleh-oleh khas Bali terlengkap. Sementara aku yang hanya kacung sebuah hotel bintang 4 harus tunduk pada aturan dan atasan. "Nggak, aku nggak mau dipecat dulu sampai hutang nikahan kita lunas." "Masalah itu biar aku yang pikirin. Punya suami kok nggak dimanfaatin." Aku tertawa kecil, lantas merebahkan kepalaku di dadanya. Membuatnya berdecak karena aku menganggu kegiatannya bermain game online. "Nanti aja dimanfaatinnya, kalau tanggungan kita udah beneran lunas. Aku nggak mau sampai Ibu dengar kalau sebagian budget nikah kita pinjaman bank." "Pasti lunas lah. Kalau sales bulan depan naik, bonus aku juga naik. Tiga bulan aja lunas itu." "Enteng banget kamu ngomongnya." "Tinggal aminin aja apa susahnya, sih." "Ya udah, amin." "Kalau udah amin nggak boleh diam, ikhtiarnya jangan lupa." Aku memukul d**a Pandu sebal dan membuatnya mengaduh tapi sambil tertawa. "Bilang aja kamu nggak mau aku ganggu main gamenya." "Itu salah satunya. Tapi beneran deh, Yang, kamu bisa telat kalau nggak siap-siap sekarang. Tuh, udah mau jam dua." Aku mendesah berat, mengatur lagi motivasi agar tidak kendor. Aku baru boleh tidak takut dipecat kalau cicilan Pandu sudah lunas. Iya, kami membuat keputusan sembrono dengan memaksakan budget menyesuaikan keinginan, bukan sebaliknya. Tetapi, memang selalu ada hal yang harus dikorbankan demi satu tujuan, bukan? Uang gampang dicari, asal Ibu dan paman-pamanku berhenti membandingkan Pandu dengan Fahri, PNS di kantor Walikota Surabaya yang sedianya dijodohkan denganku. Setelah mereka tahu Pandu punya rumah, mobil, dan sanggup membuat pesta resepsi meriah, mereka kini sangat menghormati Pandu. *** Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk mandi dan ganti baju sekalian merias wajah natural sesuai standar hotel tempatku bekerja. Biasanya aku berangkat dengan wajah polos dan baru make up di tempat kerja, tetapi karena hari ini Pandu akan mengantarku pakai mobil, aku tidak perlu khawatir make up-ku luntur karena keringat. Rambut kuikat rapi sehingga nanti di tempat kerja tinggal di sanggul. "... Corona di China semakin bertambah. Hari ini pemerintah setempat masih melakukan lockdown hingga 14 hari untuk memutus mata rantai penyebaran. Pemerintah..." Suara pembawa berita di TV mengisi seluruh penjuru kamar, sepertinya Corona bukan jadi masalah serius di China saja. Beberapa negara mulai melaporkan jumlah warga mereka yang terjangkit. "Ih, kok ngeri gitu, sih?" sebuah video kesibukan di salah satu rumah sakit di Wuhan di tayangkan. Sejumlah petugas berpakaian pelindung lengkap mirip astronot mendorong bangkar berselimut kain hijau. "Amit-amit jangan sampai ke Indonesia. Memang bener ya, Yang, Corona nggak bisa tahan di negara tropis?" pernyataan itu kukutip dari pernyataan salah seorang menteri untuk menenangkan masyarakat yang mulai resah. "Tenang, percaya aja sama pemerintah. Mereka pasti udah punya hitungan sama pencegahan." "Meskipun nggak masuk ke Indonesia, tapi kalau banyak negara yang nutup kunjungan ke luar negeri, Bali gimana, ya?" Pandu memetikan layar televisi. "Bali aman. Buktinya pemerintah mau kasih diskon buat genjot pariwisata." "Iya sih, tapi masa iya segampang itu? China aja sampai lumpuh begitu." Pandu menghendikkan bahu seolah tak mau pusing-pusing berpikir. Benar katanya, percaya saja sama pemerintah. Mereka tidak mungkin asal memberi pernyataan, kan? Terlebih mereka juga membuat kebijakan yang mendukung laju pariwisata tetap jalan. Seharusnya tidak ada yang perlu aku cemaskan, bukan? Aku sedang memasukkan perintilan barang kecil ke dalam tas, ketika lengan pandu melingkari pinggangku dari belakang. Awalnya dia hanya menempelkan dagunya di pundakku sambil bertanna kenapa aku harus bawa tiga macam parfum. Lalu dia sengaja menekan dagunya membuat tulangku geli, sekaligus takut blazerku kusut. "Pandu ih iseng banget." Pandu tidak lantas melepaskan aku, dia masih memeluk pinggangku dan kini menggesekkan ujung hidungnya di leher belakangku. "Pandu..." Sebulan menikah dengan Pandu aku menemukan sisi lain dari diriku yang selalu lemah atas sentuhan Pandu. Jika tindakan pandu ini tidak dihentikan, bisa-bisa aku bolos kerja betulan. "Tahu nggak kenapa aku nggak suka kamu kerja di hotel?" gumam Pandu, aku bisa merasakan bibirnya menari di atas kulit leherku. Aku berdecak karena Pandu makin erat memelukku, sementara aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. "Nggak tahu." "Aku nggak suka lihat tengkuk kamu terekspos," jawabnya meninggalkan tekanan cukup kuat di tengkukku, "ini kan punya aku." Aku tidak sadar aku sempat memejam keenakan, sampai tangan Pandu ikut bergerak menyentuh titik sensitif lain di tubuhku. Sejak bercinta jadi rutinitas favorit kami, kurasa dia lebih mengenal tubuhku daripada diriku sendiri. Cukup. Kakiku sudah gemetaran, sebelum nafsu mengambil kendali penuh, aku memutar badan menghadapnya. Aku bisa melihat kabut di matanya, tapi maaf Sayang, waktunya tidak tepat meski sejujurnya aku tidak mau menolak. "Enggak," tegasku. "Enggak sekarang. Aku dari tadi pagi rebahan di sebelah kamu, kamu anggurin, kamu tinggal main game. Salah sendiri." "Dari tadi kamu juga nonton terus." "Aku nonton karena kamu nggak bisa diajak ngobrol." "Lah, aku nggak berani ngajak kamu ngobrol karena kamu lagi asyik nonton." Detik selanjutnya tawa kami menyembur. Kadang kami memang setidakjelas itu. *** Tidak ada profesi yang mudah, itulah mengapa kita disarankan mengenali potensi dan memiliki setidaknya satu hal yang disukai. Sayangnya, aku tidak pernah diajari untuk mengejar sesuatu yang kuinginkan. Ibu sudah mengatur semuanya untukku. Banyak keluargaku menyayangkan pilihan pekerjaanku. Mereka bilang, sia-sia aku tinggi-tinggi sekolah kalau ujung-ujungnya Cuma jadi resepsionis. Jika berusaha lebih keras aku mungkin saja bisa bekerja di perusahaan besar. Anggap saja aku menyerah, aku lelah harus mengikuti tuntutan Ibu untuk menjadi bayangan Mbak Ririn yang sukses jadi bidan dan menikah dengan seorang anggota polisi. Itu lah mengapa aku kabur ke Bali. Di sini tidak ada yang mengenalku sebagai anak siapa atau adik siapa, sehingga aku tidak punya beban untuk mencoba hal baru. Kemudian aku sadar, aku tidak suka kerja di depan ruangan dengan tugas berulang. Aku lebih suka bertemu dengan banyak wajah-wajah baru dan menghadapi masalah tak terduga. Hari ini aku kerja berdua bersama Ayu. Dampak Corona mulai terasa dengan banyaknya pembatalan reservasi tamu dari beberapa negara. Pandu sepertinya tadi melewatkan satu hal. Walaupun pemerintah memberikan diskon ke wisatawan, kalau negara-negara lain menutup pintu keluar-masuk negara mereka, mana bisa mereka liburan ke Bali? Kami harus bersiap menghadapi resiko buruk dan hanya mengandalkan wisatawan domestik saja. "Nin, lihat ini," Ayu menyenggol lenganku agar aku melihat ponselnya yang dia mainkan di balik meja. "Bagus, nggak?" Layar ponselnya menampilkan gambar sebuah tas punggung cantik warna latte. "Bagus, beli di mana?" "Beli? gratis, dong. Hadiah bulan depan, nih." "Oh..." Aku langsung paham apa maksudnya, sehingga aku pun tidak bertanya-tanya lagi. "Lumayan tahu, Nin, tiap bulan selalu dapat hadiah baru. Bulan ini aku dapat blender, bulan sebelumnya set cangkir. Aku jadi nggak pernah beli-beli perabotan." Aku meliriknya sambil tersenyum sekadarnya, aku sudah tebak setelah ini akan apa. "Kamu nggak pengen bisnis gitu, Nin? Nggak repot sama sekali, kok, tinggal postang-posting aja di sosmed. Daripada kuota habis buat buka **, mending dimanfaatin buat jualan, kan. Kalau daftarnya bulan ini cuma 39 ribu aja biayanya, nanti dapat tas yang tadi. Ini kalau beli harganya masih ratusan ribu, lho." Tuh, kan, benar. Beberapa bulan terakhir Ayu ini memang sedang getol-getolnya berbisnis MLM. Aku sampai mem-mute sosial medianya karena setiap hari yang dia posting dagangan dan quotes motivasi. Dia juga sering memamerkan apa saja yang dia dapatkan dari bisnis itu. "Enggak dulu deh, Yu, aku nggak bakat jualan." Aku tidak perlu mendengar lebih banyak jika aku memang tidak tertarik, bukan? "Aku juga enggak bakat, kok. Cuma nyampah aja di sosmed tiap hari, pasti ada aja yang nyantol. Kalau mereka tanya, baru deh kita jelasin. Kan lumayan buat tambahan uang belanja." Seandainya tugasnya memang cuma jualan saja, kenyataannya mereka juga harus merekrut member untuk membangun pohon mereka. Sering kali teman lama yang sudah tidak pernah berkomunikasi tiba-tiba menghubungi, kukira betulan ingin tanya kabar, ternyata mau mengajak jadi member MLM. Setelah aku bilang tidak, beberapa ada yang tetap melanjutkan obrolan baik-baik. Beberapa lainnya langsung ketus. Membuat aku merasa serba salah jadinya. Tak jarang aku suudzon jika teman lama mengomentari postinganku di DM, ah, pasti mau nawarin MLM sehingga aku jadi setengah hati membalasnya. Memang tidak ada salahnya menawarkan, namanya juga usaha. Aku hanya menyayangkan perubahan sikap mereka jika jawaban yang ditawari tidak seperti yang mereka kehendaki. Aku tersenyum lagi. "Aku pengen kerja yang pasti-pasti aja, Yu. Maaf, ya." "Iya, sih, kamu udah nggak perlu mikirin tambahan uang. Enggak kerja juga nggak masalah. Suami kamu gajinya pasti banyak, apa lah suamiku yang biasa-biasa aja." "Ah, sama aja, Yu." Saat pertama kali aku kembali kerja setelah cuti menikah, teman-teman kerjaku heboh memuji resepsiku. Mereka tidak menyangka aku dan Pandu bisa menggelar pesta di sebuah hotel di pinggir pantai di kawasan Nusa Dua. Terlebih mereka tahu setelah menikah, kami langsung menempati rumah baru. Yang tidak mereka semua tahu, sebagian uang pesta resepsi itu adaah pinjaman dari bank. Aku senang banyak orang memuji resepsiku dan mengagumi Pandu sebagai sosok suami idaman. Uang selalu bisa dicari, kami berhutang karena kami punya kemampuan dan jaminan untuk membayar. Hal lain yang kerap teman-temanku kagumi dari Pandu adalah, dia sering sekali menjemutku jika aku dapat shift pulang malam. Dia tidak pernah membiarkan aku sampai menunggu, sebagai gantinya dia datang lebih awal sehingga begitu aku keluar, aku langsung menemukan dia. Dia menjemputku memakai sepeda motor seperti yang kuminta, aku ingin menghirup angin malam sebelum pulang. Sepanjang jalan Legian masih macet oleh kendaraan. Kios-kios pedangan berjejeran, banyak pula yang lalu lalang berjalan di trotoar. Inilah Bali, tempat yang tidak akan pernah mati. Aku menyusupkan kedua tanganku di saku jaket Pandu, mencari kehangatan, sekaligus memberinya kehangatan lewat pelukanku. Pandu melepaskan tangan kirinya dari setir dan menyenderkannya di pahaku. "Mau mampir makan dulu, nggak?" tanyanya. "Bungkus aja, mending makan di rumah. Malas mesti ramai-ramai."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
161.6K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

Everything

read
277.9K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

Marriage Not Dating

read
549.7K
bc

Papah Mertua

read
530.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook