bc

Dikejar Target Nikah

book_age18+
12.6K
FOLLOW
69.3K
READ
billionaire
possessive
sensitive
confident
drama
sweet
humorous
city
discipline
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Dikejar target nikah, Marisa pun berakhir dengan menerima perjodohan dari sang Mama.

Di lain sisi, Danuar Pramudya yang tidak bisa lepas dari pekerjaan alias workholic, harus setuju dengan pernikahan yang ditawarkan orang tuanya. Kalau kali ini sampai menolak, maka Malinda sang ibunda akan menerornya dengan kencan buta setiap pekan sekali kencan.

chap-preview
Free preview
DTN - 01. Dikejar Target Nikah
Lantunan lagu A Thousand Years diiringi dentingan piano mengalun indah di ballroom hotel bintang lima terkenal. Orang-orang di sekeliling tengah sibuk bercengkrama satu sama lain, sesekali mereka menyesap minuman atau menyantap hidangan yang disuguhkan. Aku mendengus pelan, telingaku panas sedari tadi mendengar mamaku tak habisnya memuji betapa serasinya sepasang sejoli yang kini sibuk menyalami rentetan tamu yang datang. Tentu saja untuk mengucap selamat atas awal kehidupan baru yang akan ditempuh keduanya. "Tuh, Mar, manis banget 'kan mereka? Pestanya juga oke banget, kapan Mama bisa bikin acara begini, ya?" Bola mataku berputar, tapi tetap mengiyakan ucapan Mama dengan malas. Tentu saja aku pura-pura tidak dengar pertanyaan terakhir yang Mama lontarkan. Selalu saja begini, sudah tak terhitung berapa kali Mama memberi kode keras padaku sampai aku jengah sendiri. Kalau saja aku tidak dipaksa ikut ke resepsi pernikahan teman kuliah Mama dulu, aku tidak akan mau berada di sini. Saat ini adalah momen yang sangat pas buat Mama untuk melancarkan aksi nagih mantunya. Dari awal kami hadir di sini, tidak sedikit teman-teman Mama yang menyapa ramah. Rupanya, pesta pernikahan ini sekalian juga dengan acara reuni Mama bersama teman lamanya. Rasanya aku mengalami erosi kejiwaan kala satu per satu teman Mama mampir menyapa sekaligus penasaran perihal status perkawinanku. Tipikal kebanyakan orang Indonesia, melontarkan pertanyaan basa-basi yang tidak memikirkan perasaan si penjawab, kedengaran memuakkan di kupingku. "Mar, kapan kamu nyusul?" "Kamu sudah menikah belum, Mar?" "Usia kamu sudah siap menikah loh." Pertanyaan menyakiti hati, namun harus tetap kutanggapi dengan sopan dan ramah. "Doain aja yang terbaik." Begitulah kiranya sambil menebar senyum palsu yang aku sendiri saja muak melakukannya. Memang di usiaku yang ke-27 tahun ini, harusnya aku sudah menikah bahkan mungkin sudah memiliki satu anak. Tetapi apa boleh buat, menikah tidak semudah itu. Tidak seperti membeli tomat di pasar, kalau ketemu yang bagus langsung angkut. Menikah itu soal kesiapan, bukan hanya soal mengikat janji suci, apalagi hanya karena dikejar target sebab usia yang matang. Lebih parah lagi karena terdesak oleh tekanan sosial. Menikah butuh kesiapan mental dan fisik, kemantapan hati juga kesiapan finansial. Dan yang paling penting, restu dua keluarga. Dan hal-hal yang kusebutkan tadi tidak mungkin terjadi kalau masih belum ada sang pasangan alias calon suami atau istri. Sayangnya, mencari calon suami atau istri juga sulit. Tidak bisa hanya mengandalkan cinta dan sayang, bukan juga semata-mata hubungan romantis antara dua orang. Menikah lebih dari itu, melibatkan kebutuhan dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Pernikahan tentang komitmen jangka panjang antara kamu dan pasangan. Pokoknya, menikah itu tidak se- uwu kelihatannya, akan banyak hal-hal tidak terduga yang terjadi. Belum lagi konflik antara pasangan, dalam hal ini sangat penting untuk saling mengerti dan mengalah. Dalam menikah nanti, keduanya harus menyatu, harus menerima dengan utuh satu sama lain baik kurang atau lebih. Segalanya pun bukan lagi tentang milikku atau milikkmu, tapi milik kita. Bukan lagi aku atau kamu, tapi kita. Memikirkannya saja sudah menguras energiku. Padahal kalau boleh jujur, sebenarnya aku sendiri sudah siap untuk menikah. Hanya saja, aku punya kendala yang umum dialami oleh orang-orang sepertiku, yaitu calon pasangan yang belum juga tampak batang hidungnya. Aku mendesah lelah seraya mengedarkan pandangan. Suasana resepsi pernikahan ini makin ramai. Apalagi di atas panggung hiburan, di mana para ibu-ibu saling joget diiringi dengan lagu Buka Sitik Jess. Keningku seketika mengernyit, sejak kapan lagu romantis tadi berubah menjadi lagu dangdut ala Trio Micin? "Hei, kamu Sarah, 'kan?" Aku menoleh ke kanan, seorang wanita paruh baya seumuran Mama menyapa sambil memegang lembut lengan Mama. Wajah Mama langsung sumringah begitu tahu siapa yang menghampirinya. Tante itu tampak cantik dengan penampilan modis dan berkelas. Berbeda dengan mamaku yang sederhana dan elegan. "Malinda!" Mama dengan tidak sabaran memeluk wanita paruh baya yang sudah bisa kutebak pasti teman kuliahnya. "Ya ampun! Nggak nyangka ketemu kamu ada di sini, Sar," kata Tante itu setelah melepas pelukan. "Iya, sama. Apa kabar? Terakhir aku tahu kamu sudah pindah ke Amerika, setelah itu kita jarang kontakan lagi karena kamu sangat sibuk." Tante Cantik bernama Malinda itu tertawa hingga matanya menyipit ceria menyebabkan aura cantiknya makin menguat. "Sori deh, Sar. Saat itu aku memang lagi sibuk-sibuknya. Kamu tahu sendiri 'kan aku mulai masuk kuliah? Belum lagi, bersamaan dengan itu aku dituntut orang tuaku untuk belajar bisnis keluarga," terang Tante Malinda. Aku yang sejak tadi hanya menyaksikan interaksi keduanya pun bermuka bingung. Jadi bukan teman kuliah? Rupanya keberadaanku yang seperti patung dengan tampang bingung menarik perhatian Tante Malinda. Dia menoleh, lalu memindai penampilanku dari atas sampai bawah berujung kembali lagi ke wajahku. "Ini Marisa?" Mataku mengerjap, langsung saja aku memasang senyum manis andalanku karena tidak mau kalah dengan kecantikan beliau. "Iya, Tante Cantik, eh-- maksudku Tante Malinda!" Aku sedikit memekik di ujung kalimat karena kelepasan, meskipun kata yang kuucapkan berupa pujian. Suara tawa Tante Malinda renyah di telingaku. Sedetik kemudian, tubuhku sudah beliau rangkul akrab masuk ke dalam dekapannya. Aku sedikit kaget sebentar sebelum berubah rileks dan balas memeluk beliau. Entah kenapa, aku langsung menyukai Tante Malinda karena sikap manisnya. Padahal, jarang sekali aku bisa merasa nyaman dengan orang lain secepat ini, tapi Tante Malinda dapat melakukannya. "Nggak aku sangka anakmu cantik sekali, Sarah. Sama seperti kamu waktu muda dulu, namun dia lebih manis senyumnya. Mungkin nurun dari bapaknya kali, ya?" Aku tersipu mendengar pujian Tante Malinda, namun hanya bertahan sebentar karena Mama langsung mematahkannya. "Percuma cantik kalau nggak ada gandengan, kalah sama truk yang ada di iklan tivi itu loh, Lin." Mukaku berubah masam dengan bibir mencebik sebal ulah keresekan Mama. Apa hubungannya coba gandengan sama pujian dari Tante Malinda? Lagi-lagi Mama bertingkah. Terlihat wajah Tante Malinda agak kaget, namun hanya sebentar sebelum kembali normal. "Wah beneran nih? Aku kira dia sudah ada yang punya melihat anak kamu yang luar biasa cantik begini," sahutnya terdengar antusias membuatku sedikit heran. Biasanya, teman Mama yang lain pasti akan memasang raut tidak percaya sambil menatapku aneh. Entahlah kenapa jadi begitu, yang jelas setelahnya mereka akan menasehatiku berlagak bijaksana supaya aku tidak terlalu pemilih dalam mencari calon suami. "Ya gitu deh, Tante. Belum nemu yang cocok dan klop di hati," jawabku duluan sebelum Mama. Takutnya beliau bicara yang macam-macam lagi mengenaiku. "Kamu sih mending sesambil nyari calon begitu, Mar. Coba aja anak Tante tuh, udah mau kepala tiga juga masih nggak minat sama yang namanya menikah." "Bentar deh, Lin," sela Mama cepat. "Bukannya anak sulung kamu sudah menikah, ya? Kan yang satunya masih kuliah," sambungnya lagi membuat Tante Malinda mendengus pelan. "Yang nikah yang kuliah, Sar." "Apa? Kok bisa?" tanya Mama kaget sama sepertiku. Meskipun menikah pada saat kuliah tidak ada larangan, tapi tetap saja aku dan Mama sedikit tidak menyangka. "Ya bisa lah. Sejujurnya aku malu mengatakannya," sahut Tante Malinda kemudian berdehem sebentar sambil melirik kanan dan kiri melihat situasi. "By accident," lanjutnya lagi dengan suara kecil setelah dirasa aman. Bola mataku membulat terperangah dengan mulut sedikit terbuka. By accident berarti 'kan— "Awalnya aku memang kecewa, Sar. Namun sekarang semuanya jadi lebih baik saat aku diberi cucu yang menggemaskan. Anakku Pandu juga sangat bahagia sekarang," jelas Tante Malinda sambil tersenyum lembut tidak mempedulikan wajah konyol aku dan Mama. "Oke, kita lupakan Pandu. Aku sekarang sedang fokus pada putra sulungku yang bebal disuruh buat menikah." Tante Malinda berubah jengkel, tampaknya di kepala beliau kini berputar-putar wajah sang putra yang membuat beliau mendumel sebal. Kekehan geli Mama terdengar. "Ampun deh. Si Danuar dari dulu sampai sekarang selalu membuatmu kewalahan ya, Lin?" "Benar. Dia sangat workholic, selalu mementingkan pekerjaan dibanding segalanya." "Kalau begitu kondisinya, kayaknya kamu bakal nunggu lama buat dapet satu mantu lagi, Lin. Kamu harus tunggu Danuar bosen ngadepin berkas-berkas perusahaan," kata Mama seraya tertawa. Tante Malinda memijat kening pelan, sepertinya beliau mendadak pening memikirkan si Danuar itu. "Iya, Sar. Tiap aku deketin sama anak gadis temenku selalu saja berakhir singkat. Mereka bilang nggak tahan diduakan sama pekerjaan." Mamaku terkekeh menanggapi keluh kesah Tante Malinda yang kelihatannya punya nasib sama seperti dirinya, menunggu kehadiran menantu yang tidak ada hilalnya. Aku yang sejak tadi mendengar pun mulai bosan dengan percakapan mereka tentang si Danuar itu. Lagipula, aku tidak mengenal siapa dia. Beralih memandang sekitar, mataku tertuju pada meja dengan banyak kue yang mampu membuat perutku keroncongan. Padahal tadi aku sudah makan, namun kembali lapar lagi dalam waktu singkat. Aku pun memilih pamit pada Mama dan Tante Malinda untuk memisahkan diri dari mereka. Kakiku sampai di depan meja hidangan dengan aneka dessert di atasnya. Air liurku hampir menetes mendapati banyak hidangan manis rasa coklat. "Aku juga baru ini lihat anaknya si Malinda. Ganteng banget, Jeng. Sampai aku ada niatan mau jodohin Trisna sama dia, kira-kira Malinda oke nggak, ya?" Samar kudengar percakapan tiga wanita paruh baya di belakangku. Keningku terangkat naik ketika nama Malinda disebutkan. Apakah maksud mereka Tante Malinda yang kutemui tadi? Karena penasaran, aku pun memutuskan untuk berlama-lama mengambil makanan seolah bingung dengan pilihan. Entah mengapa, aku jadi ingin tahu omongan selanjutnya yang mereka bahas. "Memang sih ganteng, tapi aku saranin nggak usah libatin anak kamu sama dia. Aku udah pengalaman, Wid. Anakku sampai sakit hati karena anak Malinda itu kurang bisa menghargai perempuan." "Oh ya?" Dan pembicaraan terputus karena mereka menjauh dari dekatku. Sepertinya mereka memang membicarakan anaknya Tante Malinda. Selain gila kerja, ternyata dia juga punya sikap buruk ke perempuan, meskipun kabar itu masih belum tentu benar karena aku sendiri pun tidak mengenalnya. Mengedikkan bahu tidak peduli, aku lantas memilih kembali menghampiri Mama sambil membawa satu kue muffin coklat. "Loh, Ma, kok sendirian? Tante Malinda mana?" Mama menengok ke kiri padaku, "Baru aja pamit pulang, Mar. Anaknya si Danuar udah kayak cacing kepanasan, nggak betah lama-lama di sini jadi ngajakin pulang." Mama mengedikkan dagu ke satu arah, yaitu ke pintu keluar ballroom hotel ini. Aku pun ikut memandang ke sana. Dari kejauhan, aku bisa mendapati Tante Malinda bersama seorang lelaki tinggi berkemeja abu tua. Tampak rapi dan gagah, padahal aku hanya melihat punggungnya saja. "Oh gitu. Apa kita juga pulang aja ya, Ma? Udah lumayan lama 'kan kita di sini?" Mama berdecak seraya melirikku tidak suka. "Enak aja, Mama masih mau lama-lama di sini. Biar kamu makin sadar kalau kamu harus cepet-cepet ngadain pernikahan." Mukaku langsung masam. Pernikahan, pernikahan, pernikahan. Lama-lama telingaku berkukus mendengarnya, Mama tidak bosannya membahas hal itu melulu. Setelah itu aku pun berpisah dengan Mama karena mengekori Mama berjalan-jalan hanya akan membuatku bertemu banyak orang yang mendadak menjadi menyebalkan karena pertanyaan klise mereka tentang kapan aku menikah. *** Aku merebahkan tubuh di kasurku yang nyaman, rasanya hari ini sangat melelahkan. Dari kondangan, Mama memintaku menemaninya arisan, lalu berakhir di pusat perbelanjaan. Kakiku rasanya mau copot mengingat Mama yang memutari mall dengan wajah berseri, tidak ada gurat lelah di wajahnya. Tetapi, setelahnya sampai rumah, barulah Mama mengeluh lututnya sakit. Tidak heran mengingat beliau memang sudah berumur. Jadilah aku mengomeli Mama seputar kesehatan saat mendapati beliau terkapar di sofa ruang keluarga. Aku menatap langit-langit kamar yang berwarna biru langit. Otakku pun kembali memutar kejadian tadi siang saat Mama arisan. "Nih, Mar. Tante punya undangan buat kamu. Gina bakal nikah dua minggu lagi loh. Kamu dateng ya!" Tanganku spontan meraba meja nakas samping tempat tidur, mengambil secarik kertas dengan sulur emas yang menghiasnya. Di sana ada tulisan besar, Gina dan Fedri, nama mempelai yang akan menikah. Mataku terpejam. Kenapa hari ini aku banyak sekali bersinggungan dengan kata menikah? Sedikit banyaknya membuatku kesal. Kubuka mata dan kembali kutatap sebuah undangan tersebut. Gina adalah teman kuliahku dulu, kebetulan mama Gina berteman dengan mamaku. Kalau aku sendiri biasa saja dengan Gina alias tidak terlalu dekat. Dia orang yang kepribadiannya sedikit mirip denganku, yaitu tidak gampang nyaman dengan orang lain. Tetapi, Gina terkesan lebih cuek dariku, meski begitu dia malah lebih dulu menikah. Aku mengembuskan nafas keras. Di dalam lubuk hati, aku juga ingin menikah dengan pria yang kucintai, tapi mau bagaimana lagi, aku bukan wanita yang gampang nyaman dengan seseorang. Banyak pria yang mencoba mendekati, tapi seringkali berakhir dengan mereka yang menyerah lebih dulu karena sulit membuatku membuka hati. Aku juga tidak tahu kenapa, kadang aku merasa mereka hanya penasaran denganku atau mendekat karena fisikku saja. Tidak ada kutemui yang benar-benar tulus. Entah benar atau salah, yang jelas hati kadang tidak bisa bohong, aku seakan merasakan mana yang tulus dan tidak. Pernah aku memaksakan diri membuka hati dengan beberapa pria. Namun, hal itu malah berujung dengan aku yang diajak macam-macam. Sebenarnya apa salahku? Aku sudah berusaha bersikap baik kepada mereka, namun jahatnya mereka malah merendahkanku. Aku pernah tanya ke salah satu dari mereka mengapa seperti itu dan dengan tanpa rasa bersalah dia menjawab, kamu tuh ngebosenin, Mar. Apa lagi yang diinginkan laki-laki dari perempuan macem kamu selain dipuaskan? Setidaknya kami betah. Tidak berpikir dua kali, aku langsung menumpahkan minuman ke arah pria tersebut. Mengingat momen itu, menjadikanku tambah kesal sendiri. Aku mengubah posisi tidur jadi tengkurap, wajahku tenggelam di dalam bantal empuk milikku. Memang benar aku wanita yang membosankan jika berhadapan dengan orang lain, namun percayalah, kalau aku sudah nyaman dan akrab dengan seseorang, sifat asliku akan keluar. Cerewet dan banyak omong. Hanya segelintir orang saja yang tahu aku seperti itu, paling-paling keluarga dan teman dekat. Orang luar akan menilaiku sebagai pribadi yang dingin dan acuh. Kepalaku mendadak pening memikirkan soal aku yang dikejar target nikah. Lebih baik aku tidur saja karena aku harus berangkat kerja besok pagi. Apalagi besok adalah hari Senin, pekerjaanku pasti menumpuk banyak.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

My Secret Little Wife

read
94.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook