bc

Cinta Dosen Cuek

book_age16+
4.4K
FOLLOW
30.5K
READ
love after marriage
arranged marriage
dominant
confident
sweet
icy
campus
city
love at the first sight
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Nana Agustina adalah seorang mahasiswa jurusan sastra Inggris semester 5 yang usianya sudah memasuki kepala 2. Walaupun sudah memasuki usia matang namun ia masih memiliki kepribadian yang ceria, usil, manja dan kekanakan.

Maxwell Putra Aditama adalah seorang pria dewasa yang usianya hampir memasuki kepala 3, menjabat sebagai dosen bahasa Inggris di salah satu universitas swasta. Ia adalah orang yang cuek, disiplin dan juga pekerja keras.

Keduanya dijodohkan oleh kedua orangtua karena permintaan dari almarhumah Oma Nana, sesaat sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya beberapa tahun yang lalu. Pada awalnya Nana menolak dan berusaha untuk menggagalkan rencana ini, sementara Max tidak ingin membantah karena ia ingin menjadi anak yang penurut dan berbakti kepada orangtuanya hingga suatu ketika perjodohan itu gagal karena usaha Nana, ia tidak ingin menikahi orang yang tidak dicintainya, terlebih ia belum mau cepat-cepat melepas masa lajangnya, namun para orangtua kembali bertindak dan menyusun rencana hingga perjodohan akhirnya tetap bisa dilaksanakan.

Bagaimana kelanjutan kisah mereka?

Kenapa Max tidak berusaha menolak perjodohan ini, seperti halnya yang dilakukan oleh Nana? Apa Max tidak menolak perjodohan ini karena memiliki alasan lain? Atau dia hanya ingin menuruti permintaan Orangtuanya walaupun dia belum mengenal Nana lebih dalam?

Ikuti kisahnya di sini...

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Dosen Baru
“Hanii~” seru seorang gadis berambut panjang sepunggung lurus nan lembut itu seraya menepuk bahu seorang gadis berambut pendek berponi panjang yang sedang duduk sendiri memainkan ponselnya di kantin sebuah universitas swasta di Jakarta. “Eh, Na! Baru datang kamu?” tanya gadis yang di panggil Hani itu tanpa mengalihkan atensinya dari ponselnya. “Iya Hani sayang~ aku tebak kamu pasti baru datang langsung ke sini 'kan? Kebiasaan kalau bolos pasti ke kantin.” Nana, gadis manis berambut panjang itu mengambil duduk di sebelah sahabatnya. “Iya habisnya bosan nunggu dosen belum datang.” jawab Hani yang masih memusatkan perhatiannya pada ponselnya. “Oh ..." Nana melirik Hani yang tampak sibuk dengan ponselnya, "Tapi kamu jangan main game mulu dong.” “Bosan Na! Bosan! Mau ngapain lagi coba,” Nana membuat wajah cemberutnya lalu melirik minuman Hani dan seketika ide jahil pun muncul di otaknya. Dengan cepat ia menyambar minuman Hani lalu menyeruputnya hingga tersisa sedikit saja. Hani melirik Nana dan sontak meletakkan ponselnya begitu saja ke atas meja. “Yah yah Na~ jangan dihabisin dong~ baru juga minum dikit.” ia merebut kembali minumannya yang tinggal sedikit itu, meratapi minuman kesukaannya hanya tersisa sedikit. “Hahaha ... Makanya jangan main game terus.” Hani kembali menatap ponselnya, “Yahh kalah 'kan jadinya,” “Kalah game aja udah kayak ngga di kasih uang jajan sebulan sama Mama, kusut banget tuh muka.” “Biarin! Suka-suka aku dong.” Hani kembali duduk dan menyeruput es coklatnya, ia memalingkan wajahnya dari Nana, ia benar-benar tidak suka bila dirinya sedang bermain game di ganggu. Nana yang mengerti bila sahabatnya sedang mode ngambek itu segera mendekatkan dirinya dan berbicara manis padanya. “Hani~ maaf ya~ masa gitu aja marah sih,” Nana mencoba mencubit pipi gembul Hani namun dengan cepat ditepis oleh Hani dan kembali memalingkan wajahnya dari Nana. “Maafin dong Hani~ nanti aku yang bayar deh minumannya.” Hani sontak menghadap Nana seraya mengulurkan tangannya seolah-olah mengajaknya bersalaman. “Oke. Baikan ya kita?” “Yeuu kalau gratisan aja baru cepat responnya.” “ Siapa sih yang ngga suka gratisan? Ya udah sini salaman, mau baikan ngga nih?" “Iya-iya.” Nana menyambut tangan Hani dengan wajah masamnya. “Hei! Di sini masih kosong 'kan? Boleh gabung ngga? meja lain pada penuh.” tanya seorang gadis berambut panjang diikat dua dan seorang temannya yang berambut sepundak dengan poni mangkuk. Nana dan Hani sontak menatap ke asal suara. “Ohh iya boleh-boleh. Duduk aja Lis, Cit.” jawab Nana dengan ramah pada teman satu angkatannya itu. Mereka berdua tersenyum hingga ahirnya mengambil duduk di meja yang sama dengan Nana dan Hani. “Ehh, kalian ada dengar berita terbaru tentang dosen bahasa inggris yang akan ngajar kita siang ini ngga?” Citra mengeluarkan suaranya hingga membuat tiga orang lain menaruh perhatian padanya. “Bukannya Pak Brian akan digantikan ya?” timpal Lilis kut membicarakan dosen sastra Inggris yang biasanya megajar mereka siang ini. “Nah, itu katanya hari ini kita udah kuliah sama dosen baru.” “Tahu dari mana Cit?” tanya Hani yang ikut penasaran, ia bahkan mencondongkan tubuhnya penuh ke arah Citra yang sepertinya mengetahui berita terbaru dan terpanas yang sedang viral di jurusannya. “Dengar-dengar aja sih. Katanya pengganti Pak Brian itu laki-laki juga, masih muda, tampan, kaya raya, lulusan S2 dari California dan—“ yang lainnya tampak mendekatkan dirinya untuk mendengarkan lebih jelas lanjutan kabar dari Citra. “Dan katanya Bapak itu galak.” “Oh My God! Jangan sampai galaknya melebihi Pak Rio, bisa mati muda nanti aku.” timpal Hani dengan cepat seraya menyebut dosen lain di jurusannya yang terkenal galak. “Kita kerjain yuk!” celetuk Nana hingga membuat tiga lainnya menatapnya dengan tatapan tidak habis pikirnya. “Eh, yang benar Na? Dosen baru loh ini. Aku tahu kamu itu orang yang usil, tapi kamu lihat dulu dong siapa yang mau kamu usilin.” “Tenang aja Hani, semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya ingin memberikannya kejutan selamat datang, aku ingin melihat bagaimana responnya nanti.” “Oh, hanya kejutan selamat datang? Kalau begitu ayo, aku ikut denganmu.” balas Hani dengan semangat “Nah, gitu dong! Ayo!” “Eh, Nana! Hani! Tunggu!” Citra baru saja ingin menghentikan mereka namun mereka sudah lebih dulu meninggalkan kantin. “Aduh, si Nana kebiasaan ya, usilnya ngga bisa di rem dulu. Padahal ini dosen baru loh, sikap dan wataknya aja kita ngga tahu gimana, eh dia main kasih kejutan aja. Mending kalau dosennya suka, kalau ngga suka gimana.” “Iya Lis, memang tu anak masih aja kekanakan. Ya udah biarin aja deh.” Lilis mengangguk menyetujui perkataan Citra dan akhirnya mereka pun memilih untuk memesan minuman sebelum mata kuliah dengan dosen baru di mulai. *** Seorang pria dengan setelan jas hitam dan tubuh tegapnya terlihat melangkah dengan langkah panjangnya. Sebuah buku tebal tampak di bawanya dengan satu tangannya. Ia melangkah menaiki tangga dan berhenti tepat di depan pintu ruang A21 yang pintunya tertutup rapat. Dahinya mengernyit ketika mendapati pintu ruangan tertutup. Perlahan tangannya tergerak untuk membuka knop pintu tersebut hingga, duarr! Pria itu terlihat sedikit terlonjak kaget ketika popper confetti dibunyikan ke udara. “Welcome to A21 room Mr. Max!” seru semua mahasiswa yang berada dalam ruangan tersebut. Mereka telah mengetahui nama dosen baru yang mengajar mereka hari ini setelah bertanya ke akademik. Tampak Nana dan Hani yang berdiri di dekat Max menyunggingkan senyum lebarnya. Mereka adalah pelaku yang menembakkan confetti tersebut. Sedangkan mahasiswa lain yang duduk di kursinya masing-masing juga tampak menyunggingkan senyum kecilnya dan menepuk tangan mereka. 1 menit, 2 menit Max belum juga bergeming. Ia hanya diam dengan pandangan mata yang melirik tajam ke arah mahasiswanya yang duduk berserta Nana dan Hani bergantian. Senyum Hani dan Nana perlahan luntur karena mendapati wajah tak bersahabat dari dosen barunya itu. “Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?” tanya Max dengan nada suara rendah. Semua terdiam dan menunduk, tidak ada satupun yang berani membuka suaranya. Max masih melirik mereka dengan tatapan tajamnya dan masih berharap menunggu jawaban hingga pada akhirnya Max menghela napasnya. “I repeat again. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini!” Semua mahasiswa sontak menunjuk ke arah Nana dan Hani ketika suara Max sedikit meninggi. Nana sontak merapatkan bibirnya dan menutup matanya. ‘Duh, ini orang-orang kenapa pada cepu sih.’ batinnya kesal. Devan sontak melirik ke arah dua orang yang berdiri tak jauh darinya. “Kalian berdua kemari,” perintahnya pada Nana dan Hani. Perlahan Nana dan Hani melangkah mendekati Max. “Siapa nama kalian?” Nana mendonggak menatap dosennya yang tingginya berbeda beberapa cm darinya. “Kenapa Bapak tanya nama kami?” Nana malah balik bertanya. Hani sontak menyikut lengan Nana karena menurutnya pertanyaan yang dilontarkan Nana sangat tidak penting. “Hm, saya Hani Pak.” jawab Hani lebih dulu. “Kalau kamu?” tanya Max kembali seraya melirik Nana. Nana melirik ke kanan dan ke kiri, semua orang terlihat diam menunggu jawaban darinya. “Saya Nana.” jawabnya akhirnya. “Oke. Saya mau kamu ikut ke ruangan saya setelah kuliah selesai.” “Apa pak! Saya sendiri?” “Iya kamu sendiri Nana. Saya hanya butuh satu perwakilan.” jawab Max penuh penekanan. “Tapi Pak—“ “Kalau begitu silakan duduk kembali, kita akan mulai kuliahnya.” Max dengan cepat memotong perkataan Nana lalu pergi ke depan kelas untuk memulai kuliah. Nana dan Hani juga terpaksa duduk kembali di kursinya dengan langkah lemas. “Baiklah! Good afternoon all!” “Good afternoon sir!” jawab para mahasiswa serempak. “Oke, mungkin kalian masih asing dengan saya karena kebetulan saya baru menjadi dosen baru di sini dan saya ditugaskan menjadi dosen bahasa Inggris. Let me introduce my self. My name is Maxwell putra Aditama, and you can call me Mr. Max. Saya lulusan S2 English business dari California. Dan mulai sekarang saya akan mengajar bahasa Inggris di fakultas sastra khususnya prodi sastra Inggris.” Semua orang mengangguk paham. “Okay, until this, any question?” “No Mr.” “Okay, mari kita mulai kuliah hari ini.” *** Setelah kuliah dengan Max usai, Nana terpaksa mengikuti Max sesuai perintahnya tadi untuk mengikutinya ke ruangannya. Ia dengan santai melangkah sejajar dengan Max, sedari tadi ia terus memperhatikan Max yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. “Pak, jalannya tegap banget.” celetuk Nana hingga membuat Max menghentikan langkahnya. Ia mendekatkan wajahnya ke Nana dan menatapnya tajam. Nana sedikit memundurkan wajahnya, entah kenapa ia menjadi gugup begini. “Bukan urusan kamu.” ucap Max lalu kembali melangkah meninggalkan Nana. Nana mengembungkan pipinya dan membulatkan matanya kesal, namun ia tetap kembali menyusul Max menuju ruangannya. Setiba di ruangannya, Max langsung mengambil duduk di kursi utamanya sementara Nana masih berdiri. “Duduk!” perintah Max dan Nana pun menurutinya, ia mengambil duduk di depan Max. “Apa motif kamu melakukan semua ini?” “Tidak ada motif apapun Pak. Saya hanya ingin memberikan kejutan selamat datang. Seharusnya bapak itu merasa senang dan berterima kasih kepada saya bukannya malah marah begini. Bapak aneh banget deh.” “Apa kamu bilang?!” “Eh, eh ngga m-maksud saya—“ “Saya tidak mau kamu mengulangi kejadian seperti tadi lagi, kepada saya maupun kepada dosen lain. Apa kamu tidak berpikir bila yang kamu berikan kejutan itu ternyata adalah orang tua yang memiliki riwayat penyakit jantung. Sakit jantungnya bisa kambuh bila dikejutkan seperti itu, untung saja saya tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Jadi, kamu masih beruntung.” “Tapi, Pak itu tidak mungkin—“ “Bisakah kamu mengakui kesalahanmu saja?” lagi-lagi Max memotong perkataannya. Nana sontak memasang wajah masamnya. “Ya sudah saya minta maaf Pak.” “Okay, lain kali jangan di ulangi lagi. Saya hanya ingin memberitahukan itu saja. Kamu boleh keluar sekarang.” “Baik, permisi.” Nana bangkit dari kursinya lalu keluar dari ruangan Max dengan langkah kesalnya. “Dasar Dosen menyebalkan. Baru juga ngajar hari ini udah buat mahasiswanya kesal aja, gimana kalau sudah berbulan-bulan nanti, bisa mati muda aku.” Nana terus mengoceh sembari melangkah dengan kepala yang ditundukkan. “Cantik-cantik kok ngomong sendiri.” Seseorang berhenti tepat di depan Nana hingga membuat Nana menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang yang mengenakan sepatu olahraga hitam putih berhenti tepat di depannya. Ia sontak mendonggakkan wajahnya untuk melihat orang itu. Wajahnya sontak berubah sumringah dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. “Kak Juan,” Pria tinggi berkulit putih dengan rambut gondrong itu tampak menyunggingkan senyumnya. “Kenapa melihatku seperti itu?” “A-a ... Kamu baru habis main basket Kak?” tebak Nana karena ia mendapati Juan yang masih mengenakan seragam basketnya dan juga mengenakan headband putih yang membuat dirinya semakin tampan dan bersinar di mata Nana. “Iya, btw kamu kenapa marah-marah sendiri tadi?” “Ohh, ngga apa-apa Kak. Itu tidak penting. Hmm apa kakak haus? Mau aku belikan minum?” “Oh, ngga usah. Tadi aku juga sudah minum. Aku mau ganti baju dulu sekarang, aku duluan ya.” Nana hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya terus mengikuti langkah Juan dengan senyum manis yang tidak pernah luntur dari wajahnya. “Kyaaa ... Astaga kenapa Kak Juan semakin tampan saja. Aku padamu Kak Juan. Muachh  ...” Nana pun kembali berbalik lalu kembali melangkah dengan langkah ceria kali ini. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook