bc

Sincerely, Yours

book_age0+
389
FOLLOW
3.2K
READ
sex
fated
badboy
goodgirl
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Summer jatuh cinta pada Axel yang tidak menyukai komitmen dalam berhubungan. Di sisi lain, Axel tidak menyukai Summer yang selalu mengganggunya. Namun, ketika suatu hari Summer memutuskan untuk menjauh, Axel pun merasa kehilangan. Menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Summer, Axel memutuskan untuk tidak akan pernah melepaskan Summer.

chap-preview
Free preview
Summer : Chapter 1
  “Kak, aku jatuh cinta.“   Kalimat itu meluncur diiringi dengan nada antusiasme yang khas. Bersamaan binar-binar kilau yang terpancar dari sinaran sepasang bola mata hazel si pengucap. Adalah Summer, gadis remaja kelahiran Negeri Paman Sam, 18 tahun yang lalu.   “Hmmm,“ suara yang terdengar dari sosok di hadapan Summer, Phoebe, sama sekali berbanding terbalik dengan antusiasme sang adik.   Summer memonyongkan bibirnya. “Hanya itu, Kak?“ tanyanya, tak suka bercampur heran. Ia memiringkan kepala ke kiri—kebiasaannya saat bertanya, seraya beradu pandang dengan kakaknya.   “Jadi? Aku harus menjawab apa?“ Phoebe tidak terlihat menunjukkan ketertarikan sama sekali. Peraduan pandang tadi hanya berlangsung dua detik, sebelum akhirnya ia kembali sibuk dengan tumpukan berkas-berkas pekerjaan kantor yang terpaksa ia bawa pulang karena tidak sempat diselesaikan.   “Ughh.. paling tidak katakan sesuatu yang lain selain ‘hmmm’“ Summer mendengus.   Phoebe tampak berpikir sejenak, “Oh.“ Lalu itulah yang keluar dari bibir tipisnya sebelum ia kembali tenggelam dalam kumpulan data-data yang harus ia selesaikan malam ini juga.   “Arghh! Susah sekali bercerita pada orang yang belum pernah berpacaran sepertimu, Kak!“ Summer melangkah keluar meninggalkan ruang kerja Phoebe diikuti suara bantingan pintu di belakangnya.   “Hei! Aku dengar itu!“ teriak Phoebe dari dalam ruangannya. Sebenarnya ia ingin berlari keluar mengejar Summer dan memberikannya sedikit ‘pelajaran’. Tapi ia lebih memilih untuk mengabaikan Summer dan kembali fokus pada pekerjaannya.   Di sisi lain, Summer sudah duduk manis di depan meja belajarnya, di dalam kamar tidur nuansa putih biru. Di depannya terpampang sebuah buku berwarna pink neon yang baru saja ia keluarkan dari laci meja tersebut. Itu buku diary yang sudah hampir sepuluh kali ia ganti sampulnya, terhitung sejak ia masih duduk di bangku SMP. Masa-masa awal saat ia mulai mengenal ketertarikan dengan lawan jenis, juga mulai mengerti apa yang dinamakan cinta.   Setiap kisahnya ia tulis dalam buku itu. Ia menambahkan dua kaitan gembok di ujung bukunya agar tidak ada yang bisa membaca isinya. Meskipun sebenarnya tanpa ia ketahui, Phoebe memiliki kunci duplikatnya, yang dibuat diam-diam ketika Summer sedang mengikuti kegiatan perkemahan saat SMA dulu. Jika ada satu hal yang tidak diketahui Summer tentang kakaknya, itu adalah keahlian Phoebe dalam ‘menyelesaikan puzzle’ dan bagi Phoebe, gembok buku diary tersebut bukanlah puzzle yang sulit.   Summer melompati beberapa halaman dari halaman terakhir ia menulis diary, lalu menempelkan sketsa gambar seorang pria memakai jaket jeans, di halaman baru yang kosong.  Tersenyum melihat hasil karyanya, Summer bergumam, “Hello, Mr. Someone.. Aku jatuh cinta padamu.“   ***   “Jadi, katakan padaku. Siapa laki-laki yang tidak beruntung kali ini.“ Phoebe memulai interogasinya dengan kalimat pembuka yang tidak menyenangkan.               “Apa tidak ada pemilihan kata yang lebih enak didengar? Belajarlah untuk berbicara lembut dan menyenangkan, Kak,“ celoteh Summer. Tangannya lincah memotong-motong satu porsi lamb steak yang dimasak dengan saus barbeque. Traktiran dari Phoebe, begitulah caranya untuk membuat Summer bicara jujur tentang siapa yang sedang jadi sasaran cupid cintanya. Ia tidak peduli berapa besar uang yang harus ia keluarkan asalkan bisa mengetahui hal yang menjadi ‘masalah’ Summer sekarang. Dan itu termasuk memesan delivery termahal yang ia tahu.                         “Kau tahu bagaimana mulutku, Summer. Jadi, siapa kali ini? Kapten tim basket kampusmu? Atau... seseorang dari klub pecinta sains? Atau......“               Summer mengangkat tangan kanannya lurus ke depan hingga hampir menyentuh muka Phoebe. Mengisyaratkan tanda agar Phoebe berhenti berbicara.                         “Cukup sampai di situ, Kak,“ katanya. “Percuma kau menyebutkan semua dugaanmu. Karena... aku bahkan tidak tahu sedang jatuh cinta pada siapa.“               Ini bukan suatu hal yang mengagetkan bagi Phoebe, “Oh—baiklah. Jadi ini tentang cinta-tak tahu-dengan-siapa.“ Phoebe menggunakan nada stakato, sembari membuat gerakan acak di udara—menunjuk ke kanan dan kekiri—dengan tangan kanannya yang memegang garpu lengkap dengan potongan daging yang tertusuk di ujungnya.               “Hati-hati dengan garpumu, kak. Kau mengotori meja dengan saus barbeque itu, and by the way, terserah sebutan apa yang kau pakai,“ balas Summer. “Tapi seseorang yang aku-tidak-tahu-siapa ini, benar-benar...mmm.. ahh aku tidak tahu kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku.“               Phoebe memasukkan dua potongan besar daging ke dalam mulutnya. Sambil mengunyahnya pelan, ia mulai menanggapi, “Kata apapun itu tidaklah penting. Dari ekspresimu aku bisa menangkapnya.“ tatapan Phoebe seperti meremehkan. Summer yang melihat hal itu hanya bisa mengatupkan bibirnya sampai membentuk sebuah garis lurus, kakaknya punya berbagai macam cara untuk menyiratkan ketidaksukaannya terhadap sikap Summer, tapi...dua potongan besar steak dalam sekali ‘HAP’? apakah Phoebe sejengkel itu?               “Jelas ini adalah kisah yang akan berakhir sama seperti kisah yang lainnya. Kita lihat, berapa lama kisah ini bertahan sampai akhirnya kau jatuh cinta pada orang lain lagi,” tambah Phoebe setelah ia berhasil menelan daging tersebut.               Summer menggeleng keras, “Tidak, Kak! Kali ini aku serius! Aku benar-benar jatuh cinta.“               “Ya-ya-ya.. kau juga mengatakan hal yang sama saat kau menyukai vokalis band indie yang pentas di SMA mu bulan lalu.“ dan kalimat itu sukses membuat Summer terdiam beberapa saat.               “Tidak. Kali ini sungguhan!“ ia kembali membela diri. “...yang satu ini berbeda, Kak...“ Summer berdiri, membawa piringnya yang sudah kosong ke wastafel tempat cuci piring.               “Apa bedanya?” tanya Phoebe.               “Well...,” Summer mencari-cari alasan yang masuk akal. “Jantungku berdetak lebih cepat saat aku bersamanya, rasanya aku tidak tahu harus berbuat apa.....” ia menyebutkan alasannya bersamaan dengan Phoebe dan itu berhasil membuat Summer berkacak pinggang. “Kakak... aku serius.”               “Aku juga serius, Summer, tidak bisakah kau lihat dari seberapa sempurnanya aku meniru kalimat dan gaya bicaramu barusan? Sudah sekian kali aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu.”               Summer melengos, ia meneruskan kegiatannya mencuci piring, mengacuhkan pandangan kakaknya yang masih melekat pada punggungnya.               “Lalu sekarang kau ingin apa? Mendekatinya?“ tanya Phoebe, masih ada setengah porsi steak yang harus ia habiskan. Kecepatan makannya memang lebih lambat dari Summer.               Summer mengeringkan kedua tangannya menggunakan lap yang tergantung di dekat wastafel. Kemudian ia berbalik--bokongnya bersandar pada tepian wastafel yang tidak basah—menghadap pada Phoebe. “Tentu saja! Semua dimulai dari tahapan itu kan?“ jawabnya penuh percaya diri.               Phoebe menghembuskan napas berat, “Jadi? Kau belum menjawab pertanyaanku.“ Phoebe mengembalikan pembicaraan ke topik awal.                 “Pertanyaan yang mana? Ah—tentang dia?“               Phoebe mengangguk pelan, “ Paling tidak aku bisa bayangkan sedikit bagaimana rupanya,“ katanya, menyilangkan kedua tangannya di dada, masih dengan tangan kanan yang memegang garpu-tapi tanpa daging di ujungnya.               “Hm....dia tampan. Dia lebih putih dariku, pipinya sedikit kemerahan—mungkin dia tipe yang tidak bisa terkena panas terlalu lama—entahlah. “Summer mulai mengoceh. “Ah.. tubuhnya atletis—ya—aku bisa pastikan itu, meski dia memakai jaket—“                         “Eit-eit! Tunggu dulu. Apa kau bilang tadi? Jaket? Orang seperti apa yang memakai jaket di musim panas dengan matahari terik seperti sekarang?“ potong Phoebe.               “Err..aku tidak berpikir sampai sana, yang jelas dia keren.“               Phoebe memutar matanya, “Ahh... jadi kali ini kau jatuh cinta pada seseorang karena dia keren. I mean.. semudah itukah?“               Summer menjawab tanpa ragu, “Ya. Semudah itu.. aku tidak tahu. Hanya saja, rasa itu datang begitu saja. Susah dijelaskan, kau harus mengalaminya sendiri untuk mengetahui bagaimana rasanya.“               Phoebe mengangkat sebelah alisnya, “Kau menyindirku?“               “Tidak—aku tidak bermaksud menyindirmu... “ Summer mulai merasakan tanda bahaya. Phoebe mudah sekali tersinggung ketika berbicara soal perasaan, cinta, dan hal-hal lain yang menjurus ke arah sana. Penyebabnya klise; di umurnya yang menginjak 23 tahun, belum sekalipun ia merasakan yang namanya jatuh cinta, atau begitulah yang Phoebe pikirkan.               Ia sedikit sensitif dengan pembahasan itu, mungkin juga dipicu oleh desakan keluarga yang selalu bertanya kapan ia akan mengenalkan calon suaminya. Di keluarga mereka, menikah di usia 20-an adalah suatu keharusan. Mereka percaya bahwa wanita dalam rentang usia tersebut lebih dapat memiliki pernikahan yang bahagia.               “Cepatlah tidur. Besok kau harus bangun pagi-pagi.“ Phoebe menghela napas lalu berjalan ke sudut dapur, mengambil semprotan cairan pembersih meja dan juga lap. “Jangan menjadi penghambat di pagi hari,“ lanjutnya, kedua tangannya mulai aktif membersihkan remeh-remeh makanan di atas meja makan.               “Roger that! Good night, Sist. Sleep tight,“ Summer berpose seperti seorang tentara yang memberi hormat sebelum memeluk Phoebe dari belakang, lalu mencium pipinya. Tradisi sejak kecil yang tidak bisa dihilangkan. Setelahnya, ia masuk ke kamarnya, di susul Phoebe 10 menit kemudian.   ***   “Habari ahu halo hau hudah huhang ( Red: Kabari aku kalau kau sudah pulang ).“ terlalu banyak muatan dalam mulut Phoebe, membuatnya tidak bisa berbicara dengan jelas.   “Habiskan makananmu sebelum mulai bicara, Kak.“   Phoebe menelan makanannya dengan susah payah. Beruntung, Summer memegang botol minumnya. Setelah berhasil menghabiskan sepertiga isi bekal minuman Summer, Phoebe melambaikan tangan ke arah adiknya lalu mulai melaju ke kantor.   Bukan hal yang baru bagi Summer dengan kebiasaan Phoebe yang sudah berlangsung sejak ia diterima kerja. Sarapan di dalam mobil, berdandan di dalam mobil. Dan ia sangat bersyukur, paling tidak kakaknya masih sempat sikat gigi di rumah. Tidak seperti kakaknya Jill, sahabatnya di SMA dulu, yang hampir semua hal di lakukan di mobil saat perjalanan ke kantor.   “Yuhuu—take care, Sist. Jangan sampai terlambat makan siang,“ teriak Summer, sembari melambai ke arah BMW abu-abu seri 528 keluaran tahun 2013 milik Phoebe yang sudah meluncur secepat kilat.   Summer tidak pernah memprotes gaya mengemudi Phoebe yang seperti itu. Setidaknya kakaknya itu pandai mengelabui aturan lalu lintas. Ia selalu lolos dari pengawasan polisi, dan gaya mengemudinya itu akan sangat berguna di beberapa situasi tertentu.     Phoebe menurunkan Summer 100 meter lebih jauh dari gerbang kampus. Ini permintaan khusus dari Summer. Ia membuat aturan sendiri untuk kaki-kakinya agar berjalan lebih banyak. Bagian dari program pembuangan kalori yang sedang ia jalani. Belum ada hasil yang berarti, memang, meskipun metode ini sudah ia jalani sejak SMA. Bayangkan saja, kau membuang 20 kalori, tapi setelahnya kau memasukkan 40 kalori. Kurang lebih itulah yang terjadi pada Summer. Mungkin dia memang ditakdirkan untuk tidak menjalani diet.   Gedung kampus tempatnya kuliah, termasuk gedung-gedung lama yang dulunya berfungsi sebagai gedung pemerintahan. Katanya, arsitek gedungnya sendiri, termasuk arsitek yang terkenal di masanya dulu. Jelas terlihat dari setiap bagian gedung yang memiliki ciri khasnya. Misalnya saja, pilar-pilar yang berjajar dari gerbang kampus hingga ke bagian dalam kampus dekat tangga. Pilar-pilar itu dibangun sedemikian persis menyerupai pilar-pilar bangunan yang biasa ditemui di kuil-kuil Yunani. Belum lagi lukisan penggambaran istana di atas langit yang di lukis di langit-langit kampus. Sekarang sedang dipugar, diperjelas warnanya supaya lebih bagus dan awet kurang lebih sampai 5 atau 6 tahun ke depan.   Bukan hanya keindahan arsitektur gedungnya saja, tapi juga desain exterior. Taman-taman di kampus ini, sudah dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak taman kampus yang paling indah di NewYork. Semua keindahan ini adalah alasan bagi Summer memilih untuk melanjutkan pendidikannya di kampus ini. Berhubungan dengan jurusan yang dia ambil, arsitektur. Menurutnya, kuliah di sini akan memberikannya banyak inspirasi yang berguna untuk pembelajarannya kelak.   Kelas pertamanya pagi ini, adalah fisika. Dia benci pelajaran itu, dan selalu berdoa tidak akan bertemu dengan fisika saat kuliah nanti, tapi ternyata kebalikannya. Meskipun fisika kali ini berbeda dengan apa yang dia pelajari saat SMP dan SMA dulu, jelas judulnya masih sama; fi-si-ka. Paling tidak kali ini dia bisa lebih menerima kenyataan yang ada ketimbang saat ia mengunduh jadwal kuliahnya. Saat itu Phoebe bahkan hampir tidak bisa mengendalikan kepanikan yang melanda Summer kala mengetahui ada mata kuliah fisika di salah satu jadwalnya.   Sambil menjinjing tas punggung merah hadiah dari Phoebe atas kelulusan SMA-nya. Summer melangkah pasti melewati lorong demi lorong, kemudian berbelok menuju tangga di samping perpustakaan untuk naik ke lantai dua. Lalu melewati lorong-lorong lainnya sebelum akhirnya menemukan tangga untuk naik ke lantai tiga. Salah satu kekurangan gedung kampus ini, terlalu banyak lorong dan letak tangga-tangganya sangat tidak praktis. Mau tidak mau Summer harus menghapal setiap lokasi tangga kalau tidak ingin tersesat. Ingat akan kelemahannya dalam mengingat jalan, ia sedikit kesal akan aturan yang melarang mahasiswa untuk menggunakan lift. Lift hanya diperuntukkan untuk dosen dan siapa-siapa yang memiliki keterbatasan fisik.   Tapi setidaknya, banyak tangga berarti banyak kalori yang akan terbuang. Alasan tepat untuk Summer menjaga senyumnya tetap berkembang meskipun harus naik turun tangga berkali-kali.   Setelah mememunculkan wajah di hampir setiap kelas – ya, Summer tersesat – akhirnya ia sampai di kelas yang pertamanya. Kelasnya terbilang luas untuk ukuran normal ruangan belajar kampus. Dan terlihat semakin lapang karena sedikitnya mahasiswa yang menghadiri kelas ini. Sebagian besar mahasiswa memilih jadwal kelas siang. Hanya mereka yang termasuk tipikal mahasiswa rajin yang berminat mengikuti kelas pagi. Tidak semuanya mahasiswa rajin, ada saja mereka-mereka yang kurang beruntung, kalah cepat mendaftar kelas siang sehingga tidak kebagian kuota, terpaksa mendaftar di kelas pagi daripada harus mengulang tahun depan bersama junior-junior.   Summer memilih tempat duduk di barisan kedua dari depan. Menurutnya kesan pertama pada dosen itu sangat penting. Setidaknya ia ingin diingat sebagai mahasiswa rajin yang berani duduk di depan dan terlihat sebagai salah satu mahasiswa dengan antusiasme belajar yang tinggi. Walaupun ia tidak menyukai kuliah pertama ini, Summer akan berusaha semaksimal mungkin agar ia tidak harus mengulang kuliah Fisika ini kembali.   Tempat duduk di barisan yang dipilih Summer tidak begitu padat. Ia memilih duduk di sebelah seorang gadis berambut pirang berkacamata, yang terbilang stylish untuk ukuran seorang geek.   “Hai...“ sapa Summer. Ia duduk di sebelah kanan gadis itu. Tasnya ia letakkan di dekat kakinya.   “Hai! Ah, senang sekali ada yang bersedia menyapaku...“ reaksi gadis itu sungguh bersemangat. “Im Helena Collands. Panggil saja Lena.“ namanya Helena, ia mengulurkan tangan.   Summer membalas jabat tangan Helena, “Aku Summer. Summer Mckenzie.“   “Nama yang bagus.. di bulan mana kau berulang tahun?“ tanya Helena, jelas dia seorang yang periang dan gampang berbaur dengan orang baru.   “Sudah lewat, tanggal 16 agustus aku berulang tahun.“ dan Summer rasa gelombangnya dan Helena benar-benar pas. Rasanya ia dan Helena akan menjadi teman yang sangat baik, semoga.   Selang 5 menit setelah Summer duduk manis dan megeluarkan semua perlengkapan mencatatnya. Seorang wanita paruh baya dengan setelan blazer dan rok berwarna coklat susu yang senada dengan flat shoes putih yang dikenakannya, masuk ke dalam kelas, membawa 3 buku tebal—mungkin modul. Jelas, dia dosennya, Mrs. Darcy, nama itu yang tertera di jadwal.   “Good Morning. Selamat untuk kalian yang berhasil datang tepat pada waktunya, karena saya tidak suka dengan mahasiswa yang terlambat. Walaupun hanya 1 menit saja.“ Mrs. Darcy berhenti sejenak. “Kamu, yang memakai kemeja hitam. Close the door, please.“ Ia menunjuk seseorang yang duduk tidak jauh dari pintu. Semua perhatian terpusat pada pintu, sampai pintu itu benar-benar tertutup. Dan secara serentak, kembali pada Mrs. Darcy saat seseorang berkemeja hitam yang disuruh menutup pintu kembali duduk di tempatnya.   “Karena itu, pastikan angka di jam kalian menunjukkan waktu yang sama persis seperti yang tertera di jam saya.“ Mrs. Darcy melirik jam tangan putih dengan hiasan permata di sekelilingnya yang melingkar di tangan kirinya. “Baiklah, di jam saya menunjukkan waktu pukul—“   BRAK! Pintu terbuka—lebih tepatnya terbanting—cukup keras. Seraut ekspresi tak suka seketika tercipta di wajah Mrs. Darcy. Jelas itu menganggu. Untung saja belum memasuki sesi pemberian materi.   Mrs. Darcy membenarkan letak kacamatanya. Mengawasi dengan tatapan mata tajam kala si penganggu ketenangan itu memasuki kelas, “Kau beruntung kali ini. Hari pertama kuliah, masih ada toleransi,“ katanya, sembari menatap tidak suka orang yang baru saja memasuki kelas itu,“ Tapi, bukan berarti kejadian ini akan dilupakan begitu saja mister... ? “   “Axel. Axel Kennedy, maafkan atas keterlambatan saya.“ Jenis suara mesosopran yang tidak mungkin Summer lupakan membuatnya menoleh, setelah sebelumnya sama sekali tidak tertarik untuk ikut mencari tahu siapa si pengganggu ketenangan-yang nyaris saja membuat masalah di hari pertama kuliah- seperti teman-temannya yang lain, termasuk Helena.   Summer tidak dapat mempercayai penglihatannya. Jadi, pemuda itu berada di kelas yang sama dengannya?   “Lebih dari sekedar terlambat. Kau tentu pernah diajari bagaimana caranya membuka pintu dengan benar, bukan?“ itu komentar Mrs. Darcy, pedas, menyakitkan. “Ah, dan kalau kau sudah selesai menaruh barang-barangmu, coba kau jelaskan mengenai teori yang akan aku tulis sebentar lagi.” Seisi kelas terdiam. Satu pelajaran yang Summer dapat hari ini; jangan pernah membuat masalah dengan Mrs. Darcy.   Oh, tunggu. Sepertinya bukan itu saja yang ia pelajari hari ini. Sekarang, dia tahu siapa nama laki-laki yang dipilih cupid cintanya...   Axel Kennedy. ***    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

One Shots Steamy Stories Book 2

read
374.3K
bc

Knight in Shining Suit

read
616.7K
bc

Our Kind of Love

read
717.8K
bc

Bedroom Negotiations With Mr. Dunn (Boys of Chicago Book #2)

read
2.5M
bc

The Playboy’s Play Toy

read
354.5K
bc

My Stepbrother (Secret-Possession)

read
112.4K
bc

Behind Classroom Doors

read
974.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook