BAB 1 : Menyapa Waktu yang Menanti
— Di Antara Jurang Waktu
Latar : Cafe Starbucks, April 2025
Kehidupan adalah lautan yang tak pernah diam, ombaknya menghempas jiwa manusia dengan rahasia yang tak terucap. Ada yang lahir di istana, diterangi emas dan harapan; ada pula yang terlahir di gubuk, hanya berteman debu dan perjuangan. Namun, kaya atau miskin, semua manusia berjalan di jalan yang tidak mereka pilih, di bawah langit yang acuh, dikejar waktu yang tak pernah menoleh dan dipanggil waktu yang menanti dengan misteri yang tersembunyi. Kehidupan adalah lukisan yang penuh warna—merahnya cinta, hitamnya kehilangan, birunya harapan, dan abu-abunya keraguan. Setiap manusia, dari petani yang mencium tanah hingga pengusaha yang menyentuh langit, menorehkan goresan di kanvas itu, meski tak pernah tahu apakah lukisannya akan indah atau hanya bayang-bayang yang pudar.
Di setiap sudut dunia, kehidupan bermain dengan nada yang sama, namun dalam irama yang berbeda. Anak-anak berlari di gang-gang sempit, tawa mereka bagai lonceng yang belum tersentuh duka, namun waktu mengajarkan bahwa tawa bisa berubah menjadi air mata. Pemuda-pemudi jatuh cinta, jantung mereka berdetak bagai genderang perang, hanya untuk menemukan bahwa cinta bisa patah, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Orang tua duduk di beranda, menatap langit dengan mata penuh cerita, mengenang mimpi yang kandas dan kemenangan kecil yang mereka simpan di hati. Di pasar yang ramai, pedagang menawarkan dagangannya dengan senyum lelah, berharap hari ini cukup untuk memberi makan keluarga. Di gedung-gedung tinggi, eksekutif mengejar ambisi, namun sering kali merasa kosong meski dompet mereka penuh. Di desa-desa terpencil, petani menanam benih dengan tangan kasar, percaya bahwa bumi akan memberi, meski hujan tak selalu datang.
Ada yang lahir dengan privilege, namun tetap merasa hampa; ada pula yang lahir dalam kemiskinan, namun menemukan makna dalam hal-hal kecil. Ada yang bermimpi besar, menggapai bintang dengan tangan kecil, namun dunia berkata "tidak", dan mimpi itu jatuh bagai daun di musim gugur. Ada pula yang bangkit dari reruntuhan, menjahit harapan dari benang-benang kegagalan, meski langkah mereka goyah. Di setiap sudut dunia, dari kota yang berkilau hingga gang yang sepi, manusia hidup dalam pasang surut yang sama: lahir, mencintai, kehilangan, bermimpi, gagal, dan bangkit kembali. Tak ada yang lolos dari tarian di tepi jurang, di mana setiap langkah adalah taruhan antara hidup dan lupa.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, Amanda Laura duduk sendirian, menatap cangkir kopi yang telah dingin, seolah itu cermin hidupnya yang kini terhenti di usia tiga puluh tahun. Cahaya lampu temaram menari di wajahnya, memperlihatkan kilau ambisi yang telah meredup, namun belum padam. Ia berdiri di antara dua jurang: tiga dekade yang telah mengejarnya dengan beban yang ia kubur dalam-dalam, dan tiga dekade yang menanti, kelabu bagai kabut di ufuk yang tak terjamah. Kata orang, hidup berlangsung hingga enam puluh atau tujuh puluh tahun, jika Tuhan menghendaki. Namun, bagi Amanda, tiga puluh tahun yang telah berlalu adalah puisi yang tak ingin ia tulis, dan tiga puluh tahun ke depan adalah kanvas kosong yang menakutkan, penuh tanda tanya yang ia tak berani jawab.
Matanya menyapu wajah-wajah di kafe, mencari jejak cerita yang ia simpan rapat. Di meja dekat jendela, seorang pria tua menyeruput teh, kerutan di wajahnya bagai peta perjalanan panjang. Apakah ia pernah merasa hidupnya hampa, seperti Amanda, atau apakah waktu telah mengajarkannya damai? Di sudut lain, seorang gadis muda tertawa, keceriaannya bagai sinar yang dulu pernah Amanda miliki. Apakah ia belum tersentuh oleh luka hidup, atau ia pandai menyembunyikan air mata di balik tawa? Di meja sebelah, seorang ibu menggendong anaknya, wajahnya lelah namun penuh cinta. Apakah ia juga merasa terjebak dalam pasang surut hidup, atau ada rahasia ketenangan yang Amanda belum temukan? Seorang pekerja kantoran di meja tengah mengetik di laptop, alisnya berkerut, seolah dunia ada di pundaknya. Apakah ia juga merasa waktu mengejar, menyeretnya ke tepi jurang? Di sudut ruangan, seorang seniman jalanan menghitung koin, matanya penuh mimpi namun tubuhnya letih. Apakah ia, seperti Amanda, pernah bermimpi besar, hanya untuk menemukan bahwa dunia tak selalu mendengar?
Di meja jauh, seorang pria paruh baya menatap ponsel dengan wajah kosong. Apakah ia kehilangan seseorang, seperti yang pernah Amanda rasakan, atau apakah ia hanya lelah dengan rutinitas? Seorang pelayan kafe, masih muda, bergegas membawa nampan, matanya penuh ketegangan. Apakah ia juga bermimpi melarikan diri dari hidup yang mengikat, seperti Amanda pernah lakukan? Di luar jendela, seorang pengemis tua berjalan pelan, tongkatnya mengetuk trotoar. Apakah ia pernah memiliki harapan, atau hidup telah merenggut semua mimpinya? Di meja dekat pintu, sepasang muda-mudi berpegangan tangan, mata mereka penuh cinta. Apakah mereka tahu bahwa cinta bisa membuat sayapnya patah, atau mereka masih percaya bahwa dunia adalah milik mereka? Di sudut lain, seorang wanita tua duduk sendirian, menatap cangkir kosong dengan ekspresi yang tak terbaca. Apakah ia merenungkan hidup yang telah berlalu, seperti Amanda, atau apakah ia telah menemukan kedamaian yang Amanda cari?
Amanda: (dengan ekspresi lesu, berbisik pada dirinya sendiri) Hidup ini sangat melelahkan. Aku melihat kalian semua, dan aku bertanya: apakah kalian juga merasa seperti aku? Seperti waktu terus mengejar, tapi tak pernah memberi makna...
Suaranya pelan, tenggelam di antara deru mesin kopi dan tawa pengunjung. Amanda selalu tertutup, bahkan pada dirinya sendiri. Tiga puluh tahun hidupnya ia simpan rapat, bagai buku yang terkunci, tak pernah ia buka untuk siapa pun. Ambisinya pernah membakar, mendorongnya untuk menggapai bintang meski tangannya hanya memegang debu. Keceriaannya, yang dulu mampu menerangi malam, kini sering tertutup awan keraguan. Dan kekerasan kepalanya, yang membuatnya terus melangkah meski dunia berkata "berhenti", kini terasa seperti pedang bermata dua—penyelamat sekaligus beban. Ia telah jatuh berkali-kali, namun cerita-cerita itu ia kubur dalam-dalam, tak ingin dunia tahu betapa rapuhnya ia di balik topeng keteguhan.
Amanda: (dengan suara bergetar, dalam pikiran) Tiga puluh tahun... aku ingin hidup yang berbeda, tapi lihat aku sekarang. Masih di sini, dengan tangan kosong. Dan tiga puluh tahun ke depan... hanya jurang, hanya kabut.
Pandangannya kembali ke pengunjung kafe. Ia melihat seorang mahasiswa di meja sudut, mencoret-coret buku catatan dengan wajah penuh konsentrasi. Apakah ia bermimpi tentang masa depan yang cerah, atau apakah ia juga takut gagal, seperti Amanda? Seorang pria dengan jas lusuh duduk di dekat pintu, menatap jam tangan seolah waktu adalah musuh. Apakah ia terlambat untuk sesuatu yang penting, atau apakah ia, seperti Amanda, merasa waktu telah mencuri mimpinya? Di luar, seorang anak kecil berlari, tertawa, dikejar ibunya yang tersenyum lelah. Apakah mereka tahu bahwa hidup akan mengajarkan mereka duka, atau apakah kebahagiaan mereka adalah rahasia yang Amanda lupakan?
Kehidupan pikir Amanda adalah tarian di tepi jurang. Ada yang menari dengan anggun, seolah dunia adalah panggung mereka; ada pula yang tersandung, jatuh, namun bangkit kembali dengan tangan berdarah. Ada yang lahir dengan privilege, namun tetap merasa kosong; ada pula yang lahir dalam kemiskinan, namun menemukan makna dalam hal-hal kecil. Setiap manusia, dari kota megah hingga desa terpencil, menghadapi pertanyaan yang sama: mengapa kita ada di sini? Apa makna dari semua ini? Amanda merenungkan tiga puluh tahun yang telah berlalu, sebuah lukisan yang ia tak pernah pilih. Ia tak ingin dunia tahu apa yang ia lalui—kegagalan yang menyakitkan, harapan yang patah, atau kemenangan kecil yang ia simpan di hati. Tapi di kafe ini, di antara wajah-wajah asing, ia merasa bahwa hidupnya adalah bagian dari lukisan yang lebih besar, sebuah kanvas yang menggambarkan perjuangan semua orang.
Amanda: (dengan ekspresi penuh kerinduan, dalam pikiran) Apakah kalian juga merasa seperti aku? Merasa bahwa hidup adalah pertempuran yang tak pernah usai? Atau apakah kalian telah menemukan rahasia yang aku cari—rahasia untuk damai dengan waktu yang mengejar?
Ia memikirkan tiga puluh tahun ke depan, sebuah lautan yang belum ia jelajahi. Ia membayangkan dirinya menulis cerita, mungkin hanya untuk dirinya sendiri, atau menemukan kedamaian di tengah badai. Ia membayangkan tawa, mungkin dari keluarga yang ia bangun, atau hanya dari hati yang akhirnya bebas dari beban. Namun, bayang-bayang ketidakpastian menjulang: kegagalan baru, kehilangan, atau waktu yang terus berlari tanpa ampun. Di kafe ini, di antara wajah-wajah yang menceritakan kisah mereka sendiri, Amanda menyadari bahwa hidup, bagi siapa pun, adalah tarian di tepi jurang—antara kaya dan miskin, antara harapan dan keputusasaan.
Ia meneguk kopinya, dingin namun pahit, seperti hidup yang ia jalani. Di antara tiga puluh tahun yang telah mengejarnya dan tiga puluh tahun yang menanti, Amanda berdiri, rapuh bagai daun di angin, namun teguh bagai karang di dasar laut. Hidupnya mungkin bukan puisi yang ia inginkan, tapi di sudut kafe yang sunyi ini, di antara wajah-wajah asing dan rahasia yang ia simpan, ia tahu: ceritanya masih akan ditulis, dengan setiap langkah yang ia berani ambil.
***
Amanda masih duduk di kafe, kini menatap keluar jendela, di mana lampu-lampu kota mulai menyala, bagai bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Malam telah turun, membawa keheningan yang aneh, seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengar napasnya. Tiga puluh tahun telah berlalu, sebuah lukisan yang penuh goresan tak terduga, dan tiga puluh tahun lagi menanti, sebuah kanvas yang belum ia sentuh. Di antara jurang waktu, Amanda merenungkan hidupnya, bukan hanya sebagai cerita pribadi yang ia simpan rapat, tetapi sebagai bagian dari lukisan yang lebih besar—lukisan kehidupan semua orang, dari mereka yang tertawa hingga mereka yang menangis, dari mereka yang menang hingga mereka yang kalah.
Kehidupan, ia sadari, adalah tarian yang tak pernah sempurna. Setiap manusia menari dengan langkah yang berbeda, namun di bawah langit yang sama, menghadapi nada yang serupa: cinta yang menghangatkan, kehilangan yang mencabik, mimpi yang menggoda, dan kegagalan yang mengajar. Di kafe ini, ia telah melihat wajah-wajah yang menceritakan kisah mereka sendiri—pria tua yang damai dengan kerutannya, gadis muda yang penuh harapan, ibu yang lelah namun penuh cinta, pekerja yang tertekan, seniman yang bermimpi, pengemis yang bertahan. Mereka semua, seperti Amanda adalah penutur cerita, menulis babak hidup mereka dengan setiap napas, setiap luka, setiap tawa.
Amanda: (dengan ekspresi penuh renungan, dalam pikiran) Hidup ini... bukan tentang tiba di tujuan, tapi tentang langkah yang kita ambil. Aku telah jatuh, aku telah lelah, tapi aku masih di sini. Apakah itu cukup? Apakah itu makna yang aku cari?
Pelajaran hidup, pikir Amanda, tidak datang dalam kilatan cahaya atau keajaiban besar. Pelajaran itu tersembunyi dalam hal-hal kecil: dalam keberanian untuk bangkit setelah jatuh, dalam kelembutan untuk memaafkan diri sendiri, dalam keteguhan untuk bermimpi meski dunia berkata "tidak". Ia telah belajar bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan guru yang keras namun setia. Ia telah belajar bahwa cinta, meski patah, meninggalkan jejak kehangatan yang tak pernah hilang. Dan ia telah belajar bahwa hidup, dengan segala pasang surutnya, adalah anugerah yang rapuh, layak dijalani meski penuh tanda tanya.
Amanda: (dengan suara pelan, berbisik) Setiap luka adalah pelajaran, setiap mimpi adalah alasan untuk bangkit. Aku tak tahu apa yang menanti, tapi aku akan melangkah... karena itulah yang kulakukan selama tiga puluh tahun ini.
Amanda menatap cangkir kosong di hadapannya, sebuah simbol dari apa yang telah ia lewati dan apa yang masih harus ia isi. Ia menyadari bahwa hidupnya, seperti hidup semua orang, adalah cerita yang tak pernah selesai. Di setiap sudut dunia, manusia berjuang dengan cara mereka sendiri—petani yang menanam di bawah matahari terik, ibu yang bangun malam untuk anaknya, seniman yang melukis meski tak ada yang melihat, pekerja yang pulang dengan tubuh letih namun hati penuh harapan. Mereka semua, seperti Amanda, adalah penari di tepi jurang, dan setiap langkah mereka adalah kemenangan.
Ia bangkit dari kursinya, melangkah keluar kafe, ke dunia yang masih penuh kabut. Malam menyapanya dengan angin sejuk, seolah berbisik bahwa waktu yang menanti bukan musuh, melainkan teman yang akan mengajarkannya lebih banyak. Di antara tiga puluh tahun yang telah mengejarnya dan tiga puluh tahun yang menanti, Amanda berdiri, rapuh namun teguh. Hidupnya mungkin bukan puisi yang ia inginkan, tapi ia tahu: setiap luka, setiap langkah, setiap napas adalah bagian dari cerita yang layak diceritakan.
***
Dan untuk kalian, para pembaca, yang juga menari di tepi jurang waktu, ingatlah: hidup bukan tentang seberapa jauh kalian melangkah, melainkan tentang keberanian untuk terus melangkah. Setiap kegagalan adalah undangan untuk bangkit, setiap duka adalah pelajaran untuk mencintai, dan setiap mimpi, sekecil apa pun, adalah alasan untuk hidup. Di antara waktu yang mengejar dan waktu yang menanti, kalian adalah penutur cerita, menulis babak baru dengan setiap napas. Jadi, melangkahlah, meski kaki kalian goyah, karena cerita kalian—cerita kita semua—adalah puisi yang belum selesai.